Bos Mafia Playboy

Mari Hidup Bersama!



Mari Hidup Bersama!

0Martin terlihat cukup bingung untuk menjawab pertanyaan Eliza. Ia belum menemukan sebuah bukti yang membuktikan keterlibatan Rizal Hartanto atas kejahatan Natasya.     
0

"Aku masih belum yakin mengenai hal itu, Eliza." Hanya jawaban itu saja yang bisa diberikan oleh Martin pada seorang jaksa muda itu.     

"Tak perlu menutupi apapun dariku, Martin. Jika papaku memang bersalah, ia harus mendapatkan hukumannya," sahut Eliza dengan penuh keyakinan. Sebagai seorang jaksa, ia tak pernah tebang pilih. Selama ini, ia menjadi seorang jaksa yang jujur dan berdedikasi tinggi. Hal itu juga yang membuat karirnya langsung meroket.     

Ingin sekali Martin menertawakan dirinya sendiri. Ia tak menyangka jika akan jatuh hati pada wanita yang memiliki kehidupan yang berlawanan dengannya. Ibarat hitam dan putih, begitu juga kehidupan yang sedang dijalani oleh Martin dan Eliza.     

"Bagaimana dengan kita? Bukankah aku adalah seorang penjahat yang harus kamu tangkap?" Martin pun mulai memikirkan masa depan dalam hubungannya dengan Eliza. Ia tak mau bermain-main dalam menjalani sebuah hubungan dengan seorang wanita.     

"Aku tahu, apa yang seharusnya aku lakukan? Kamu juga lakukan saja semua yang seharusnya kamu lakukan," balas seorang wanita yang sebenarnya juga bingung dengan posisinya sebagai seorang kekasih dari seorang kaki tangan mafia kelas kakap.     

Mereka berdua akhirnya menghentikan pembicaraan yang tak akan pernah menemukan titik terang. Daripada menjadikan sebuah ketegangan yang tanpa akhir, Martin pun meminta Eliza untuk membantunya membereskan beberapa barang-barangnya.     

"Bisakah kamu membantuku untuk merapikan semua barang-barang itu?" pinta Martin pada seorang wanita yang baru saja menjadi kekasihnya. Meskipun tanpa sebuah ikrar di antara mereka.     

"Baiklah, Calon suamiku," goda Eliza tanpa melihat wajah Martin yang begitu malu mendengar panggilan itu akan dirinya.     

Pria itu masih saja tak percaya dengan jalan hidup yang harus dijalaninya. Semua benar-benar di luar dugaan. Apalagi, kehadiran Eliza yang tiba-tiba di dalam kehidupannya. Martin hanya bisa menjalani perannya sebagai kekasih dan juga seorang pria yang bekerja sebagai orang kepercayaan sang bos mafia.     

Saat Eliza terlihat sedikit sibuk merapikan barang-barangnya, tiba-tiba saja ... Marco masuk ke dalam ruangan itu. Ia terlihat ragu untuk meneruskan langkahnya saat melihat Eliza yang juga berada di sana.     

"Apa aku mengganggu kalian?" Hanya pertanyaan itu yang bisa diucapkan oleh Marco untuk menyapa kedua orang di dalam ruangan itu.     

"Tak perlu basa-basi. Ada apa kamu datang ke sini, Marco?" balas Martin pada seorang pria yang masih terlihat muda darinya. Pria itu adalah anak buah Davin Mahendra yang juga adik kandungnya sendiri.     

Sambil mendudukkan dirinya di kursi, Marco melirik ke arah Eliza yang masih sibuk dengan semua barang yang berada di atas ranjang.     

"Apakah wanita itu kekasihmu?" Sebuah pertanyaan dari Marco itu telah membuat Eliza sangat terkejut dan langsung terbatuk-batuk tanpa henti.     

"Tak perlu dijawab, aku sudah tahu jawabannya." Marco menyimpulkan sendiri apa yang dilihatnya dari setiap tatapan mata keduanya. Ia sangat yakin jika mereka berdua memiliki hubungan yang spesial.     

Sejak kedatangannya, Marco sama sekali tak mengalihkan pandangan dari Eliza. Ia merasa familiar pada wajah dari kekasih kakaknya itu. Ia pun mencoba untuk mengingat beberapa kejadian dari beberapa hari belakangan. Marco langsung melepaskan senyuman hangat yang penuh arti pada pasangan itu.     

