Bos Mafia Playboy

Jangan Sakiti Martin!



Jangan Sakiti Martin!

0Begitu Brian dan juga Imelda menyelesaikan semua administrasi, pasangan itu langsung kembali ke sebuah ruangan di Martin berada. Baru saja membuka pintu, terlihat wajah muram antara kakak beradik itu.     
0

"Ada apa dengan kalian berdua? Di mana Eliza?" Tak tanggung-tanggung, Imelda melontarkan dua pertanyaan sekaligus pada kedua pria yang memiliki hubungan darah. Wanita itu memandang sekeliling untuk mencari keberadaan seorang wanita yang tadi juga berada di ruangan itu.     

"Tanyakan saja pada kakakku!" Marco terlihat sangat kesal pada pria dingin yang tak berperasaan itu. Ia pun melirik tajam ke arah Martin. Pria muda itu berpikir jika perkataan kakaknya sangat keterlaluan. Tak seharusnya ia mengatakannya terlalu jelas.     

Brian melihat barang-barang Martin yang sudah tertata rapi. Ia yakin jika Eliza yang sudah melakukannya. Karena ia dan juga Imelda sempat melihat kedatangan Marco yang belum lama.     

"Kalian segeralah bersiap-siap! Mobil sudah menunggu di depan lobby rumah sakit." Tanpa sengaja Brian mendengar suara air mengalir di dalam kamar mandi. Ia menyakini jika Eliza berada di dalam sana.     

"Sepertinya Eliza masih di toilet, Sayang. Sebaiknya kamu tunggu dulu di sini, biar kita menunggu kalian di lobby rumah sakit." Brian seolah mengetahui jika terjadi sesuatu dengan wanita yang pernah mengejarnya selama bertahun-tahun yang lalu. Ia pun membiarkan istrinya untuk sedikit menenangkan hati dan juga pikiran Eliza Hartanto.     

Imelda menganggukkan kepala menanggapi ucapan suaminya. Ia memilih duduk di sebuah sofa yang berada di ruangan itu.     

Sedangkan Marco berjalan di belakang Brian yang mendorong kursi roda, sembari membawa beberapa barang milik kakaknya. Mereka semua ke luar dari ruangan itu menuju ke lobby rumah sakit, di mana sudah ada mobil yang menjemput mereka.     

Setelah menunggu beberapa saat, pintu kamar mandi terbuka. Terlihat Eliza keluar dari dalam sana dengan wajah yang terlihat tidak baik-baik saja. Bola matanya terlihat merah dan nampak berair seperti baru saja menangis. Bahkan wajah wanita itu begitu menyedihkan.     

"Apa kamu baik-baik saja, Eliza?" Imelda menanyakan hal itu sambil bangkit lalu bergerak ke arah depan kamar mandi. Ia melihat kekasih dari Martin itu terlihat gelisah dan juga sangat bingung.     

"Aku baik-baik saja, Imelda. Di mana mereka semua?" Sebuah senyuman lembut sengaja diperkirakan oleh Eliza untuk menutupi kesedihan dan juga kekecewaannya. Ia menahan segala perasaan dan juga rasa sakitnya agar dirinya tak terlihat sangat menyedihkan.     

Mendengar jawaban itu, Imelda sama sekali tak mempercayai Eliza. Ia bisa melihat jika wanita itu benar-benar menyedihkan.     

"Mereka sudah menunggu di lobby rumah sakit. Apakah Martin telah menyakiti hatimu?" Tak bisa dipungkiri oleh Imelda, ia sangat mencurigai sosok pria yang selama ini bekerja untuk keluarga Prayoga. Hanya Martin yang bisa membuat Eliza begitu terluka dan sangat menyedihkan seperti saat itu.     

"Jangan menyakiti Martin, Imelda. Aku sangat mencintainya, tak peduli ia benar-benar mencintai aku atau tidak." Sebuah jawaban yang diberikan oleh Eliza justru membuat Imelda hanya bisa menggelengkan kepalanya.     

Imelda tak menyangka jika Eliza sudah jatuh begitu dalam. Rasanya begitu bodoh saat mendengar wanita itu tak peduli dengan perasaannya. Ia tak percaya seorang jaksa muda yang begitu terkenal bisa kehilangan akal sehatnya. Apalagi, sudah jelas-jelas Martin telah menyakiti hatinya. Masih saja Eliza terus membela pria itu. Hal itu membuat Imelda ingin mengelus dadanya sendiri.     

