Bos Mafia Playboy

Sebuah Kado Dari Natasya



Sebuah Kado Dari Natasya

0Pagi-pagi sekali, saat semua orang masih terlelap. Secara bersamaan, pintu kamar Brian dan Martin sama-sama mendapatkan sebuah ketukan keras. Brian yang masih sangat mengantuk langsung keluar dari kamarnya.     
0

Begitu pula Martin, ia memaksakan diri berjalan pelan tanpa alat bantu apapun. Meskipun cukup lama, akhirnya ia bisa sampai di depan pintu kamarnya. Brian yang melihat Martin berjalan tertatih langsung menghampirinya dan membantunya.     

"Apakah sedang terjadi perang?" Sebuah pertanyaan langsung terlontar dari mulut Brian saat dua orang bodyguard itu mengetuk pintu kamar seperti sedang menabung genderang perang.     

"Ada sebuah ledakan besar di gudang penyimpanan di pinggiran kota. Lima anak buah kita tewas seketika. Bos sedang melihat ke lokasi dengan beberapa orang yang tersisa," jelas mereka dalam wajah panik dan juga sangat bingung.     

"Apa! Bagaimana itu bisa terjadi?" Martin dan juga Brian masih tak bisa mempercayai semuanya. Ia berpikir jika mereka masih tidur dan hanya bermimpi saja.     

Brian langsung mengambil ponsel miliknya untuk menghubungi Adi Prayoga. Namun beberapa kali ia berusaha tak ada jawaban apapun dari ayahnya. Ia pun sangat panik dan langsung mengambil kunci mobilnya.     

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Martin pada Brian.     

"Aku harus melihat keadaannya. Tak mungkin aku hanya diam di sini sedangkan Papa harus menghadapi kekacauan itu sendirian," jelas Brian pada orang kepercayaan ayahnya itu.     

Tanpa berpikir panjang, Martin pun memutuskan ikut bersama dengan Brian dengan segala kekurangan yang masih menyulitkannya. Ia berusaha keras untuk berjalan ke dalam sebuah mobil yang akan dikendarai Brian untuk menuju ke gudang penyimpanan.     

Kedua pria itu masuk ke dalam mobil dan langsung berangkat dengan kecepatan penuh. Brian sudah tak sabar untuk melihat kondisi gudang penyimpanan yang selama ini menyimpan seluruh barang yang diperjualbelikan oleh anak buahnya.     

Sampai di lokasi, Martin dan juga Brian dibuat tercengang oleh kondisi bangunan yang sudah rata dengan tanah. Tak ada lagi yang tersisa di sana, hanya beberapa reruntuhan saja yang masih ada nyala api yang membara.     

Brian langsung menghampiri ayahnya yang masih berdiri terpaku dalam tatapan kosong atas lokasi itu. Ia merasa jika semuanya seperti sebuah mimpi buruk yang terlalu nyata baginya.     

"Siapa yang telah melakukan semua ini, Pa?" Brian bertanya langsung pada seorang pria yang seolah baru saja kehilangan segalanya.     

"Kamu sangat mengenalnya, Brian." Hanya kalimat itu yang dikatakan oleh Adi Prayoga kepada anaknya.     

Tak berapa lama, seorang anak buah mendatangi mereka dengan sebuah box yang terlihat sangat cantik.     

"Ada seorang kurir yang mengirimkan ini, Bos," ucap seorang anak buah pada Brian.     

Tanpa ada keraguan sedikit pun, Brian langsung membuka kota mewah itu dan mengambil selembar kertas di dalamnya. Brian bergegas untuk membaca isi tulisan dalam kertas itu.     

"Happy Birthday, Adi Prayoga. Apakah kamu menyukai kado ulang tahun dariku? Apakah sangat mengejutkan untukmu? Itu belum apa-apa, Prayoga! Aku bersumpah akan menghancurkan dirimu hingga tak bersisa. Dari seseorang yang sudah kamu hancurkan hatinya .... " Brian tak sanggup lagi membaca isi dalam surat itu.     

"Bagaimana Mama bisa melakukan semua ini, Pa?" Brian ingin sekali menangis melihat perbuatan ibunya yang sangat mengerikan. Segala bisnis yang telah dijalankan oleh keluarga Prayoga telah hancur tak bersisa. Brian sempat bingung memikirkan kondisi keluarganya untuk beberapa waktu ke depan.     