"Bukankah dia adalah wanita yang Kakak bawa ke apartemenku beberapa hari yang lalu?" Bukannya mendapatkan sebuah jawaban, Martin justru melemparkan sebuah botol kosong ke arah Marco. Ia tak suka saat adiknya itu mengungkit sebuah kejadian di saat Eliza sangat mabuk dan mereka berdua hampir melakukan hubungan terlarang itu.     

"Tutup mulutmu!" bentak seorang pria yang mulai cemas jika kekasihnya akan marah mendengar penuturan Marco padanya.     

Marco justru langsung terkekeh melihat kekesalan kakaknya. Ia tak menyangka jika saudara laki-lakinya itu akan bersikap sangat berlebihan terhadap wanita yang sedang dekat dengannya.     

"Kak Martin akan pulang ke apartemenku atau ke rumah Kakak sendiri?" Marco hanya ingin memastikan tentang kepulangan dari saudaranya itu. Tentunya, ia harus menyiapkan beberapa persiapan jika Martin memang akan tinggal di apartemennya.     

Begitu mendengar pertanyaan dari Marco, wanita itu langsung membalikkan badannya lalu berjalan ke arah pria muda yang tampak mirip dengan kekasihnya. Eliza lalu duduk di antara Marco dan juga Martin. Ia sangat penasaran dengan ucapan Marco sebelumnya.     

"Rumah? Apakah Martin memiliki tempat tinggal lainnya selain di apartemen itu?" tanya Eliza pada seorang pria yang masih cukup muda baginya.     

"Kakak tidak tahu? Apartemen itu milikku, biasanya Kak Martin tinggal di rumahnya sendiri yang berada di pinggiran kota. Setelah Kak Martin sembuh, kalian bisa tinggal bersama di sana. Lokasinya sangat nyaman untuk pasangan kekasih apalagi baru hangat-hangatnya seperti kalian." Marco mengatakan hal itu tanpa melihat kekesalan Martin akan dirinya. Seolah kakaknya itu sudah bersiap untuk menghabisi nyawa adiknya sendiri.     

Lagi-lagi Martin melemparkan beberapa buah-buahan yang berada tak jauh darinya. Ia begitu geram saat Marco mengatakan segalanya tanpa bertanya dulu padanya.     

"Dasar, Adik kurang ajar!" teriak Martin bersamaan dengan sebuah pisang yang melayang ke wajah adiknya. Untung saja Marco dengan gerakan cepat bisa langsung menangkapnya.     

"Jangan dengarkan Marco," bujuk seorang pria yang menjadi salah tingkah atas kelakuan adiknya sendiri. Marco terlalu blak-blakkan terhadap kekasih barunya. Hal itu membuatnya sangat kesal atas kelakuannya.     

Eliza lalu bangkit dari tempat duduknya, ia bergerak ke arah Martin dan menatapnya cukup tajam. Ia merasa jika pria itu seolah masih saja tak ingin terbuka terhadap dirinya. Namun apa boleh buat, Eliza sudah terlanjur jatuh cinta pada seorang pria yang belum lama dikenalnya.     

"Setelah kakimu sembuh, mari hidup bersama." Sebuah penawaran yang begitu menggiurkan bagi seorang pria pada umumnya. Namun penawaran menggiurkan itu tak berlaku bagi seorang Martin. Ia tak pernah berpikir untuk menjalani sebuah hubungan bebas tanpa ikatan apapun.     

"Tidak. Aku tak ingin tinggal denganmu!" Dengan sangat tegas, Martin memberikan jawaban itu pada Eliza. Ia terlalu terburu-buru menanggapi pertanyaan itu hingga melupakan perasaan wanita yang secara terang-terangan telah menyatakan cintanya.     

Terlukis kesedihan dan juga kekecewaan dalam wajah Eliza. Ia tak menyangka jika Martin akan langsung menolak penawarannya. Bahkan pria itu terlihat tak memikirkannya sama sekali.     

"Aku mau ke toilet sebentar." Wanita itu bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan yang berada di kamar perawatan Martin. Eliza tak ingin memperlihatkan air matanya pada calon adik iparnya, itupun kalau dirinya dan Martin benar-benar akan bersama.     

Marco hanya bisa menggelengkan kepala, melihat perkataan kakaknya yang tak berperasaan.     

"Bagaimana Kakak bisa mengatakan hal itu? Bahkan ucapan Kak Martin lebih menyakitkan dari seseorang yang sedang ditolak cintanya," terang Marco pada saudara laki-lakinya yang tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.