Bos Mafia Playboy

Asal Bersamamu, Aku Rela Dimanfaatkan



Asal Bersamamu, Aku Rela Dimanfaatkan

0Bagai sebuah tamparan mematikan yang baru saja dirasakan oleh Eliza, saat mendengar kata-kata pelan namun sangat menusuk hatinya. Secara tak langsung, Martin baru saja mengusirnya secara halus. Walaupun perkataannya tak terlalu gamblang, tetap saja pria itu secara terang-terangan meminta Eliza untuk pergi. Apalagi jika wanita itu memang tak bisa menerima segala kekurangan dan juga kondisi Martin yang tidak biasa.     
0

"Apa maksudmu, Martin? Bukankah kita sudah saling menyukai satu sama lain?" Dua pertanyaan sekaligus dilontarkan oleh Eliza pada seorang pria yang masih duduk di kursi roda. Ia sadar jika ucapan yang dikatakannya itu telah sangat menyinggung Martin.     

"Bukankah kamu menuduh kami berdua telah memanfaatkan dirimu?" sahut Martin dalam aura dingin yang biasanya diperlihatkannya.     

Martin yang tadinya begitu sangat dan juga penuh kasih sayang pada Eliza, berubah menjadi sosok dingin yang tak berperasaan. Tak bisa dipungkiri jika pria itu masih tidak bisa menerima sebuah tuduhan atas dirinya. Padahal jauh di dalam hatinya, ia benar-benar tulus menyayangi wanita itu.     

Lagi-lagi takdir mempertemukan Martin dan Eliza di waktu dan juga di tempat yang salah. Mereka harus terseret dalam rumitnya hubungan antara keluarga Mahendra dan juga keluarga Prayoga.     

"Darimana kamu bisa seyakin itu padaku? Bagaimana jika aku memanfaatkan dirimu?" Martin sengaja melemparkan pertanyaan itu kembali pada Eliza. Ia tahu jika dirinya memang tak pantas bersanding dengan keluarga Hartanto. Pria itu tak mau jika Eliza harus ikut menderita saat bersamanya.     

"Maafkan aku, Martin. Aku tak bermaksud mengatakan hal itu pada kalian berdua. Kumohon jangan salah paham kepadaku. Apapun yang kamu katakan, aku yakin jika kamu tulus kepadaku." Eliza terlihat begitu memohon atas kesalahannya yang terlalu bodoh. Ia merasa sangat menyesal atas sebuah tuduhan yang telah dilontarkannya pada kedua pria itu.     

Namun apa yang dikatakan oleh Eliza sama sekali tak menyentuh hati Martin. Pria itu masih saja bersikap dingin tanpa mau memandang ke arah seorang wanita yang baru saja memiliki hubungan dengan dengannya.     

Dalam keputusasaan Eliza, ia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan Martin. Memandangnya penuh perasaan cinta dan juga kehangatan.     

"Aku tak peduli atas apapun juga. Asal kamu mau bersamaku, dimanfaatkan pun aku rela." Seolah tanpa harga diri, Eliza mengatakan hal itu dalam posisi berlutut di depan pria yang duduk di atas kursi roda itu. Ia bahkan tak peduli jika dirinya berasal dari keluarga yang cukup terpandang.     

Imelda yang sejak tadi berada dalam keadaan antara sadar dan tak sadar, sayup-sayup mendengar pembicaraan mereka. Ia pun terpaksa membuka matanya lalu bangkit dan langsung disuguhi sebuah pemandangan yang menggugah hatinya.     

Tak pernah terbayangkan di dalam benaknya, seorang Eliza Hartanto akan berlutut di hadapan seorang pria seperti Martin. Bukan karena Imelda merendahkan status pria itu, melainkan ia tak habis pikir jika seorang jaksa yang cukup terkenal akan melakukan sebuah tindakan seperti itu.     

"Bangkit dan berdirilah, Eliza!" seru Imelda sembari menarik kasar wanita yang masih berlutut di depan Martin.     

Eliza menolehkan wajahnya lalu memandang Imelda bersamaan sebuah gelengan kepala yang berulang. Ia menolak bujukan wanita yang pernah dicintai oleh Martin untuk berdiri. Wanita itu tetap saja memilih berlutut di depan pria yang dicintainya.     

