Bos Mafia Playboy

Sebuah Janji Hati



Sebuah Janji Hati

0"Tidak!" sahut Martin dan juga Eliza serentak dalam suara yang cukup nyaring dan terdengar begitu jelas. Pasangan itu saling memandang satu sama lain dalam sebuah perasaan yang sama.     
0

"Apanya yang 'tidak'? Bukankah kamu tak ingin menjalin hubungan dengan Eliza Hartanto, Martin?" Brian masih saja memperhatikan dirinya yang begitu tenang tanpa emosi sedikit pun. Ia sangat yakin jika mereka berdua memang sudah saling mencintai.     

Imelda merasa sangat bangga pada suaminya, ia tak pernah menyangka jika Brian bisa begitu tenang dalam menghadapi mereka berdua. Padahal ia sendiri sudah tak bisa menahan diri untuk meluapkan kekesalannya pada Martin.     

"Tenanglah, Eliza. Dengan statusmu sebagai seorang jaksa muda yang sangat kompeten, kamu bisa mendapatkan seorang pria yang lebih baik dari dia." Imelda menunjuk ke arah di mana Martin duduk. "Mungkin saja Martin ingin hidup sendirian seumur hidupnya," sindir wanita itu telak.     

Marco hanya bisa menahan tawa di dalam hatinya. Ia sudah membayangkan jika hal itu pasti terjadi. Ucapan Imelda yang begitu dingin tanpa perasaan, pasti akan meruntuhkan ego dari kakaknya. Apalagi, saudara laki-lakinya itu tak mungkin membalas ucapan Imelda yang terdengar sedikit kasar. Bukan karena Martin takut pada wanita itu, ia hanya menghargai Vincent sebagai kakak dari Imelda.     

"Bagaimana, Eliza? Apa kamu masih tertarik dengan pria di sebelahmu itu?" tanya Brian pada wanita yang dulu tergila-gila pada dirinya. Namun ia tak menanamkan kebencian pada wanita itu. Brian juga ingin Eliza bisa mendapatkan kebahagiaannya.     

Mendengar pertanyaan dari seorang pria yang cukup lama dikenalnya, Eliza pun bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri di antara mereka semua. Memandang mereka satu persatu dalam sebuah tatapan hangat dan penuh perasaan.     

"Terima kasih, Brian. Imelda. Kalian memperlakukan aku dengan sangat baik," ungkap Eliza dengan tulus.     

"Aku tak tahu alasan Martin menolak untuk tinggal bersamaku. Seolah ia sama sekali tak pernah menginginkan kehadiranku di dalam hidupnya. Meskipun aku sangat mencintainya, ucapan Imelda memang lah benar. Aku tak mungkin .... "     

Belum selesai Eliza mengungkapkan isi hatinya, Martin sudah menarik wanita itu dan membuat Eliza terduduk di pangkuannya. Lagi-lagi ia mendaratkan sebuah ciuman di bibir kekasihnya. Ia takut jika Eliza akan mencampakkan dirinya sebelum semuanya benar-benar dimulai.     

"Kamu telah salah paham padaku, Eliza," ucap Martin setelah melepaskan ciuman dari bibir sang kekasih. "Bukannya aku tak ingin tinggal bersamamu, aku ingin tinggal bersamamu setelah aku selesai menjadikanmu istriku yang sah." Martin mencoba untuk menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka berdua. Ia tak rela jika semuanya semakin berlarut-larut.     

Seketika itu juga, air mata Eliza langsung mengalir dari pelupuk matanya. Ia merasa sangat bahagia bisa mendengar pernyataan yang tulus dari seorang pria yang dicintainya. Segala keraguan dan juga kesedihannya seolah hilang sudah.     

"Aku sangat bahagia, Martin. Rasanya air mata ini tak mampu melukiskan kebahagiaanku." Eliza memeluk hangat tubuh kekasihnya. Sejenak ia melupakan keberadaan orang-orang di di sekitarnya.     

Tiba-tiba saja terdengar suara sorak dan tepukan tangan penuh sukacita di dalam ruangan itu. Mereka bahagia melihat momen spesial dan juga sangat romantis antara Martin dan juga Eliza. Meskipun mereka berdua harus terlibat dalam sebuah kesalahpahaman, cinta mereka tetap satu. Perasaan mereka tetap sama, Martin dan Eliza adalah pasangan yang saling mencintai satu sama lain.     

