Bos Mafia Playboy

Sandiwara Cinta Martin



Sandiwara Cinta Martin

0Brian dan Imelda saling memandang melihat percakapan antara kedua ayahnya itu. Mereka tak pernah menyangka jika kedua pria itu memiliki cara tersendiri untuk melindungi mereka satu sama lain. Kasih sayang di antara dua sahabat itu begitu jelas tanpa harus diungkapkan oleh mereka berdua.     
0

"Papa bisa melanjutkan perbincangan ini, aku dan Imelda akan berjalan kaki saja ke rumah sakit. Kami harus menemui dokter kandungan untuk memeriksa anakku," pamit Brian sebelum menggandeng istrinya meninggalkan dua pria yang saling melepaskan kerinduan.     

Kedua pria itu tak mungkin bisa menghentikan pasangan yang sudah berjalan menjauhi mereka sebelum mendapatkan jawaban. Davin Mahendra dan juga Adi Prayoga kembali mendebatkan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan. Mereka lebih terlihat seperti pasangan adik kakak yang selalu bertengkar saling menyalahkan. Namun tetap ada rasa cinta dan kasih sayang di dalam hatinya.     

"Kemana kita pergi, Brian?" Imelda tentunya sangat tahu, kapan ia harus mengunjungi seorang dokter kandungan. Wanita itu masih saja melangkah di samping suaminya, jarang-jarang pasangan itu bisa menikmati suasana santai yang menyenangkan.     

"Haruskah kita mengunjungi Martin?" Sebuah penawaran yang tak akan mungkin ditolak oleh Imelda. Pria itu bisa melihat jika istrinya ingin menjenguk sahabat dari kakaknya itu.     

Imelda hanya menganggukkan kepala bersamaan dengan sebuah senyuman yang merekah cerah di wajah cantiknya. Ia melangkahkan kakinya tanpa mengatakan apapun pada sang suami.     

Beberapa menit berjalan menyusuri trotoar jalanan, mereka berdua telah sampai di depan gedung rumah sakit yang terlihat tinggi menjulang. Dengan langkah yang pasti, pasangan itu berhasil masuk ke dalam lift untuk menuju ke sebuah lantai gedung di mana Martin berada.     

Saat pintu terbuka, tanpa sengaja Imelda bertemu dengan seorang dokter yang selama ini membantu untuk menangani kondisi Martin.     

"Bagaimana kondisi Martin, Dokter Dennis?" tanya Imelda begitu keluar dan melihat dokter itu.     

"Dokter Imelda!" Pria itu terlihat cukup terkejut melihat kedatangan Imelda ke rumah. Mereka berdua lalu mengobrol bersama mengenai kondisi kaki Martin pasca operasi. Seorang dokter dan juga teman dari Imelda itu benar-benar sangat detail dalam menangani pasiennya.     

Sedangkan di sisi yang lain, Brian memilih untuk langsung masuk ke dalam sebuah ruangan di mana Martin sedang duduk di sebuah kursi roda yang beradaa tak jauh dari ranjang.     

"Di mana kekasihmu itu? Kenapa tak ada siapapun yang menemanimu di sini, Martin?" Begitu masuk ke dalam ruangan itu, Brian langsung melontarkan dua pertanyaan sekaligus pada orang kepercayaan dari ayahnya.     

"Kekasih yang mana lagi?" Martin mulai kesal atas pertanyaan Brian.     

Brian terkekeh geli mendengar kekesalan pria yang sedang duduk di sebuah kursi roda. Meskipun kedua kakinya masih harus melewati tahap pemulihan yang pastinya akan memakan waktu, Martin tentunya masih memiliki pikiran yang jernih dan mampu diandalkan.     

"Bukankah kamu dan Eliza sama-sama saling suka? Apa lagi yang sedang kalian tunggu?" Brian juga ingin melihat pria yang sedang menatapnya itu juga hidup dengan baik. Apalagi hingga sampai memiliki seorang istri dan hidup bahagia. Baginya, Martin sudah seperti seorang saudara baginya. Tentunya ia menginginkan kebahagiaan untuk pria itu.     

Martin tak langsung menanggapi pertanyaan itu. Ia memilih untuk menggerakkan kursi rodanya berada di dekat jendela kaca dalam kamar itu. Dengan sengaja, ia memandang jauh ke arah luar jendela. Pria itu berpikir jika dirinya tak pantas bersanding dengan wanita seperti Eliza Hartanto.     

