Bos Mafia Playboy

Dua Bukti



Dua Bukti

0Sejak pembicaraan Martin dan juga Adi Prayoga via telepon, Eliza terus memperhatikan kekasihnya itu. Tak sedikitpun ia berpaling dari pria yang duduk di sebelahnya. Ia juga sangat cemas melihat ketegangan yang tersirat di wajah Martin.     
0

"Apa yang terjadi, Martin?" cemas Eliza begitu melihat panggilan itu telah berakhir. Ia yakin jika hal buruk sedang terjadi. Tanpa mengalihkan pandangannya, Eliza menatap kekasihnya dengan penuh harap.     

Sebuah usapan kasar dilakukan Martin pada rambutnya. Ia merasa tak berdaya karena harus duduk di kursi roda di saat yang begitu tak stabil.     

"Entah dari mana, Natasya memiliki surat kuasa pengalihan saham dari Irene Mahendra. Padahal selama ini, surat kuasa itu tak pernah muncul. Bagaimana tiba-tiba ia memilikinya?" Hanya dengan sedikit harapan yang tersisa, Martin memandang kekasihnya itu. Ia sangat yakin jika Eliza mampu melakukan sesuatu yang berguna.     

"Kita harus memeriksa keabsahan dokumen tersebut. Tidak ada yang tahu jika surat kuasa itu sengaja dipalsukan oleh seseorang dengan kepentingan tertentu." Eliza mencoba menyakinkan kekasihnya agar tak terlalu khawatir dengan hal itu.     

"Aku akan membantumu mencari tahu. Lebih baik aku membawamu ke kamar sebelum berangkat ke kantor." Eliza mendorong kursi roda itu untuk masuk ke dalam kamar yang dipakai oleh Martin.     

Wanita itu memeluk Martin sebentar lalu beranjak meninggalkan ruangan itu. Eliza ikut khawatir pada pria yang sudah resmi menjadi kekasihnya itu. Dengan langkah cepat yang cukup menyakinkan, ia meminta seorang bodyguard untuk mengantarkan ke rumah sakit. Menunggu taksi yang kebetulan lewat pun pasti akan sangat lama.     

"Tolong antar aku kembali ke rumah sakit. Mobilku masih tertinggal di sana," pinta Eliza pada seorang pria yang bekerja untuk keluarga Adi Prayoga.     

"Baik, Nona," sahut pria itu dalam tutur kata yang sangat sopan dan juga cukup ramah.     

Tanpa membuang waktu lagi, Eliza masuk ke dalam sebuah mobil yang sudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Mereka berdua langsung melaju cepat menuju ke sebuah rumah sakit di mana tadinya Martin di rawat.     

Setelah menerobos lalu lintas yang cukup padat, mereka pun telah sampai di halaman parkir rumah sakit. Eliza pun mengucapkan terima kasih karena sang bodyguard sudah mengantarkannya sampai selamat.     

Tanpa membuang waktu lagi, Eliza masuk ke dalam mobilnya yang kebetulan berada tak jauh dari sana. Wanita itu langsung pergi meninggalkan halaman rumah sakit menuju ke rumah di mana ayahnya selama ini tinggal.     

Dalam beberapa menit saja, ia sudah masuk ke dalam sebuah rumah dengan pagar tinggi mengelilingi lokasi itu. Eliza langsung keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah besar yang terlihat cukup mewah itu.     

"Pa! Papa!" Eliza berteriak sembari mencari keberadaan ayahnya. Ia yakin jika Rizal Hartanto masih berada di rumah mewah itu.     

Merasa tak mendapatkan jawaban, Eliza langsung mendorong pintu kamar ayahnya. Tak ada siapapun yang berada di dalam sana. Ia pun beralih ke sebuah ruangan di mana Rizal Hartanto akan menghabiskan waktu dengan tumpukan berkas yang ada di atas meja.     

"Apakah Papa tidak mendengar panggilanku?" tanya Eliza begitu masuk dan mendapati pria itu duduk di kursi kebesarannya dengan tumpukan berkas.     

"Kenapa kamu berteriak seperti itu, Eliza?" Rizal Hartanto melepaskan kacamata yang terpasang di wajahnya, ia pun langsung bangkit dan mendekati anak perempuannya itu. Ia merasa jika Eliza mempunyai sesuatu yang penting untuk dibicarakan kepadanya.     

