Bos Mafia Playboy

Mencari Saksi Mata



Mencari Saksi Mata

0Adi Prayoga cukup terkejut dengan ucapan dari sahabatnya itu. Ia justru merasa senang jika Davin Mahendra mau mempekerjakan orang-orang yang pernah bekerja dengannya. Apalagi setelah ledakan di gudang penyimpanan miliknya, tentu saja kondisi keuangan Adi Prayoga tak lagi sama.     
0

"Kalian lebih baik menerima tawaran dari Davin Mahendra. Aku tahu ini menjadi keputusan yang sulit untuk kalian. Kalian tak perlu khawatir jika aku akan berpikir jika ini sebuah pengkhianatan. Davin Mahendra adalah sahabatku, anggap saja kalian bekerja untuk sahabatku itu." Adi Prayoga menjelaskan agar orang-orang yang bekerja untuknya itu bisa memutuskan sesuatu yang tidak merugikan bagi mereka.     

Di sisi lain, Davin Mahendra sangat memahami kesetiaan mereka semua. Ia sangat tahu jika semua orang yang bekerja untuk Adi Prayoga tentunya sangat loyal terhadap sahabatnya itu.     

"Begini saja, untuk sementara kalian bekerja untukku saja. Setelah kondisi Adi Prayoga mulai membaik ... kalian semua bisa kembali pada bos kesayangan kalian ini." Davin Mahendra mengungkapkan sebuah solusi terbaik untuk mereka semua. Ia sama sekali tak mengambil keuntungan dari semua itu.     

Segala yang dilakukannya, semata-mata hanya untuk membantu mereka saja. Terutama membantu sahabatnya, Adi Prayoga.     

"Kalian bisa memikirkan keputusan ini. Hubungi saja Martin jika kalian berminat untuk bekerja untukku sementara waktu ini," pungkas Davin Mahendra sebelum meminta mereka semua untuk membubarkan diri dari ruangan itu.     

Adi Prayoga bergegas ke arah pria yang terlihat seperti seorang pahlawan baginya. Ia berdiri di hadapan sahabatnya itu dalam tatapan yang penuh arti.     

"Terima kasih atas semuanya," ucap Adi Prayoga dengan sangat tulus.     

"Jangan salah paham kamu, Prayoga! Aku sedang berusaha untuk merebut anak buahmu, dan kamu justru mengucapkan terima kasih?" Davin Mahendra tertawa lepas setelah melontar sindiran untuk sahabatnya itu.     

Adi Prayoga sama sekali tak menanggapi perkataan itu. Ia tak peduli apapun yang akan dilakukan oleh sahabatnya itu kepadanya. Dengan wajah yang tak acuh, Adi Prayoga berjalan menuju ke sebuah mini bar di dalam rumahnya. Ia pun menuang setengah gelas sebuah minuman yang biasanya dipakainya untuk berpesta.     

"Tidak inginkah kamu menemani sahabatmu ini untuk minum?" tawar Adi Prayoga pada Davin Mahendra.     

Ayah dari Imelda itu lalu mendekati mini bar yang tak jauh dari ruang makan itu. Ia pun ikut duduk bersama dengan Adi Prayoga di sana.     

"Aku merasa trauma setiap kali ingin meneguk minuman terkutuk ini." Davin Mahendra selalu mengingat sebuah kejadian yang membuat persahabatannya hancur. Terlebih, kehidupannya menjadi berantakan setelah insiden minuman terkutuk itu.     

Tiba-tiba saja, Adi Prayoga tertawa sendiri. Tanpa sadar, air matanya menetes dari sudut mata. Pria itu terlihat sangat menyedihkan saat membayangkan sebuah musibah yang merubah segalanya.     

"Dulu ... aku ingin mati saja, setiap mengingat kejadian malam itu .... " Lagi-lagi Adi Prayoga tak mampu menahan air matanya. Hatinya pilu setiap kali mengingat kejadian itu.     

"Maaf." Hanya satu kata itu yang mampu terucap dari mulut Davin Mahendra. Seumur hidup, ia menyesali kejadian malam terkutuk itu. Ia juga telah membayar atas sesuatu yang telah dilakukannya di malam itu.     

Adi Prayoga meletakkan gelas kosong di tangannya. Seolah ia ingin menghentikan dirinya sendiri.     

