Bos Mafia Playboy

Semakin Cinta



Semakin Cinta

0Di dalam rumahnya, Brian dan juga Imelda sedang duduk berdua sembari melihat Martin mendapatkan terapi untuk kakinya. Pemulihan kakinya berlangsung sangat cepat, seharusnya Martin sudah bisa berjalan meskipun sangat pelan. Namun pria itu memilih untuk menunggu sampai kakinya benar-benar sembuh.     
0

"Terapi hari ini sudah selesai. Kami berdua pamit kembali ke rumah sakit, Dokter Imelda," pamit dua orang tenaga medis yang dipercaya oleh Dennis untuk memberikan terapi pada kaki Vincent.     

"Terima kasih ya ... " balas Imelda dalam tutur katanya yang terdengar begitu tulus dan penuh perasaan.     

Terlihat Martin langsung mengambil ponsel miliknya, ia berusaha untuk menghubungi kekasihnya. Namun sudah beberapa panggilan, tak ada jawaban apapun dari Eliza. Bahkan dipanggilan terakhirnya, ponsel wanita itu tak bisa dihubungi lagi. Ia menjadi cemas memikirkan seorang wanita yang terlihat sangat kesal saat pergi dari rumah itu tadi pagi.     

"Bisakah kamu membantuku untuk menghubungi Eliza, Imelda?" pinta Martin pada wanita yang duduk di sebelah Brian.     

Tanpa membuang waktu, Imelda langsung mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Eliza. Namun ia juga tak bisa menghubungi wanita itu, bahkan tak satupun yang tersambung.     

"Sepertinya Eliza mematikan ponselnya," celetuk Imelda pada sosok pria yang semakin panik mendengar ucapan menantu dari keluarga Prayoga itu.     

Martin mulai berpikir yang tidak-tidak pada Eliza. Ia pun mengambil laptop miliknya lalu melacak keberadaan ponselnya. Sayangnya, ponsel itu benar-benar mati dan tak bisa dilacak keberadaannya.     

"Mengapa Eliza harus mematikan ponselnya?" Martin semakin kesal mengetahui kekasihnya itu sengaja mematikan ponselnya. Ia menjadi sedikit marah pada wanita yang berprofesi sebagai jaksa itu.     

"Bisa saja baterai ponselnya habis," sahut Imelda untuk menenangkan hati Martin. Ia bisa melihat jika pria itu sudah sangat kesal dan juga sedikit marah karena tak bisa menghubungi kekasihnya. Tak biasanya Martin memperlihatkan sikap yang sedikit berlebihan pada mereka.     

Tanpa mengatakan apapun lagi, Martin memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa tak berguna saat tak bisa menghubungi kekasihnya itu.     

Di ruang tengah, Imelda hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat kekesalan Martin kepada Eliza. Pria itu seperti seorang anak kecil yang marah karena mainannya telah hilang. Seperti itulah wajah Martin ketika sudah sangat kesal.     

"Ada apa dengan Martin, Brian? Tak biasanya ia seperti itu. Bukankah itu sedikit berlebihan?" Imelda juga merasakan sikap Martin yang tidak biasa.     

"Mungkin ia benar-benar telah jatuh cinta pada Eliza. Hingga merubah sikap bawaannya," sahut Brian pada istrinya. Pada ia sama sekali tak tahu, apa yang sebenarnya dirisaukan oleh Martin.     

Brian hanya senyum-senyum memandang istrinya, ia tahu jika Imelda sedang mengkhawatirkan pria itu. Sebagai seorang suami, Brian sama sekali tak cemburu pada istrinya. Namun kekhawatirannya itu justru membuat dirinya menjadi ikut cemas.     

"Haruskah aku mencari keberadaan Eliza?" Brian menawarkan dirinya untuk mencari sosok wanita yang sudah banyak membantunya itu. Ia tak rela melihat Imelda yang begitu khawatir melihat Martin kesal dan juga terus gelisah.     

"Tak perlu, Brian. Sebentar lagi Eliza juga akan segera ke sini. Lebih baik kita menunggu saja." Imelda membaringkan tubuhnya di atas sofa besar. Ia sengaja memakai paha suaminya untuk menjadi bantal.     

Dengan gerakan lembut, Brian terus membelai istrinya hingga pelan-pelan ... Imelda mulai terlelap. Wanita itu benar memejamkan matanya, membuat dirinya terbuai dalam mimpi.     