"Selamat untuk kalian berdua," sorak Imelda pada pasangan itu. Ia cukup senang melihat kebahagiaan mereka berdua. Terlebih Martin sudah seperti keluarga sendiri.     

Tanpa terasa, mereka semua sudah cukup lama mengobrol. Hingga seorang pelayan datang dan memberitahukan jika makan malam sudah siap. Sang tuan dan nyonya rumah langsung mempersilakan mereka untuk bergegas ke meja makan.     

"Sebaiknya kita makan dulu sebelum makanan menjadi dingin," ajak Imelda pada tamu-tamunya. Wanita itu memeluk lengan Brian dengan tatapan yang penuh arti.     

Pria itu pun menyadari sikap manja Imelda yang begitu tiba-tiba. Namun Brian tak bisa menebak sesuatu yang sedang diinginkan oleh istrinya itu.     

"Ada apa, Sayang? Apakah kamu cemburu melihat kemesraan mereka?" tanyanya pada sang istri. Brian melihat kegelisahan di wajah Imelda. Seolah wanita itu sedang memendam sesuatu di dalam hatinya.     

"Kita makan dulu bersama mereka." Imelda menarik tangan suaminya ke ruang makan di mana mereka semua berada. Ia pun duduk bersebelahan dengan Brian, berhadapan langsung dengan pasangan kekasih baru itu.     

"Silahkan menikmati hidangannya," ucap Imelda sebagai tanda jika ia mempersilakan mereka untuk menyantap menu makan malam yang telah disiapkan oleh para pelayan.     

Begitu makan malam selesai, Marco pamit pulang ke apartemennya. Ia merasa cukup senang karena Brian dan juga Imelda telah berhasil menyatukan pasangan kekasih itu. Ia pun mengucapkan terima kasih pada pasangan suami istri itu karena bersedia untuk mengurus kakaknya.     

"Apakah kalian akan langsung tidur?" tanya Imelda pada Eliza dan juga Martin.     

"Bagaimana jika kita mengobrol sebentar? Jarang-jarang kita bisa bersama seperti ini." Eliza terlihat sangat berharap agar mereka bisa menikmati momen kebersamaan itu.     

Tak ingin menolak tamunya, Imelda dan juga Brian pun menuruti keinginan dari Eliza. Mereka berempat kembali ke ruang tengah dan mengobrol kesana-kemari tanpa arah.     

"Kapan kalian akan menikah?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Brian. Ia tentunya juga ingin melihat kebahagiaan pasangan itu.     

Sontak saja, Martin langsung memandang ke arah kekasihnya. Ia juga belum tahu waktu yang tepat untuk pernikahan mereka. Hanya saja, pria itu memiliki sebuah janji terhadap dirinya sendiri.     

"Aku sudah mengatakannya kepada Eliza ... aku tak akan menikah sebelum pembunuh dari Irene Mahendra mendapatkan hukumannya. Itu juga yang sudah aku janjikan pada diriku sendiri. Aku harus menemukan seseorang yang bertanggung jawab atas kematian dari wanita yang dicintai oleh Bos Adi Prayoga." Martin harus mengatakan hal itu pada Brian dan Imelda, agar mereka berdua tidak salah paham atas keputusan yang sudah diambilnya.     

Sebuah pengabdian yang cukup besar yang diberikan oleh Martin pada bos-nya. Hal itu dilakukannya sebagai wujud balas budi atas kebaikan Adi Prayoga kepada dirinya dan juga adik laki-lakinya.     

"Aku tak masalah untuk menunggu Martin. Bahkan aku akan membantu kalian untuk mencari seseorang di balik insiden itu," sahut Eliza tanpa sedikit pun keraguan di dalam hatinya. Ia yakin jika segalanya pasti akan terkuak cepat atau lambat.     

Imelda dan juga Brian cukup terkejut dengan jawaban mereka berdua. Pasangan itu takut jika mereka hanya akan menghabiskan waktu dan menjadi sia-sia saja penantiannya selama ini.     

"Bagaimana jika kita tak bisa mengungkapkan seseorang di balik insiden kematian Mama Irene?" Bukannya apa-apa, Imelda hanya tak ingin jika penantian mereka hanya akan sia-sia. Ia mencoba mengingatkan hal itu sebelum benar-benar terjadi.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.