Bos Mafia Playboy

Pencurian Bahan Peledak



Pencurian Bahan Peledak

0"Semua sudah sangat jelas, Kak! Itu semua hanya kesalahpahaman Kakak saja. Bahkan Papa saja bisa memaafkan Papa Adi. Mengapa Kak Vincent justru semakin menambahkan kebencian dari dalam hati?" protes Imelda pada kakaknya sendiri. Ia pikir, saudara laki-lakinya itu terlalu berlebihan untuk membenci ayah mertuanya itu.     
0

Vincent justru semakin menampakkan perasaan benci dari wajahnya. Ia tak peduli jika hal itu akan menyinggung sang empunya rumah.     

"Kamu sama sekali tak mengerti apapun, Imelda." Dalam segala kekesalan di dalam hatinya, Vincent bergegas meninggalkan ruang tamu dalam rumah itu. Bahkan ia sengaja menajamkan tatapannya saat berpapasan dengan Adi Prayoga.     

Tanpa memberikan sapaan apapun, Vincent Mahendra melewati sang bos mafia yang mencoba tersenyum hangat padanya. Hatinya sudah terlalu benci pada sosok pria yang telah menghancurkan hubungan ayah dan juga ibunya.     

Melihat tatapan dingin dari anak sahabatnya, Adi Prayoga merasakan rasa sakit yang mendalam. Seolah sebilah pedang baru saja menancap di jantungnya. Ia tak mengerti, mengapa sikap tak acuh yang diperlihatkan Vincent begitu menghancurkan hatinya.     

"Tunggu, Vincent!" teriak Adi Prayoga sembari berlari ke arah anak dari sahabatnya itu.     

Sayangnya, Vincent sama sekali tak peduli dengan seruan Adi Prayoga. Ia memilih masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan halaman rumah itu.     

"Jangan pikir aku akan terbujuk dengan bujuk rayuanmu, Adi Prayoga," ucap Vincent bersamaan dengan mobil itu keluar melewati penjagaan ketat di gerbang tinggi rumah milik keluarga Prayoga.     

Dari dalam rumah itu, Imelda melihat kekecewaan Adi Prayoga atas kakaknya. Terlihat kesedihan yang begitu nampak dengan jelas. Ia pun merasa tak enak kepada ayah mertuanya itu.     

"Maafkan Kak Vincent, Pa. Aku akan terus membujuknya agar mengerti kesalahpahaman itu," hibur Imelda sedih. Ia tak tega melihat Adi Prayoga begitu terluka atas sikap dan ucapan dari saudaranya itu.     

"Papa sangat mengerti, Sayang. Walau bagaimanapun, Papa tetaplah bersalah karena telah merusak hubungan Irene dan Davin Mahendra," sesal seorang pria yang membesarkan Brian dengan penuh kasih sayang itu.     

Mendengar perkataan ayah mertuanya, Imelda bisa tersenyum lega. Setidaknya, Adi Prayoga tak membenci kakak laki-lakinya itu. Namun di dalam hati Imelda, ia benar-benar tak tahan melihat kesedihan dari ayah mertuanya itu. Tak pernah terlihat kesedihan yang sangat mendalam di dalam wajah ayah kandung dari Brian Prayoga.     

"Papa mau membereskan beberapa pekerjaan dulu. Kemudian, Papa akan kembali ke rumah utama. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di sana." Adi Prayoga sengaja membelai lembut kepala menantunya lalu masuk ke dalam ruang kerjanya.     

Baru pertama kalinya, Brian melihat ayahnya yang begitu sedih dan terluka. Ia tak menyangka jika sedikit perkataan dari kakak iparnya begitu mengguncang ayahnya.l     

"Lebih baik kita istirahat di kamar saja." Brian menggenggam tangan istrinya lalu berjalan menuju kamar mereka.     

Sampai di kamar, bukannya langsung merebahkan tubuhnya ... Imelda justru duduk di sebuah kursi yang berada di dekat jendela. Ia menatap ke arah luar jendela dalam tatapan kosong yang tak berdaya. Entah hal apa yang sudah sangat mengganggunya, Imelda seperti seseorang yang baru saja kehilangan harapannya.     

"Sayang!" panggil Brian pada wanita hamil yang tak lain adalah istrinya sendiri. Pria itu berjalan pelan ke arah Imelda dan duduk tepat di sebelahnya.     

