Bos Mafia Playboy

Terlalu Meremehkan Seorang Wanita



Terlalu Meremehkan Seorang Wanita

0"Asal bukan orang-orang kita saja yang tertangkap." Brian cukup lega saat mendengar penangkapan itu tidak ada hubungannya dengan bisnis keluarga Prayoga. Setidaknya ia tak akan repot untuk mengurus kekacauan itu.     
0

Martin terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka suaranya. Ia merasa jika sesuatu yang diketahuinya itu harus juga diketahui oleh mereka semua.     

"Bahan peledak itu berasal dari Dimitri. Seseorang sengaja memesannya melalui pelobi barang ilegal," jelas Martin atas informasi yang didapatkannya dari seseorang yang cukup bisa dipercaya.     

"Pastilah pemesan itu bukan orang biasa. Bahkan ia bisa memiliki kenalan seorang pelobi. Aku jadi penasaran pada sosok di balik satu mobil box bahan peledak itu." Brian bukan orang baru dalam bisnis itu. Ia mengenal beberapa pelobi yang biasanya mencari calon pembeli untuk transaksi yang sangat berbahaya. Namun kali ini, ia sama sekali tak mendapatkan informasi apapun dari mereka semua.     

Tiba-tiba saja suasana berubah hening, kedua wanita itu menjadi pendengar pasif atas kekacauan itu. Tak berapa lama, datanglah Adi Prayoga dengan wajahnya yang terlihat cemas. Pria tua itu melangkah dengan terburu-buru, seolah berkejar-kejaran dengan waktu.     

"Bisakah kamu selidiki dalang di balik ledakan tadi pagi, Martin? Aku ingin melihat, siapa yang sebenarnya sedang berbisnis dengan Dimitri," ucap sang bos mafia begitu sampai tak jauh dari Martin. Adi Prayoga tentunya sangat ingin tahu seseorang yang bisa saja merusak bisnisnya. Ia mendapatkan sebuah firasat buruk tentang bisnisnya. Oleh karena itu, Adi Prayoga langsung menemui Martin secepatnya.     

"Baik, Bos. Meskipun aku tak bisa melakukannya secepat mungkin, aku akan tetap berusaha untuk menemukan dalang di balik ledakan tadi pagi." Bukan tidak mungkin Martin menemukan seseorang yang terlibat dengan insiden ledakan pagi tadi. Hanya saja, ia tak bisa langsung menyelidikinya sendiri. Hal itu tentu saja cukup menghambat pekerjaannya.     

Adi Prayoga terlihat masuk ke ruang kerja sebentar lalu kembali keluar dengan wajah yang cukup tegang. Bahkan pria itu sampai tak menyapa menantu kesayangannya. Padahal biasanya, Adi Prayoga pasti akan mencurahkan segala perhatian pada Imelda.     

"Apakah hal ini sangat berbahaya bagi Papa? Tidak biasanya Papa mengabaikan aku, Brian." Imelda bisa merasakan jika ayah mertuanya tidak baik-baik saja. Ia sangat khawatir jika ada hal buruk yang sedang terjadi dengan seorang pria yang begitu menyayanginya itu.     

"Mungkin Papa hanya terburu-buru, Sayang. Tak perlu berpikir yang berlebihan," hibur Brian pada wanita yang tak lain adalah istrinya. Bukan hanya Imelda, Brian juga merasakan kecemasan ayahnya yang cukup besar. Tak biasanya seorang Adi Prayoga akan sangat panik dalam menghadapi sesuatu yang belum jelas terjadi.     

Martin terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dia sedang berusaha untuk menghimpun banyak informasi yang bisa digalinya. Terlihat dari ekspresinya, pria itu seolah mengalami sedikit kesulitan untuk menemukan seseorang di balik insiden itu.     

"Apa kamu masih belum mendapatkan apa-apa, Martin?" tanya Brian pada seorang pria yang begitu serius bekerja di depan layar monitor.     

"Sial! Mereka sengaja menutup akses untuk masuk. Apa yang sedang mereka sembunyikan dariku? Biasanya para pelobi itu selalu siap jika aku meminta informasi sepenting apapun. Namun hari ini .... Seolah mereka dengan sengaja menutup akses agar aku tak bisa menghubungi mereka semua." Martin mulai kesal karena tak bisa mendapatkan informasi apapun dari orang-orang yang biasanya mau bekerja sama dengannya. Tiba-tiba saja mereka menutup akses dari Martin.     