"Kenapa kamu yang minta maaf padaku? Kita sama-sama memiliki kesalahan di masa lalu. Mari kita kubur itu bersama .... " Adi Prayoga mulai sedikit mabuk dan suaranya terdengar tidak stabil. Davin Mahendra pun akhirnya memutuskan untuk menemani sahabatnya itu untuk melepas kesedihan. Namun kali ini sangatlah berbeda, tidak ada orang lain di antara mereka berdua. Tidak akan ada lagi kesalahan yang mungkin bisa dilakukan.     

Tak jauh dari mereka, Eliza mendengarkan pembicaraan antara dua sahabat itu. Ia merasa jika ada sesuatu yang sangat menyedihkan terjadi di antara mereka. Wanita itu pun mendekati kekasihnya dan menatapnya penuh arti.     

"Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, Martin?" Eliza sangat penasaran dengan kisah masa lalu antara dua sahabat yang begitu peduli satu sama lain.     

"Aku tak punya hak untuk menceritakan hal itu, Eliza. Sebenarnya itu adalah sebuah aib bagi dua keluarga." Martin tentu saja tak ingin mengungkapkan sesuatu yang tak seharusnya dikatakannya. Walaupun wanita itu adalah kekasihnya, Martin tak ingin membuka masa lalu kelam antara keluarga Mahendra dan juga Prayoga.     

Eliza tentunya tak mungkin memaksakan hal itu pada Martin. Ia yakin jika hal itu benar-benar sangat pribadi.     

"Aku mengerti." Sebuah senyuman tulus terukir di antara mereka. Eliza sangat memahami kekasihnya itu. Ia tentunya juga sangat menghargai privasi dari orang lain.     

"Sebaiknya, kita biarkan mereka berdua melepaskan kerinduannya. Apakah kamu membawa mobil?" tanya Martin pada kekasihnya.     

Wanita itu hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun. Martin pun langsung menarik tangan kekasihnya dan mengajak wanita itu untuk keluar dari sana. Ia pun mengajak Eliza untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindang di halaman belakang rumah itu.     

"Kita hanya bisa menunggu mereka sampai sadar kembali. Kita tak mungkin jalan kaki untuk kembali ke tempat di mana Brian dan juga Imelda berada." Martin mencoba untuk menjelaskan situasi dan juga kondisi yang sedang dihadapi oleh mereka.     

"Menurutmu, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu Om Adi?" Eliza benar-benar bingung dengan langkah yang akan diambilnya. Ia sebenarnya takut salah langkah dan justru mempersulit mereka semua.     

Kecemasan di wajah Eliza terlukis begitu jelas. Hal itu membuat Martin mulai mengkhawatirkan kekasihnya itu. Ia tak ingin membuat Eliza menjadi kerepotan atas semuanya.     

"Jika kamu masih bingung, tak perlu melakukan apapun. Cukup fokus pada pekerjaanmu saja, Eliza," jawab Martin pada wanita yang duduk di sampingnya itu.     

"Itu bukan jawaban, Martin. Walaupun sekarang aku ingin mengungkapkan kematian Irene Mahendra, hal itu pasti akan sangat sulit. Kejadian itu sudah belasan tahun silam. Bukti-bukti pasti sudah dilenyapkan," ungkap Eliza dengan tatapan ragu yang tak bisa ditutupinya.     

Martin memang sempat memikirkan hal yang sama dengan Eliza. Namun ia menyakini jika ada saksi mata dalam kejadian itu. Entah orang itu masih hidup atau sudah tak bernyawa.     

"Kalau pun segala bukti sudah dilenyapkan, setidaknya akan masih ada saksi mata yang mungkin bisa kita temukan. Aku sedang berusaha untuk menyelidiki hal itu," jelas Martin pada kekasihnya. Ia tak pernah sedikit pun merasa kehilangan harapan untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya tentang insiden kecelakaan yang telah merenggut Irene Mahendra.     

Eliza berusaha untuk mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Martin. Ia juga berharap jika insiden beberapa tahun silam itu bisa kembali terungkap.     

"Mungkinkah papaku mengetahui hal ini?" tanya Eliza sedikit ragu. Ia sangat penasaran akan keterlibatan ayahnya dalam insiden itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.