Bos Mafia Playboy

Kecemburuan Martin



Kecemburuan Martin

0"Kenapa kalau memang seorang wanita?" celetuk Imelda tanpa memikirkan apapun. Ia tahu jika Eliza pastinya akan sangat cemburu jika terapis itu seorang wanita.     
0

Dennis masih saja mengulas senyuman pada kedua wanita yang memandang ke arahnya. Ia pun merapikan barang-barangnya dan bersiap untuk meninggalkan ruangan itu.     

"Tenang saja, aku sengaja menyiapkan seorang perempuan dan juga lelaki agar Martin merasa lebih nyaman," terang Dennis pada sosok wanita di sebelah Martin. Dokter itu akhirnya keluar dengan diantarkan oleh Imelda menuju pintu depan.     

"Bagaimana lokasi ini begitu sulit ditemukan? Kalau tak ada yang datang untuk menjemput, aku pasti akan tersesat." Dennis merasa jika lokasi itu benar-benar tersembunyi dan cukup sulit ditemukan.     

Imelda menghentikan langkahnya begitu sampai di depan rumah. Ia memandang wajah seorang pria yang cukup penasaran dengan jawabannya.     

"Lokasi ini adalah tempat persembunyian keluarga Prayoga. Tentunya berada di sini akan cukup aman dari bahaya apapun. Jangan sampai orang lain mengetahui lokasi ini!" Imelda menepuk pundak Dennis bersamaan ucapannya yang penuh tekanan. Ia sengaja memperlihatkan rekan dokternya itu agar tak sembarangan menceritakan keberadaan lokasi itu.     

"Aku mengerti, Dokter Imelda. Setelah menjalani beberapa kali terapi, Martin pasti akan bisa berjalan lagi. Aku harus langsung ke rumah sakit," pamit Dennis pada seorang wanita yang cukup lama dikenalnya. Hubungan kedua dokter itu juga sangat baik. Mereka saling membantu di saat saling membutuhkan.     

Begitu mobil Dennis menghilang dari pandangan Imelda, tak berselang lama Brian keluar dari kamarnya. Ia melihat jika Imelda masih berada di luar. Brian langsung menyusul istrinya itu.     

"Apakah Dokter Dennis sudah pergi?" Sebuah pertanyaan yang cukup mengejutkan bagi Imelda.     

Wanita itu memalingkan wajahnya dan mendapati Brian berjalan ke arahnya. Imelda tersenyum hangat melihat suaminya yang terlihat cukup tampan pagi itu.     

"Dia baru saja pergi," jawab Imelda tanpa mengalihkan pandangan dari sang suami. Ia pun memeluk lengan Brian dan menyandarkan kepala di pundaknya.     

"Mengapa kamu terlihat sangat tampan pagi ini, Brian?" tanya Imelda dalam suara manja yang cukup khas. Entah mengapa, ia ingin selalu berdekatan pada suaminya pagi itu. Seolah ia sedang memikul sebuah beban kerinduan yang mendalam.     

Brian mendapati jika hal itu adalah sebuah sinyal yang sengaja dikirimkan istrinya. Dalam sekali gerakan, pria itu mengangkat tubuh Imelda dan membawanya ke halaman belakang di mana mereka akan sarapan. Sampai di sana, ia menurunkan sang istri dengan sangat hati-hati.     

"Tunggulah di sini sebentar, Sayang. Aku akan memanggil pasangan kekasih itu." Brian kembali masuk ke dalam bangunan dua lantai itu. Kemudian berjalan menuju kamar di mana Martin dan Eliza berada. Ia pun langsung menyuruh pasangan itu untuk segera menyusul Imelda di taman belakang rumah itu.     

Secara bersamaan mereka berjalan beriringan menyusul Imelda. Eliza berjalan sambil mendorong Martin yang duduk dalam kursi roda. Begitu sampai di halaman belakang rumah, Imelda mengumbar senyuman hangat kepada mereka semua.     

"Duduklah. Ayo kita sarapan bersama." Imelda terlihat cukup senang bisa menikmati sarapan pagi dengan pasangan baru itu. Ia merasa mendapatkan sebuah keluarga baru yang membuatnya merasa lebih baik.     

Mereka semua terlihat begitu menikmati santapan pagi yang sudah disiapkan oleh pelayan di rumah itu. Bahkan Imelda terlihat menambah beberapa makanan ke dalam piringnya.     