Eliza dan Imelda saling memandang satu sama lain, mereka merasa ada yang tidak beres dengan orang-orang itu.     

"Adakah yang bisa aku bantu, Martin?" tanya Eliza pada kekasihnya. Ia ingin sedikit membantu Martin dalam menyelesaikan pekerjaannya.     

"Tak perlu! Pekerjaan ini sangat berbahaya, kamu tak bisa menangani mereka." Martin langsung memberikan kata penolakan pada wanita yang sudah begitu peduli kepadanya. Ia tak ingin membahayakan wanita yang sangat dicintainya itu.     

Imelda tersenyum sinis pada pria yang masih saja duduk di kursi roda. Ia merasa jika Martin terlalu meremehkan kekasihnya itu. Sebagai sesama wanita, hal itu tentu saja melukai harga dirinya seorang Imelda Mahendra. Ia tak suka saat ada seorang pria yang memandang remeh wanita.     

"Kamu terlalu meremehkan seorang wanita, Martin. Walaupun Eliza tak memiliki kemampuan bertarung yang hebat, ia memiliki kekuatan hukum yang bisa menerobos akses mereka. Dengan seragam kebesaran yang dipakainya saja, kekasihmu ini bisa melakukan sesuatu yang tak bisa kamu lakukan," tegas seorang Imelda Mahendra atas pandangan sebelah mata yang diperlihatkan olah Martin pada Eliza.     

"Aku tahu, Imelda. Tak sedikit pun aku berpikir untuk meremehkan Eliza. Sejujurnya, aku hanya takut jika Eliza akan terluka saat menghadapi kegilaan mereka," jelas Martin tanpa melebihkan ataupun mengurangi arti dari maksud perkataannya. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk melindungi wanita yang dicintainya itu.     

"Cukup, Martin!" Tiba-tiba saja Eliza berteriak keras. Ia merasa tak tahan mendengar penjelasan Martin.     

Pria itu merasa bingung atas nada protes yang dilayangkan oleh Eliza. Tak bisa dipungkiri, Martin merasa takut jika perkataannya sampai melukai hati kekasihnya itu. Rasanya ia merasa berdosa jika wanita itu benar-benar terluka karena ucapannya.     

"Maafkan aku, Eliza. Aku sama sekali tak berniat untuk menyakitimu," sesal seorang pria yang langsung meletakkan laptopnya di atas meja. Martin hanya ingin menenangkan hati kekasihnya terlebih dahulu. Tak peduli seberapa penting pekerjaan yang seharusnya diselesaikan.     

"Jika kamu berbicara lagi ... aku akan sangat membencimu!" seru Eliza dalam wajahnya yang mulai terlihat penuh kesedihan. Ia sangat tersentuh pada setiap kata yang diucapkan oleh Martin kepadanya. Tak pernah terbayangkan sekali pun jika kekasihnya itu begitu peduli akan keselamatannya.     

Martin semakin bingung dengan situasi yang tak bisa dipahaminya. Ia pun tak memiliki hak untuk menanyakan hal itu kepada kekasihnya sendiri. Dengan sangat berat hati, ia pun diam tanpa mengatakan apapun. Ia tak mungkin menjadikan kekasihnya itu benar-benar membencinya.     

Brian dan Imelda juga ikut bingung berada dalam situasi tersebut. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi pada pasangan itu.     

"Apa kalian membutuhkan waktu untuk berdua saja? Kami berdua akan dengan sukarela meninggalkan kalian," ucap Imelda pada pasangan yang sejak tadi terdiam tanpa mengatakan apapun. Mereka hanya saling memandang tanpa mengatakan apapun satu sama lain.     

Tak mendapatkan jawaban dari Eliza dan juga Martin, Brian pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua saja. Ia berpikir jika ada hal yang harus diselesaikan oleh pasangan itu.     

"Nikmati waktu kalian. Aku dan istriku akan beristirahat di kamar," pamit Brian sembari mengajak Imelda untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia sengaja membuat pasangan itu menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Tak ingin jika semuanya melebar badan semakin menambah rumit hubungan mereka.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.