Rasanya sangat menyesal telah mendekati Eliza dan membuatnya jatuh cinta kepadanya. Seolah ia tak rela jika wanita itu sampai terluka karena dirinya. Martin tentunya sadar diri, jarak yang memisahkan dirinya dan Eliza Hartanto terlampau jauh.     

"Mana ada seorang jaksa dan penjahat bisa hidup bersama?" Bukannya menjawab pertanyaan Brian, Martin justru melemparkan pertanyaan balasan pada     

"Tidak ada yang tak mungkin, Martin! Kamu juga tahu sendiri, bagaimana perjuanganku hingga akhirnya aku bisa bersanding dengan Imelda." Brian sengaja mengingatkan pada Martin tentang perjuangannya dulu. Pria itu adalah saksi hidup atas dalamnya cinta seorang Brian Prayoga terhadap cinta pertamanya.     

"Aku bukan berasal dari keluarga kaya raya seperti keluargamu, Brian." Martin tentunya sadar akan posisinya. Segala yang dimiliki oleh saat itu hasil kerja kerasnya bekerja di kediaman keluarga Prayoga.     

Mereka berdua lalu terdiam tanpa kata. Brian juga mengerti kerisauan hati Martin. Suasana menjadi cukup hening terkesan sedikit mencekam dan menegangkan.     

"Kamu juga tahu sendiri, Brian. Awalnya aku mendekati Eliza hanya demi sebuah misi untuk membuat wanita itu menjauhi kalian berdua," terang seorang pria dalam wajah sedih dan tak bersemangat. Martin tak pernah membayangkan jika dirinya akan terjebak dengan permainannya sendiri.     

Di balik pintu kamar itu, Eliza sudah berdiri di me dengan kalimat terakhir yang sudah dikatakan oleh Martin kepada Brian. Ia pun mendorong pintu kamarnya lalu meletakkan jus buah yang diminta oleh Martin sebelumya di atas meja.     

"Eliza!" Martin cukup terkejut mendapati Eliza yang tiba-tiba sudah berada di kamar perawatannya. Ia bisa melihat kekecewaan di dalam hati wanita yang sudah berkali-kali mengatakan cinta kepadanya.     

"Ini jus buah pesanannya tadi. Silahkan diminum." Sekuat hati Eliza menahan rasa sakit hatinya karena perkataan dari Martin. Ia akhirnya mengerti alasan pria itu selalu menolaknya. Tak heran jika Martin tak berniat untuk mencintainya, karena nyatanya semua itu hanya sebuah sandiwara cinta yang sengaja dimainkan oleh Martin.     

Tanpa sadar, Eliza meneteskan air matanya. Ia pun langsung memalingkan wajahnya agar Martin tak melihatnya menangis.     

"Ada pekerjaan yang harus aku lakukan, Martin. Aku permisi." Eliza langsung keluar dari ruangan itu. Ia berlari dalam kekecewaan dan juga tangisnya.     

Martin masih belum sadar jika wanita itu sedang menangisi dirinya. Brian yang sejak tadi memperhatikan Eliza, ikut mengkhawatirkan wanita itu. Ia cukup mengenal wanita yang dulu pernah tergila-gila kepadanya itu.     

"Lebih baik kamu mengejarnya, Martin," bujuk Brian pada pria yang sama sekali tak berniat untuk mengejar Eliza.     

"Untuk apa aku mengejar Eliza. Bukankah lebih baik jika dia yang meninggalkan aku?" Dalam keputusasaan, Martin bisa mengatakan hal itu dengan begitu mudahnya. Meskipun hatinya juga ikut hancur, setidaknya ia tak menghancurkan masa depan Eliza.     

Brian semakin tak mengerti dengan jawaban yang dilontarkan oleh orang kepercayaan diri ayahnya itu. Bagaimana seorang pria bisa tak peduli dengan wanita yang dicintainya? Tanpa sadar, Brian menarik rambutnya sendiri. Ia tak tahan melihat kebodohan dari pria itu.     

"Cepat kejar Eliza! Atau kamu akan menyesal seumur hidupmu," seru Brian dengan wajah yang sangat cemas.     

"Tak ada yang perlu aku kejar!" tegas Martin dalam suara dingin tak berperasaan.     

Hingga tiba-tiba saja, Imelda datang dengan wajah panik.     

"Apa yang terjadi dengan Eliza? Dia menangis dan menuju ke atap gedung rumah sakit," kata Imelda sangat cemas.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.