"Sayang. Tidakkah itu terlalu banyak untukmu?" Brian mulai cemas jika istrinya itu sampai mengeluh sakit perut setelah menghabiskan banyak makanan.     

Sontak saja, Imelda langsung meletakkan sendok dan juga garpu yang berada di kedua tangannya. Mendadak ia kehilangan nafsu makan setelah mendengar ucapan suaminya.     

"Apakah kamu tak mau menjadi suamiku jika aku gendhut?" Sebuah pertanyaan penuh kekesalan diucapkan oleh wanita hamil itu pada suaminya. Ia merasa jika Brian lebih suka melihat wanita-wanita yang sexy.     

Melihat ketegangan itu, Eliza pamit pergi untuk membawa Martin kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa tak enak hati harus menyaksikan ketegangan di antara mereka.     

"Apakah mereka sering bertengkar seperti itu, Martin?" Eliza merasa prihatin pada pasangan suami istri itu. Ia juga cukup cemas melihat pertengkaran mereka berdua.     

"Tak perlu dipikirkan, sebentar lagi mereka pasti sudah berbaikan dan melakukan sesuatu yang tak bisa kamu bayangkan," jelas Martin pada seorang wanita yang baru saja menjadi kekasihnya.     

Eliza mencoba untuk memikirkan penjelasan dari Martin. Namun ia masih samar-samar memahami hal itu. Rasa penasaran semakin menggebu di dalam hatinya. Dengan tidak sabar, ia kembali bertanya pada pria yang duduk di kursi roda itu.     

"Bisakah kamu menjelaskan dengan lebih gamblang?" pinta Eliza setengah memohon dengan penuh arti.     

"Tak perlu kujelaskan. Kamu bisa langsung melihatnya sendiri di halaman belakang," balas Martin begitu menyakitkan. Seakan ia sangat yakin atas jawaban yang telah diberikannya kepada Eliza.     

Wanita itu terlihat cukup ragu untuk memastikan hal itu. Namun Eliza juga sangat penasaran pada penjelasan Martin kepadanya. Ia pun memberanikan diri untuk berjalan ke halaman belakang itu seorang diri. Baru sampai teras di samping rumah itu, ia semakin ragu dan memilih untuk kembali ke kamar Martin.     

"Aku takut jika mereka marah saat melihatku berada di sana," ucap Eliza begitu kembali ke kamar kekasihnya.     

"Apa yang kamu takutkan, Eliza? Apa kamu takut cemburu ketika melihat Brian sedang bersama Imelda?" Tercium aroma kecemburuan pada setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Martin. Ia juga tak mengerti alasan dirinya bisa mengatakan hal itu pada kekasihnya.     

Wanita itu tentunya merasa baru saja mendapatkan sebuah tamparan keras. Eliza tak pernah membayangkan jika Martin bisa berpikiran sesempit itu. Tak sekalipun iya berpikir untuk cemburu kepada sosok bos mafia itu.     

"Apa maksudmu, Martin? Apa kamu masih tak percaya kepadaku?" Eliza terlihat sangat kecewa atas tuduhan Martin terhadap dirinya. Padahal sudah sangat jelas jika wanita itu sangat mencintai orang kepercayaan dari Adi Prayoga. Namun ia semakin tak habis pikir Martin akan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.     

Martin tersenyum kecut pada wanita yang berada tak jauh darinya. Ada sedikit keraguan karena Eliza memilih untuk menahan dirinya.     

"Jika kamu memang tak cemburu pada Brian ... ayo kita melihatnya bersama-sama." Martin sengaja ingin menantang kekasihnya, sekaligus membuktikan jika ia bisa benar-benar tak cemburu kepada seorang pria seperti Brian Prayoga. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana wanita itu akan menyaksikan momen romantis antara Imelda dan seorang pria yang pernah dicintainya.     

Merasa sedang ditantang oleh kekasihnya sendiri, Eliza bergegas untuk mendorong kursi roda di mana Martin sedang duduk. Mereka berdua benar-benar mendatangi taman belakang di mana Brian dan Imelda berada.     

Berada tak jauh dari pasangan suami istri itu, Eliza langsung menghentikan langkahnya. Jantungnya mendadak berdebar hebat melihat kemesraan mereka.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.