Imelda cukup terkejut saat menyadari Brian yang tiba-tiba berada tepat di sebelahnya. Padahal ia tak tahu, kapan suaminya itu berjalan ke arahnya. Bahkan Imelda juga tak mendengar panggilan penuh kasih sayang dari Brian.     

"Kamu mengejutkan aku saja, Brian." Terdengar nada protes Imelda pada suaminya. Ia pun memandang wajah Brian dalam sebuah sorotan redup dan tak bersemangat.     

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang? Kamu terlihat tidak baik-baik saja." Brian mulai mencemaskan wanita di sebelahnya itu. Dia tak ingin jika terjadi hal buruk pada istrinya.     

Mendengar pertanyaan itu, Imelda menengadahkan kepalanya ke arah Brian. Ia memandang pria itu dengan penuh arti. Terlihat sangat jelas, kecemasan Brian akan dirinya.     

"Kak Vincent." Imelda mengatakan hal itu lalu kembali terdiam dalam sorotan yang sangat menyedihkan. "Aku tak suka cara Kak Vincent memperlakukan Papa. Walaupun bagaimanapun, permasalahan di antara keluarga kita sudah sangat jelas. Hatiku merasa sangat sesak melihat kebencian Kak Vincent pada Papa," ungkap Imelda dalam air mata yang tertahan.     

Jauh di dalam hatinya, ia tak ingin menangis. Namun harinya tak sekuat itu untuk menahan air matanya. Ia pun memeluk Brian, mendekapnya sangat erat. Ada sedikit ketenangan yang dirasakannya saat berada di pelukan suaminya.     

"Tenanglah, Sayang. Kak Vincent hanya butuh sedikit waktu lagi untuk mengerti semua. Percayalah! Semua akan kembali seperti dahulu. Kamu juga melihat sendiri hubungan kedua papa kita yang kembali membaik." Brian mencoba memberikan penjelasan sekaligus menenangkan hati istrinya. Sebisa mungkin ia berusaha untuk membuat Imelda untuk tidak berpikir secara berlebihan.     

Tak berapa lama, terdengar suara deru mesin mobil yang beriringan keluar dari rumah itu. Brian langsung bangkit dan memandang keluar dari jendela kamarnya. Ia yakin jika ada sesuatu yang sedang terjadi.     

"Sayang. Istirahatlah dulu, aku keluar sebentar." Brian berjalan cepat menuju ke ruangan ayahnya. Begitu pintu terbuka, tak seorang pun berada di sana. Ia pun bergegas menuju depan rumah. Terlihat beberapa penjaga tampak memperketat penjagaan di rumah itu.     

Ia pun berlari kecil ke arah beberapa orang yang bekerja untuk keluarganya. Terlihat wajah panik dan juga ketakutan terlukis dari ekspresi mereka. Tanpa sadar, Brian juga ikut cemas memikirkan yang mungkin saja telah terjadi.     

"Apa yang sedang terjadi?" tanya Brian pada beberapa pria tinggi besar yang berjaga di dekat gerbang.     

"Ada seorang penyusup yang sengaja mencuri beberapa bahan peledak dalam gudang penyimpanan di rumah utama. Bos langsung bergegas untuk melihat kondisi rumah utama," jelas salah seorang dari mereka. Terlihat semua orang menjadi sangat cemas dan juga gelisah memikirkan sebuah pencurian di gudang dalam kediaman Prayoga. Padahal penjagaan di rumah itu cukup ketat.     

Brian menjadi ikut panik mendengar hal itu. Bukan soal bahan peledak yang harganya cukup mahal, ia hanya takut jika semuanya adalah sebuah konspirasi. Pria itu terlihat menarik rambutnya sendiri karena kecemasan yang cukup besar. Ia pun kembali masuk ke dalam sebelum Imelda menyusul keluar dari kamarnya.     

"Apa ada hal buruk yang sedang terjadi?" Pertanyaan itulah yang dilontarkan oleh Imelda begitu melihat Brian masuk ke dalam kamar.     

"Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, Sayang?" Bukannya memberikan jawaban, Brian justru melemparkan pertanyaan balasan pada wanita yang menatap tajam ke arahnya.     

Imelda tersenyum kecut mendengar pertanyaan dari suaminya. Mendadak ia sangat kesal pada pria yang mencoba menutupi sesuatu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.