Bos Mafia Playboy

Sebuah Tindakan Ceroboh



Sebuah Tindakan Ceroboh

0Dalam beberapa menit saja, Davin Mahendra dan beberapa orang yang bekerja untuknya langsung menggerebek mobil itu. Ia tak rela jika Imelda sampai membahayakan dirinya.     
0

"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Davin Mahendra langsung mengetuk jendela kaca mobil itu cukup keras. Tak lupa ia juga sudah menyiapkan sebuah senjata yang siap pakai jika orang-orang itu melakukan tindakan yang berbahaya.     

Dalam wajah terkejut dan juga sedikit pucat, salah seorang dari mereka membuka pintu dan langsung keluar dari mobil.     

"Kami sedang menunggu seseorang datang untuk menjemput kami. Kebetulan sekali mobil kami sedang mogok." Pria itu mencoba untuk menjelaskan situasi yang sedang dialaminya.     

Davin Mahendra meletakkan senjatanya, seolah ia langsung percaya dengan perkataan dari pria itu. Ia pun mengajak semua orang untuk kembali ke posisi masing-masing. Baru juga menyebrangi jalanan, mobil itu langsung menancap gas untuk melarikan diri dari Davin Mahendra.     

Pria itu merasa sangat bodoh karena telah mempercayai kebohongan dari orang yang sengaja mengintai rumahnya. Davin Mahendra juga tak mungkin mengejar mobil itu. Ia memilih untuk mobil-mobil menghampiri Brian dan juga Imelda yang masih berada tak jauh dari pagar rumahnya.     

"Kenapa kalian masih berada di sini?" tanya Davin Mahendra di sebelah mobil Brian yang sengaja dalam keadaan pintu terbuka.     

"Aku tak menyangka, Papa bisa begitu mudah dibodohi oleh orang-orang di dalam mobil itu. Harusnya, Papa bisa menangkap dan menginterogasi orang-orang itu, bukan malah melepaskannya melepaskan begitu saja." Imelda masih saja menggerutu, melihat sikap ayahnya sendiri.     

Lagi-lagi Davin Mahendra tak bisa mengelak atas ucapan Imelda. Ia benar-benar sangat ceroboh kali ini. Tak seharusnya ia begitu mudah ditipu oleh orang-orang itu.     

"Pulanglah dengan lebih berhati-hati. Apakah kalian membutuhkan pengawalan dari para bodyguard?" tawar ayah kandung dari Imelda Mahendra. Ia ingin memastikan jika anak dan menantunya bisa sampai di rumah keluarga Prayoga.     

"Kami bisa menjaga diri kami sendiri, Pa. Tak perlu memberikan pengawalan khusus untuk kami." Imelda langsung menolak tawaran dari ayahnya. Ia merasa jika dirinya tak membutuhkan pengawalan apapun dari ayahnya.     

Setelah melakukan perbincangan singkat, Brian langsung menyalakan mesin mobil untuk segera meninggalkan rumah ayah mertuanya. Ia tak ingin terjadi ketegangan yang semakin mendalam antara istrinya dan juga ayah mertuanya.     

"Bukankah tindakan Papa begitu bodoh?" Imelda masih saja tak habis pikir dengan kecerobohan ayahnya.     

"Sudahlah, Sayang. Bisa saja Papa sedang banyak pikiran hingga sedikit ceroboh kali ini." Sebisa mungkin, Brian mencoba untuk menenangkan hati dari istrinya. Ia tak ingin jika Imelda akan terus menjadikan hal itu sebagai bulan-bulanan.     

Hingga tak berapa lama, mereka telah sampai ke tempat tujuan. Dengan terburu-buru dan wajah yang masih sedikit kesal, ia masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah map besar yang diberikan oleh Davin Mahendra.     

Begitu sampai di dalam, ia langsung bergerak ke tempat di mana Martin dan Eliza berada. Pasangan kekasih itu terlihat sedang berbincang serius sembari menatap layar monitor di hadapannya. Imelda menjadi sangat penasaran dengan pembicaraan di antara mereka. Ia pun mempercepat langkahnya dan langsung duduk tepat di sebelah Eliza.     

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" cetus Imelda begitu duduk di antara mereka.     

