Bos Mafia Playboy

Istri Untuk Martin



Istri Untuk Martin

0Eliza baru saja menghubungi beberapa orang yang dikenalnya. Ia bermaksud untuk membantu Vincent mencari kekasihnya yang menghilang. Berbekal informasi yang Martin berikan, wanita itu meminta beberapa orang sekaligus untuk menemukan sosok wanita yang bekerja sebagai dokter anestesi.     
0

Begitu pembicaraan via telepon selesai, Eliza bermaksud untuk kembali ke ruang perawatan dari seorang pria yang membuatnya jatuh hati itu. Baru juga berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka, ia mendengar perkataan Martin yang seolah membuat langit langsung runtuh baginya.     

"Sampai kapanpun, aku akan menyayangi Imelda seperti yang sudah kukatakan sebelumnya." Meskipun cukup pelan di telinga Eliza, ia mendengar dengan sangat jelas perkataan Martin itu. Tanpa sadar, ia mendorong pintunya hingga terbuka dan mengejutkan dua pria itu.     

Martin dan juga Vincent langsung melemparkan sebuah tatapan terkejut atas kehadiran Eliza. Mereka khawatir jika wanita itu akan salah paham terhadap ucapannya.     

"Maaf. Seperti aku datang di waktu yang tidak tepat," ucap Eliza dalam tatapan yang mulai meredup dan tak bersemangat. Ia mencoba tetap tenang dan tak memperlihatkan kekecewaan di dalam hatinya. Dengan gerakan pelan, Eliza berusaha untuk membalikkan badannya. Ia ingin segera pergi dari sana.     

"Tunggu, Eliza!" seru Martin pada seorang wanita yang hampir merenggut pengalaman pertamanya di apartemen Marco. Ia bisa melihat kekecewaan di wajah Eliza. Martin itu tak ingin jika wanita itu merasa kecewa karena kesalahpahaman di antara mereka berdua.     

Dalam sebuah hati yang begitu hancur, Eliza memaksakan sebuah senyuman lalu berbalik ke arah dua pria yang menatapnya tajam. Ingin rasanya ia menghilang saat itu juga daripada harus memperlihatkan ketidakberdayaan atas dirinya.     

"Ada apa, Martin? Sepertinya aku harus segera kembali ke kantor," sahut seorang wanita yang terlihat sedikit pucat tanpa senyuman di wajahnya.     

"Bukankah tadi kamu mengatakan sedang cuti beberapa hari ke depan?" tanya Martin.     

Sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan bagi Eliza. Sepertinya ia sudah lupa jika dirinya telah berkata telah mengajukan cuti dalam beberapa hari ke depan.     

"Apa!" Respon itulah yang ditunjukkan oleh Eliza saat mendengar pertanyaan Martin. "Sepertinya aku .... " Entah mengapa, wanita itu seolah telah kehilangan kata-katanya. Ia tak tahu mengapa dirinya gak mampu berkilah di hadapan mereka semua.     

"Sepertinya kamu telah mendengar kalimat terakhir yang telah kukatakan pada Vincent. Kamu juga telah salah paham terhadap kalimat itu," jelas Martin karena tak ingin membuat wanita itu kecewa apalagi terluka.     

Martin mencoba menggerakkan kursi rodanya mendekati Eliza yang masih saja berdiri di dekat pintu. Melihat kesedihan dan juga kekecewaan wanita itu, membuat hati Martin bergetar hebat. Ia tak mungkin hanya diam saja tanpa menjelaskan apapun padanya.     

"Kuharap kamu tidak salah paham padaku, Eliza." Sebuah permintaan tulus yang penuh harap terucap dari seorang pria yang duduk di kursi rodanya.     

Tanpa diduga, Eliza justru tersenyum kecut di hadapan dua pria itu. Ia merasa tak berdaya karena tak bisa benar-benar mendapatkan hari seorang pria yang dicintainya. Jika dirinya harus terus terluka saat mengejar Brian, ia tak ingin hal itu kembali terulang.     

"Apa yang bisa membuatku salah paham, Martin? Toh ... kita tak memiliki hubungan apapun denganku. Meskipun aku sudah bersujud di hadapanmu untuk memohon sedikit cinta yang kamu miliki," balas Eliza dalam air mata tertahan dan juga senyuman palsu yang sengaja diperlihatkannya.     