Dengan wajah sangat malas, Eliza duduk di sebuah kursi yang ada di ruangan ayahnya. Ia sengaja menunjukkan wajah kesalnya pada seorang pria yang selama ini sudah membesarkannya.     

"Apa Papa yang membantu Tante Natasya untuk memalsukan surat kuasa itu?" tuduh Eliza tanpa basa-basi pada seorang pria tinggi yang terlihat masih gagah meskipun telah berumur.     

"Memalsukan? Papa tak pernah memalsukan dokumen apapun. Dari mana kamu mendapatkan informasi itu?" Rizal Hartanto tentunya sangat penasaran pada sesuatu yang diketahui oleh Eliza. Ia merasa jika tuduhan itu sama sekali tak beralasan. Apalagi merasa tak pernah melakukan perbuatan hina itu.     

Dalam hati, Eliza percaya jika ayahnya tak akan melakukan hal itu. Namun, ia juga sadar jika Natasya memiliki hubungan yang cukup baik dengan Rizal Hartanto. Melakukan hal semacam itu, tentunya bukan apa-apa bagi seorang hakim senior seperti ayahnya itu.     

"Aku yakin jika Papa adalah orang yang membantu Tante Natasya untuk memalsukan surat kuasa itu." Lagi-lagi Eliza kembali melontarkan tuduhan itu pada ayahnya. Ia tak ingin berpikir lebih panjang lagi. Baginya sudah sangat jelas jika ayahnya lah yang telah membantu Natasya mendapatkan surat kuasa itu.     

Rizal Hartanto paham dengan arah pembicaraan dari anak perempuannya itu. Eliza berpikir jika surat kuasa itu adalah hasil dari rekayasa Natasya saja. Padahal jelas-jelas, Rizal Hartanto melihat sendiri sebuah surat kuasa asli yang ditandatangani oleh Irene Mahendra.     

"Papa hanya membantu Natasya untuk memperbaharui surat kuasa itu. Tanpa menambah atau mengurangi isi di dalamnya. Jadi Papa pikir tuduhanmu itu sama sekali tidak benar." Rizal Hartanto mencoba untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi antara ayah dan anak itu l. Ia tak ingin hal itu menjadi berlarut-larut dan berbuntut panjang.     

"Jadi ... surat kuasa itu benar-benar ada?" Eliza tentunya sangat terkejut mendengar kenyataan itu. Ia masih saja tak percaya jika surat kuasa itu. Apalagi saat melihat ekspresi Martin begitu mendengar hal itu. Pria itu sangat terkejut dan juga tak percaya dengan keberadaan surat kuasa itu.     

Pria itu mulai mencemaskan anak perempuan kesayangannya. Tak biasanya seorang Eliza Hartanto peduli dengan orang lain. Biasanya wanita itu hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri dan juga mengejar borang yang dicintainya. Sebagai seorang ayah, Rizal Hartanto tentunya sangat mengenal Eliza dibandingkan orang lain.     

Wanita itu masih saja terdiam tanpa mengatakan apapun. Eliza terlihat sedang berpikir keras untuk mendalami kasus itu. Ia tak ingin mengecewakan Martin atas sebuah kebenaran yang baru saja didengarnya.     

"Aku ingin melihat salinan surat kuasa yang lama dan juga surat kuasa yang baru-baru. Kuharap Papa menyetujui hal itu." Kali ini, Eliza sengaja mengajukan sebuah permintaan khusus pada ayahnya. Ia hanya bisa memohon dan juga mengharapkan jika Rizal Hartanto tak menolak keinginannya.     

"Papa sempat memotret yang asli dan ini salinannya." Rizal Hartanto memberikan sebuah berkas pada Eliza, kemudian ia mengirimkan email berisi gambar surat kuasa yang asli itu.     

Eliza merasa sedikit lega. Setidaknya yang memiliki sedikit bukti yang bisa menjadi setitik cahaya yang menyinarinya. Hal itu tentunya bisa di bawa saat menemui Martin. Bukan hanya dengan tangan kosong.     

Eliza langsung bergegas pergi setelah mendapatkan dua bukti itu. Hal itu membuat Rizal Hartanto merasa curiga pada anaknya sendiri.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.