"Meskipun kamu mencintai pria ini .... " Dengan sengaja Imelda menunjukkan jarinya ke arah Martin. "Jangan sampai kamu merendahkan diri seperti itu. Sebagai seorang wanita, kita juga harus memiliki harga diri!" tegas seorang Imelda Mahendra pada seorang jaksa muda yang cukup ternama, Eliza Hartanto.     

Kemudian sebuah tatapan tajam berhasil menembus dada Martin, pria itu bisa melihat aura dingin dan menakutkan atas kemarahan Imelda. Tak pernah dilihatnya, Imelda begitu murka atas sikapnya yang sedikit keterlaluan pada Eliza. Lagipula, semua yang dilakukan oleh Martin juga untuk kebaikan mereka semua.     

"Dan kamu, Martin! Jangan mentang-mentang Eliza sangat mencintaimu, kamu bisa mempermainkan dirinya." Imelda benar-benar memberikan tekanan pada setiap kata yang telah diucapkannya pada orang kepercayaan Adi Prayoga. Tak pernah sekalipun Imelda begitu marah pada pria itu.     

Martin akhirnya sadar jika sikapnya terhadap Eliza sedikit keterlaluan. Ia pun berusaha untuk membuat wanita itu bangkit dari hadapannya.     

"Bangunlah! Sebelum Imelda menghabisi aku dan membuatmu kehilangan pria yang kamu cintai untuk kesekian kalinya." Entah itu candaan atau perkataan yang serius kedengarannya sama bagi Martin. Ia benar-benar takut jika adik dari sahabatnya itu sampai marah besar. Apalagi jika hal itu sampai terdengar oleh Vincent, pasti akan menjadi sebuah bencana baginya.     

Eliza pun langsung bangkit dan berdiri di sebelah Martin. Ia merasa berterima kasih sekaligus sedikit malu pada seorang wanita yang telah merebut Brian darinya. Namun ia sadar, jika Imelda adalah sosok wanita yang sangat tegas dan juga begitu baik. Setidaknya ia sudah menyelamatkan harga dirinya sebagai seorang wanita.     

"Maafkan aku, Imelda. Selama ini aku selalu berpikir buruk tentangmu. Sekarang aku bisa melihat sendiri jika kamu benar-benar wanita yang sangat baik. Terima kasih untuk semuanya." Eliza mengumbar senyuman tulus pada sosok wanita yang masih berdiri di sebelah Brian Prayoga.     

Imelda tak memberikan jawaban apapun pada Eliza. Ia cukup senang saat wanita itu menyadari kesalahannya. Hanya sebuah senyuman tulus yang sengaja diberikan oleh Imelda kepada kekasih baru dari Martin itu     

"Oh ya ... aku punya kabar baik untuk kalian semua. Sore ini, Martin sudah bisa keluar dari rumah sakit. Namun ia tetap harus melakukan pemeriksaan rutin selama beberapa bulan ke depan. Sepertinya, Martin harus tinggal di rumah kami saja," terang Imelda.     

"Tidak!" Secara bersamaan, Brian dan juga Eliza memberikan sebuah tanggapan yang sama. Mereka tak setuju jika Martin tinggal satu atap bersama Imelda.     

Sontak saja, Imelda melemparkan tatapan tajam pada kedua orang itu. Ia tak menyangka jika mereka berdua memberikan jawaban yang sama dengan waktu yang hampir bersamaan.     

"Ada apa dengan kalian berdua? Bukankah kalian juga tahu jika Martin masih membutuhkan pengawasan khusus dari seorang tenaga medis?" Imelda mencoba menjelaskan posisinya.     

"Apa kalian berdua juga seorang dokter?" Sebuah pertanyaan yang tentunya tak memerlukan jawaban lagi. Jelas-jelas mereka tahu jika hanya Imelda yang berprofesi sebagai dokter di antara mereka.     

Dalam posisi itu, hanya Martin yang bisa tersenyum melihat ekspresi wajah mereka semua. Ia tak masalah harus berada di mana saja. Martin hanya memerlukan seseorang untuk membantunya mengurus keperluan pribadinya.     

"Biar aku yang merawat Martin." Eliza menawarkan dirinya untuk merawat pria yang dicintainya itu.     

"Apa kamu seorang dokter? Bagaimana pasangan yang belum menikah bisa tinggal bersama?" sahut Imelda dengan tatapan kesal pada mereka semua.     

"Bukankah kamu juga melakukan itu dengan Brian?" lontar Eliza.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.