Belum sempat memberikan jawaban atas tanggapan Eliza, seorang sosok pria yang sangat dihormatinya datang mengunjungi dirinya.     

"Bagaimana keadaanmu, Martin?" sapa Adi Prayoga sembari memandang Eliza yang juga berada di ruangan itu. "Bukankah kamu Eliza Hartanto? Apakah kamu datang untuk mencari Brian?" Dua pertanyaan sekaligus dilontarkan sang bos mafia pada seorang wanita yang masih cukup terkejut dengan kedatangan sosok berpengaruh seperti Adi Prayoga.     

"Aku sudah lebih baik, Bos. Anda tak perlu mengkhawatirkan aku," jawab Martin dengan perkataan yang terdengar sangat sopan dan juga ramah. Ia sadar jika sejak kedatangannya, Adi Prayoga terus memandangi sosok wanita yang berada di ruangan.     

"Aku yang sengaja mengundang Eliza kesini, Om." Tiba-tiba saja, Vincent mengatakan hal itu untuk menutupi kecanggungan antara Martin.     

Antara yakin dan tak yakin, Adi Prayoga menajamkan pandangan pada seorang putra dari sahabat lamanya. Meskipun mereka berdua memiliki kenangan yang cukup buruk, ia berharap jika Vincent dapat memaafkan segala kesalahan.     

"Kuharap ... kamu tak menutupi apapun dariku, Vincent," tegas sosok pria tegas yang sudah berumur itu.     

"Tak ada yang aku sembunyikan, Om." Vincent mencoba untuk menyakinkan Adi Prayoga. Hal itu dilakukannya hanya untuk menyelamatkan sahabatnya saja. Sebenarnya, ia tak ingin berbicara secara langsung.     

Tanpa mereka duga sama sekali, Vincent menarik Eliza dan mengajaknya keluar dari ruangan itu.     

"Lebih baik kita pulang sekarang, Eliza," ajak Vincent sembari menarik tangannya. Ia tak ingin menambahkan kerumitan dalam hubungan percintaan dari sahabatnya itu. Untung saja, Eliza langsung mengikuti Vincent tanpa protes.     

Begitu sampai di luar ruangan, wanita itu mencoba melepaskan tangan Vincent dari pergelangan tangannya. Bukan apa-apa, Eliza hanya merasa tak akrab pada sosok pria itu.     

"Apakah menurut Anda, Vincent mencintaiku? Ataukah ia justru telah cinta mati pada adik kesayangan Anda?" Eliza memberanikan diri untuk menanyakan hal itu pada sahabat dekat dari seorang pria yang sudah sangat dicintainya itu.     

"Apa semuanya masih kurang jelas?" sentak Vincent karena wanita itu masih saja belum memahami perasaan dari sahabatnya.     

Eliza tentunya masih belum mengerti. Apalagi saat mendengar kalimat terakhir dari perkataan Martin beberapa saat yang lalu.     

"Aku mendengarnya sangat jelas saat Martin mengatakan, 'Sampai kapanpun, aku akan menyayangi Imelda seperti yang sudah kukatakan sebelumnya.' Bayangkan saja apa yang aku pikirkan tentang ucapan itu?" Terlihat sangat jelas perasaan hancur yang dirasakan oleh Eliza karena ucapan itu. Padahal jelas-jelas itu semua hanya kesalahpahaman saja.     

"Sayangnya, kamu tak mendengar kalimat sebelumnya. Martin hanya menganggap Imelda sebagai seorang adik perempuannya saja. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu." Vincent tak ingin mengatakan apapun lagi yang melebihi kapasitas dirinya sebagai sahabat dari Martin. Ia berpikir jika lebih baik Martin mengatakan hal itu sendirian.     

Wanita itu semakin bingung dan juga sama sekali tak mengerti. Setiap ucapan Vincent terdengar menggantung baginya. Pria itu seolah sengaja ingin mempermainkan perasannya saja.     

"Sudahlah, Vincent Mahendra! Tak perlu menutupi kebusukan dari sahabatmu itu. Aku yakin, kamu melakukan semua ini hanya untuk melindungi Martin saja," sahut Eliza penuh kecurigaan dan juga perasaan kecewa terhadap pria yang dicintainya.     

"Dasar keras kepala! Jika kamu terus mencurigai Martin, lebih baik aku langsung mencarikan seorang istri saja pada sahabatku itu." Vincent membalikkan badannya hendak meninggalkan Eliza.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.