Bos Mafia Playboy

Sebuah Ciuman Untuk Eliza



Sebuah Ciuman Untuk Eliza

0Saat wajah Martin mulai menunjukkan ketidakpedulian pada wanita yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya, Eliza justru berubah ketakutan. Ia tak menyangka jika sikap tak acuh Martin mampu membuat nyalinya menciut. Wanita itu pun langsung mengurungkan niatnya untuk terjun dari atap rumah sakit.     
0

"Tunggu, Martin!" Eliza langsung turun pagar pembatas itu. Ia tak memiliki keberanian seperti sebelumnya.     

Martin yang mendengar panggilan dari wanita itu langsung memandang ke arah Eliza. Ia pun kembali duduk di kursi roda yang berada tak jauh dari wanita itu. Entah setan apa yang sudah merasuki Martin, ia langsung menarik Eliza dan membuatnya duduk di pangkuan lalu langsung mendaratkan sebuah ciuman yang terkesan kasar dan juga terburu-buru.     

Pria itu tak peduli dengan orang-orang yang sedang menatapnya terkejut karena keberaniannya mencium Eliza tanpa permisi. Martin benar-benar telah kehilangan akal sehatnya, seolah ia sudah tak sanggup untuk menahan dirinya lagi.     

"Dasar pasangan gila!" sindir Imelda yang berada tak jauh dari mereka.     

"Apa kamu sedang cemburu, Sayang?" Dengan sengaja Brian menggoda istrinya. Ia sangat tahu jika Imelda sangat kesal pada mereka berdua. Bukan karena mereka melakukan ciuman yang cukup tak terduga, ia kesal karena hubungan mereka terlalu banyak drama yang sedikit berlebihan baginya.     

Imelda lalu memandang sekeliling atap rumah sakit, ia seakan sedang mencari-cari keberadaan seseorang. "Di mana Dokter Dennis?" tanyanya pada sang suami.     

Brian merangkulkan tangannya ke atas bahu istrinya. Kemudian ia mengajak Imelda untuk segera meninggalkan pasangan yang terlihat sedang asyik saling menyesap dan juga menghisap satu sama lain.     

"Dokter Dennis mendapatkan panggilan mendadak dari IGD. Sebaiknya kita menunggu di kamar saja, biarkan mereka menikmati kebersamaannya itu." Brian pun mengajak Imelda untuk meninggalkan atap gedung rumah sakit. Mereka berdua memilih untuk menunggu pasangan itu di ruang perawatan Martin.     

Begitu sampai di ruangan yang selama ini dipakai oleh Martin, wanita itu langsung menyandarkan kepalanya di kursi. Hal itu membuat Brian menjadi sangat cemas akan keadaan istrinya.     

"Apa kamu sangat lelah, Sayang? Haruskah aku membuka kamar baru untukmu?" tanya Brian sangat panik. Ia pun memegang kening Imelda untuk memastikan suhu tubuh istrinya.     

"Apa-apaan kamu, Brian! Jangan berlebihan, aku baik-baik saja," protes Imelda pada seorang suami yang sangat mengkhawatirkan keadaannya. Ia memang tak suka jika suaminya itu terlalu berlebihan     

Tak ingin membuat istrinya semakin kesal, Brian pun memilih untuk ikut duduk bersama sang istri. Ia terus membelai kepala Imelda dengan penuh kasih sayang.     

"Bisakah kamu membelikan aku jus buah, Brian? Sudah lama kamu tak membuatkannya untukku," pinta seorang wanita yang sedang mengandung cucu dari dua keluarga besar itu.     

"Tunggu saja mereka di sini, Sayang. Aku akan membelikan jus buah untukmu." Setelah memberikan kecupan singkat di kening Imelda, Brian lalu keluar untuk membelikan jus buah permintaan istrinya.     

Setelah menunggu beberapa saat, Imelda merasa jika suaminya tak kunjung kembali. Ia pun mulai mengantuk dan membaringkan dirinya di kursi besar yang cukup nyaman itu. Dalam hitungan menit saja, ia sudah terlelap. Nafasnya mulai terdengar teratur, menandakan jika Imelda benar-benar tertidur sendirian di atas sofa besar di ruang perawatan Martin.     

Hingga tak berapa lama, bukannya Brian yang duluan datang ... justru Martin dan Eliza yang lebih dulu sampai di sana. Begitu membuka pintu, mereka berdua cukup terkejut melihat Imelda yang tertidur di sebuah sofa.     