"Kami baru saja memeriksa beberapa dokumen yang berhasil didapatkan Martin dari pusat arsip. Apakah kamu sudah mendapatkan dokumen pembandingnya?" Eliza terlihat cukup serius dalam hal itu. Ia tak ingin melewatkan apapun yang bisa merugikan mereka semua.     

Imelda langsung meletakkan map besar itu di atas meja. Ia pun langsung membuka isi di dalamnya. Terdapat beberapa dokumen penting milik ibunya. Meskipun Irene sudah cukup lama tiada, Davin Mahendra masih merawat barang-barang milik istrinya itu.     

"Ini ada beberapa dokumen yang bisa kita gunakan sebagai pembanding dari surat kuasa itu," ucap Imelda pelan namun penuh harap. Ia sangat berharap jika anak perempuan dari keluarga Hartanto itu bisa membantunya menyelesaikan segalanya.     

"Aku akan melakukannya dengan sebaik mungkin. Kalian tunggu saja kabar terbaru dariku." Eliza bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk meninggalkan rumah itu. "Martin! Jangan lupa mengirimkan dokumen dari pusat arsip ke email. Aku harus kembali ke kantor terlebih dulu," pamit Eliza pada mereka semua.     

Begitu bergerak keluar dari rumah itu, tanpa sengaja Eliza dan Brian saling berpapasan. Pria itu langsung menghentikan langkahnya dan meminta Eliza untuk berhenti sejenak.     

"Tunggu, Eliza!" seru Brian pada seorang jaksa muda yang dulu terus mengejarnya.     

"Ada yang bisa kubantu, Brian?" Eliza menjawab panggilan Brian dalam nada yang cukup formal. Hal itu tentunya membuat pria itu menjadi sedikit sungkan pada Eliza.     

Hanya tatapan tajam yang penuh arti yang bisa diperlihatkan oleh Brian pada Eliza, ia masih memikirkan sebuah kata yang tepat untuk memohon bantuan dari wanita itu.     

"Kuharap kamu benar-benar tulus membantu kami berdua. Setidaknya lupakan semua dendam di antara kita selama ini." Brian mengatakan hal itu begitu tulus. Hampir saja i     

Eliza terbawa suasana atas ucapannya itu.     

"Tenang saja, Brian. Aku sudah melupakan semuanya. Setidaknya, perasaan cintaku pada Martin jauh lebih besar daripada kebencianku padamu. Dan kamu juga tahu, Martin begitu menyayangi Imelda seperti adiknya sendiri," terang Eliza pada seorang pria yang cukup terkejut karena wanita itu bisa bersikap cukup dewasa dalam menghadapi segalanya.     

Setidaknya Brian bisa sedikit lega atas jawaban yang dilontarkan oleh Eliza. Ia bisa lebih tenang atas dendam selama ini dikobarkan oleh wanita itu di dalam hatinya.     

"Terima kasih, Eliza. Aku tak tahu harus berkata apalagi padamu." Seolah baru saja kehilangan kata-katanya, Brian pun tak tahu lagi harus berkata apa pada wanita cantik yang berdiri di hadapannya. Ia berharap jika Eliza sanggup memaafkan segala kesalahannya di masa lalu.     

"Sudah-sudah! Jangan berlebihan! Bisa-bisa aku jatuh cinta padamu lagi," goda Eliza sebelum benar-benar keluar dari rumah itu. Brian hanya bisa memandangi mobil itu keluar dari gerbang tinggi di rumahnya.     

Sejak tadi, tanpa Brian sadari Imelda sedang memperhatikan perbincangan mereka berdua. Wanita itu memang tak mendengar pembicaraan mereka, namun Imelda sangat yakin jika Brian dan Eliza membicarakan sesuatu yang cukup penting.     

Karena begitu penasaran, Imelda pun memilih untuk langsung bertanya pada suaminya. Ia memandang Brian penuh arti dalam sorot mata penuh kecurigaan.     

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Kulihat kalian berdua sangat akrab," tanya Imelda dalam wajah serius tanpa ada senyuman sedikit pun.     

"Bukan sesuatu yang penting, Sayang," sahut Brian tanpa menyadari kecemburuan Imelda yang sudah berada di pucuk kepalanya.     

Perasaan itu seolah akan meledak dan menghancurkan semua yang ada di sekitarnya. Lagi-lagi Brian sama sekali tak bisa membaca ekspresi sang istri.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.