"Lebih baik kita menyusul mereka di bawah, kita bisa membicarakannya lagi setelah sampai di rumah." Mereka berdua lalu keluar dari ruangan itu dan bergegas menyusul ketiga pria yang turun lebih dulu.     

Tanpa Eliza menjelaskan apapun padanya, Imelda sudah sangat yakin jika ada sedikit masalah antara wanita itu dan juga orang kepercayaan dari ayah mertuanya. Meskipun jaksa muda itu berusaha untuk menutupi kesalahan Martin, Imelda bukan seorang wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa.     

Begitu keluar dari pintu lift, mereka berdua langsung berjalan beriringan menuju ke lobby depan rumah sakit. Dari kejauhan, terlihat Brian sudah tak sabar untuk menunggu kedatangan mereka berdua. Pria itu sudah berdiri di sebelah mobil dengan Marco yang berada tak jauh darinya.     

"Langsung masuk saja! Martin sudah duduk di dalam mobil," cetus Brian pada kedua wanita yang baru saja datang. Ia pun langsung membuka pintu mobil untuk para wanita cantik yang hanya terdiam tanpa mengatakan apapun.     

Brian bisa merasakan tatapan penuh arti yang diperlihatkan oleh istrinya. Seakan ia bisa menangkap sebuah sinyal yang sengaja dilemparkan Imelda kepadanya.     

"Apa yang sedang terjadi pada mereka, Brian? Eliza nampak baru saja menangis setelah keluar dari toilet." Imelda sengaja menanyakan hal itu karena ia sangat penasaran pada pasangan kekasih yang baru saja mengikat hubungan.     

"Aku juga tidak tahu, Sayang. Sepertinya Marco melihat kejadian yang membuat Eliza begitu terluka hingga sampai menangis di dalam toilet," jawab Brian dengan hal yang diketahuinya saja. Selebihnya ia tak mengetahui apapun yang telah terjadi pada mereka berdua.     

Tanpa membuang waktu, Imelda mendekati seorang pria muda yang berdiri tak jauh dari mereka. Ia pun memandang Marco dalam sorotan mata penuh tanya.     

"Ikutlah pulang ke rumah, ada hal yang ingin kutanyakan padamu, Marco," ajak Imelda pada sosok pria yang juga bekerja di bawah pimpinan Davin Mahendra.     

"Aku ada misi darurat setelah ini," kilah Marco dengan penuh keraguan.     

Sebenarnya, tak ada pekerjaan apapun yang mendesak untuk Marco. Ia selalu merasa takut dan sangat gelisah jika harus berhadapan langsung dengan anak dari atasannya itu. Baginya, Imelda adalah sosok wanita tegas yang sangat menakutkan. Bahkan saudara laki-lakinya itu juga tak ingin terlibat masalah dengan anak perempuan dari keluarga Mahendra.     

Imelda tersenyum kecut mendengar jawaban Marco. Ia pun mengambil ponsel dari dalam tasnya dan langsung menghubungi seseorang yang memiliki kuasa di badan intelijen tempat pria muda itu bekerja.     

"Om Jeffrey! Aku memerlukan sedikit bantuan Marco sekarang. Tolong ijinkan dia menemaniku." Tanpa basa-basi sedikit pun, Imelda langsung menghubungi teman dekat ayahnya itu. Tentu saja, Jeffrey tak mungkin menolak keinginan seorang Imelda Mahendra. Terlebih hanya sebuah permintaan kecil yang tak berarti.     

"Terima kasih, Om Jeffrey," ucap Imelda sebelum kembali memasukkan ponsel ke dalam tasnya.     

Seperti sebuah harga mati, Marco tak bisa berkilah. Apalagi sampai menolak keinginan Imelda untuk ikut ke rumahnya. Ia benar-benar dibuat tak berkutik oleh menantu dari keluarga Prayoga. Seolah tak memiliki harapan untuk kabur, Marco memilih untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Ia tak tahan dengan tatapan tajam yang dilemparkan Imelda kepadanya.     

"Kamu selalu berhasil membuat seseorang tak memiliki pilihan, Dokter Imelda Mahendra," gumam Marco pelan pada seorang wanita yang selalu saja mengintimidasi orang-orang di sekitarnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.