"Imelda!" Martin terlihat panik saat mendapati wanita itu sendirian di dalam kamarnya. "Eliza! Bisakah kamu membantuku memberikan selimut untuk Imelda?" pintanya pada wanita yang masih memegang kursi rodanya.     

Meskipun terlihat sangat ragu dan juga tidak terlalu senang, Eliza tetap melakukan permintaan Martin. Dalam hatinya, ia sangat cemburu terhadap perhatian pria itu kepada Imelda. Ia merasa jika sikap pria yang dicintainya itu sangat berlebihan.     

Setelah memberikan selimut pada Imelda, wanita itu langsung berdiri tepat di hadapan Martin. Ia pun mendorong pria itu hingga berhenti di sebuah kursi yang dekat dengan jendela kaca di ruangan itu.     

"Apa kamu begitu mencintai Imelda, Martin? Kulihat kamu sangat cemas, saat melihatnya terbaring sendirian di ruangan ini." Eliza tak ingin menyimpan sesuatu yang mengganjal hatinya. Disimpan pun, hanya akan menambahkan luka yang sangat dalam.     

Ingin rasanya Martin membenturkan kepalanya sendiri di tembok dalam ruangan itu. Ia tak tahan melihat kecemburuan Eliza. Sudah berkali-kali dijelaskan, masih saja wanita itu tak bisa menerima alasan kepedulian Martin terhadap menantu kesayangan dari keluarga Prayoga.     

"Bukankah sudah kujelaskan berulang kali? Kepedulianku pada Imelda karena dia adalah adik dari sahabatku. Ditambah lagi, ia adalah menantu kesayangan bos-ku. Yang lebih penting, Imelda juga tak akan mungkin memiliki perasaan apapun padaku. Tidakkah kamu mengerti semua itu?" Martin mulai kembali kesal atas kecemburuan Eliza yang cukup mengganggunya.     

Eliza masih saja terdiam tanpa mampu menanggapi perkataan Martin terhadapnya. Ia masih saja berpikir yang tidak-tidak akan hubungan pria yang dicintainya itu dengan seorang Imelda Mahendra. Wanita itu mencoba untuk menyakinkan dirinya sendiri atas semua yang telah dilihatnya selama ini.     

"Aku akan sangat mempercayaimu, jika kamu mau menikahi aku." Sebuah ucapan yang langsung membuat jantung Martin seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat. Eliza mengatakan hal itu tanpa keraguan sedikit pun. Seolah ia sudah sangat dinikahi oleh seorang pria yang masih menjadi pasien itu.     

"Apa!" Sebuah kejutan yang tentunya sangat tak terduga. Seorang anak dari hakim senior yang cukup ternama, meminta untuk dinikahi oleh kaki tangan seorang bos mafia. Martin sama sekali tak pernah membayangkan sebelumnya. Takdir yang membawa hidupnya juga masih saja menjadi misteri.     

"Aku tak bisa menjanjikan apapun padamu, Eliza. Rasa hutang budiku dan juga rasa hormatku pada Bos Adi Prayoga, membuatku tak bisa meninggalkan pekerjaan ini. Apa kamu mengerti maksud dari perkataanku, Eliza?" ungkap Martin dalam perasaan yang bercampur aduk tak jelas.     

Eliza berpikir sejenak, ia cukup mengerti kemana arah pembicaraan Martin kepadanya. Wanita itu tak peduli dengan status, pangkat ataupun kedudukan seseorang. Baginya, cinta tetaplah cinta. Tak ada seorang pun yang bisa merubah perasaan di dalam hidupnya.     

"Lalu ... apa masalahmu, Martin? Tak peduli apapun pekerjaanmu, perasaan di dalam hatiku sama sekali tak berubah," tegas Eliza dalam wajah yang tanpa beban. Ia begitu yakin saat mengatakan hal itu kepada pria yang dicintainya itu.     

"Masalahnya .... Aku ingin menemukan seseorang yang telah menghilangkan nyawa dari wanita yang sangat dicintai oleh bos-ku." Martin sengaja memberikan jeda dalam ucapannya, mungkin saja kalimat terakhirnya itu akan sangat mengejutkan Eliza.     

"Wanita itu adalah Irene Mahendra," sambung Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.