Adi Prayoga masih bisa tersenyum tipis di antara puing-puing bangunan yang sudah meledak dan juga terbakar. Ia sudah menduga jika hal itu akan terjadi, meskipun awalnya hanya sebuah firasat saja. Ternyata itu semua adalah sebuah peringatan baginya.     

"Lebih baik kita kembali, tak ada apapun yang bisa kita selamatkan." Adi Prayoga berangsur meninggalkan lokasi itu dan masuk ke dalam mobilnya. Tak ada apapun yang harus disesalinya, segala yang terjadi benar-benar di luar kuasanya.     

Begitu mobil Adi Prayoga meninggalkan tempat itu, Brian pun segera mengajak Martin untuk pergi dari sana. Setiap reruntuhan itu, melambangkan sebuah hati yang hancur berantakan. Brian tak pernah membayangkan jika seorang wanita seperti Natasya bisa melakukan hal sekeji itu.     

Di dalam mobil, Martin terlihat sangat menyesali yang telah terjadi. Ia terus menyalahkan dirinya sendiri karena tak segera menemukan orang-orang yang membeli barang peledak itu.     

"Kalau saja aku bisa lebih cepat mengetahui seseorang yang sudah membeli bahan peledak ... mungkin semua akan berbeda." Martin mengatakan hal itu dalam suara bergetar hebat. Ia benar-benar merasa sangat bersalah atas insiden itu. Ketidakberdayaan telah membuat Martin seolah tak berguna, ia menyesal atas semua yang menimpa bos-nya.     

"Itu bukan salahmu!" tegas Brian atas rasa bersalah yang ditunjukkan oleh Martin.     

Brian melajukan mobilnya sangat kencang untuk menyusul ayahnya dan orang-orang yang datang bersama Adi Prayoga. Mereka langsung menunju ke sebuah tempat di mana mereka bisa berlindung dari berbagai ancaman yang mungkin saja bisa membahayakan mereka semua.     

Begitu masuk ke dalam gerbang rumah itu, Brian dan Martin langsung mencari keberadaan Adi Prayoga. Pria tua itu sedang berdiri di halaman samping dengan beberapa orang yang yang bekerja untuknya.     

Entah untuk alasan apa, Martin langsung menghampiri Adi Prayoga dan berlutut di hadapan sang bos mafia. Dia merasa sangat bersalah atas segala kekacauan yang terjadi saat itu.     

"Bos! Tolong ampuni aku, Bos. Aku benar-benar tak becus dalam mencari informasi tentang Nyonya Natasya. Tak seharusnya aku begitu lalai hingga tak menyadari keterlibatan mantan istri Anda dengan para pelobi itu." Martin berlutut di depan Adi Prayoga dengan kepala tertunduk karena rasa bersalah. Ia merasa bodoh karena tak bisa menghindarkan semuanya.     

"Bangunlah, Martin! Aku sama sekali tak menyalahkan dirimu. Semua sudah menjadi suratan takdir yang harus aku terima. Jangan menyalakan dirimu sendiri." Adi Prayoga berusaha untuk membantu Martin bangkit dari hadapannya. Ia tak ingin menyalahkan siapapun atas segala kekacauan yang sudah terjadi. Karena semua yang terjadi, sebatas dendam Natasya terhadap dirinya.     

Meskipun Martin mendengarkan perintah Adi Prayoga untuk bangkit, ia tak pernah menganggap segalanya adalah takdir bagi Adi Prayoga. Baginya, dendam Natasya atas Adi Prayoga tak seharusnya dilakukan oleh wanita itu. Jelas-jelas, Natasya yang selalu saja mencari masalah dengan Adi Prayoga dan juga keluarganya.     

Martin bersumpah akan membalas segala kekejaman Natasya atas bosnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Natasya menerima hukuman setimpal atas segala yang telah dilakukan wanita itu.     

Entah bagaimana caranya, Martin akan berusaha untuk membongkar kebusukan dari mantan istri dari Adi Prayoga itu.     

Dari depan pintu sampai rumah itu, Eliza mendengar sendiri penyesalan Martin atas rasa bersalahnya. Ia merasa jika dirinya ikut bersalah atas insiden itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.