"Tidurlah, Sayang," bisik Brian pelan di telinga istrinya. Awalnya, Brian ingin memindahkan Imelda ke kamarnya. Namun sepertinya, wanita itu sudah sangat nyaman tertidur di pangkuannya. Ia pun hanya memindahkan Imelda ke sebuah bantal besar agar kepalanya lebih nyaman.     

Sembari menemani istrinya tertidur di kursi, Brian mulai menyaksikan siaran berita dari layar televisi di ruangan itu. Terlihat beberapa agen intelijen baru saja meringkus beberapa penjahat saat melakukan penyergapan. Brian melihatnya dengan sangat seksama. Ia merasa ada yang sangat menarik baginya.     

"Siapa yang membeli bahan peledak sebanyak itu?" Brian ikut penasaran saat menyaksikan siaran dalam layar televisi.     

Saat Brian sedang tenggelam dalam pemikirannya, ia tak sadar jika Eliza sudah masuk dan memperhatikan sang tuan rumah yang terlihat sibuk dengan angan-angannya.     

"Di mana Martin? Mengapa tak terlihat bersama kalian?" Eliza sangat penasaran dengan keberadaan kekasihnya. Tak biasanya pria itu mengurung dirinya di kamar sendiri.     

"Martin kesal saat tak bisa menghubungimu. Ia pun langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Apa apa dengan ponselmu?" Brian sengaja menanyakan hal itu karena dirinya juga cukup penasaran.     

Eliza tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan itu. Ia tak bermaksud untuk merahasiakan apapun dari Brian dan Imelda. Hanya saja, ia ingin bertemu dengan Martin terlebih dulu.     

"Nanti aku akan memberitahu kalian berdua. Namun aku ingin menemui kekasihku terlebih dulu." Eliza langsung bergegas ke sebuah kamar di mana Martin berada. Ia melihat pria itu sedang duduk di dekat jendela dalam pandangan kosong.     

"Mengapa kamu melamun, Martin?" Sapaan itulah yang pertamakali dilontarkannya pada sang kekasih. Eliza bisa merasakan kegelisahan di dalam hati kekasihnya.     

Martin langsung menolehkan kepala dan menatap tajam ke arah kekasihnya.     

"Jika kamu tak ingin aku menghubungi kamu bisa katakan padaku. Tak perlu mematikan ponselmu," lontar Martin tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya. Ia langsung mencurahkan kekesalan di dalam hatinya karena tak bisa menghubungi sang kekasih.     

"Kamu sudah salah paham terhadap aku. Sebenarnya, ponselku dirampas oleh papaku. Ada sesuatu yang terjadi begitu aku pergi dari rumah ini." Eliza mencoba untuk menjelaskan semuanya sebelum Martin semakin salah paham kepadanya. Ia tak menyangka jika pria itu bisa berpikir sempit seperti itu.     

Martin mencoba memahami setiap penjelasan yang dikatakan oleh Eliza. Ia tak menyangka jika dirinya sudah berpikir sangat berlebihan.     

"Apa yang sebenarnya terjadi, Eliza?" Tanpa diduga, Martin justru menarik kekasih itu hingga terjatuh di pangkuannya. Ia pun melemparkan tatapan tajam yang penuh perasaan cinta yang begitu membara.     

Entah dorongan dari mana, Martin justru mendaratkan sebuah ciuman yang tak terduga di bibir kekasihnya. Pasangan itu saling membalas ciuman mereka tanpa henti. Bukan hanya Martin, Eliza juga tak kalah hebat dalam memberikan ciuman balasan itu pada kekasihnya.     

"Kupikir kamu marah dan mematikan ponselmu," ucap Martin lirih di sela ciuman mereka berdua. Pasangan benar-benar tenggelam dalam gairah yang telah berhasil diciptakannya sendiri.     

"Bagaimana aku bisa marah? Yang ada aku semakin mencintaimu, Martin." Eliza terlihat begitu jujur dan sangat tulus mengatakan hal itu.     

Pria itu semakin terbuai dalam perkataan lembut Eliza Hartanto. Martin semakin mendekap erat tubuh kekasihnya, seolah ia tak rela jika berjauhan.     

"Apa yang membuat Rizal Hartanto mengambil ponselmu?" tanya Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.