Bos Mafia Playboy

Alasan Natasya Mencelakai Brian Dan Imelda?



Alasan Natasya Mencelakai Brian Dan Imelda?

0"Sayangnya, kami tak bisa melakukan apapun yang lebih dari ini." Dokter itu mengatakannya dengan wajah serius.     
0

"Apa!" sahut Brian dengan wajah yang sangat terkejut.     

Ada raut muka kecewa dari sorotan mata Brian dan juga Adi Prayoga. Mereka tak menyangka jika pihak rumah sakit tak bisa mengupayakan segala dengan lebih baik lagi.     

"Anda tak perlu khawatir. Peralatan medis di rumah sakit besar di pusat kota tentunya jauh lebih baik dari rumah sakit kecil ini. Anda bisa langsung membawa pasien ke rumah sakit itu. Saya yakin kondisi pasien akan pulih dengan lebih cepat," jelas dokter itu dalam sebuah tatapan hangat yang penuh harapan.     

Ada perasaan lega yang terlukis di wajah dua pria di depan dokter itu. Meskipun sempat sangat cemas, akhirnya Brian dan juga Adi Prayoga bisa bernafas lebih lega.     

"Kapan kami bisa memindahkannya, Dokter?" tanya Brian dalam wajah yang sangat tidak sabar.     

Dokter itu juga terlihat sedikit lega dengan wajah penuh harap yang mereka tunjukkan. Dia sangat yakin jika dua pria di depannya itu sangat peduli dengan nyawa pasien.     

"Setelah pasien siuman, Anda bisa memindahkannya ke rumah sakit yang lebih besar." Sebuah jawaban dari dokter itu tentunya membuat mereka sangat lega. Paling tidak, kondisi Martin tidak terlalu mengkhawatirkan.     

"Terima kasih, Dokter." Brian bangkit dari kursinya dan beranjak untuk segera keluar dari sana.     

Sedangkan Adi Prayoga masih duduk di depan dokter itu. Ia ingin menanyakan sesuatu yang cukup penting baginya. Namun, Adi Prayoga terlihat sangat ragu untuk mengungkapkan pertanyaan yang mengusik dadanya.     

"Bagaimana kondisi pasien yang datang bersama Martin?" tanya Adi Prayoga pada seorang dokter yang menunjukkan wajah sedikit terkejut atas pertanyaan itu.     

Seolah tak mengharapkan mendapatkan pertanyaan itu, sang dokter pun mulai bangkit tempat duduknya.     

"Apa yang sebenarnya ingin Anda dengar?" Bukannya langsung memberikan jawaban, dokter itu justru melemparkan pertanyaan balasan pada Adi Prayoga.     

"Semua pasien yang datang bersama keluarga Anda itu, langsung di bawa pergi oleh seseorang yang mengaku dari rumah sakit yang lebih besar. Hanya meninggalkan dua jasad yang tak bernyawa saja." Dokter itu juga merasakan keanehan pada beberapa pasien yang sudah di bawa keluar dari rumah sakit sebelum mendapatkan tindakan medis.     

Pria tua itu semakin yakin jika kecelakaan yang terjadi bukan sebuah kebetulan. Namun semuanya sudah direncanakan. Kedatangan Martin yang tiba-tiba, telah menghancurkan rencana seseorang yang membayar mereka semua. Adi Prayoga berpikir jika ada seseorang yang ingin mencelakakan anak dan juga menantunya. Dia harus semakin waspada dalam mengawasi mereka berdua.     

Setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter itu, Adi Prayoga langsung keluar dan menyusul Brian dan juga Imelda. Dari kejauhan terlihat beberapa perawat sedang memindahkan Martin ke ruang perawatan yang tak jauh dari ruang operasi.     

"Apakah Martin sudah siuman?" tanya Adi Prayoga yang tiba-tiba saja sudah berada di ruang yang sana dengan tempat Martin dirawat.     

"Setelah obat bius itu habis, Martin akan segera sadar, Pa," jawab Imelda yang menyadari keberadaan ayah mertuanya. Ia bisa melihat kecemasan kecemasan di wajah pria tua itu. Meskipun Adi Prayoga mencoba untuk menyembunyikan hal itu, Imelda bisa merasakan jika ayah mertuanya sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka berdua.     

Adi Prayoga duduk sebentar di sebelah Brian lalu kembali bangkit dari tempat duduknya. "Aku akan membeli kopi dulu sebentar," pamitnya bersamaan dengan langkah keluar dari ruangan itu.     

"Aku ikut, Pa." Imelda langsung menyusul ayah mertuanya untuk membeli kopi keluar. Ia ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Martin. Imelda berpikir jika Adi Prayoga sudah mengetahui orang-orang yang terlihat dalam tabrakan itu.     

Duduk berhadapan langsung dengan ayah mertuanya, Imelda bisa melihat kecemasan di wajah pria tua itu. Ia semakin yakin jika Adi Prayoga telah menyembunyikan sesuatu dari mereka.     

"Apa Papa sedang menyembunyikan sesuatu yang penting dari kami berdua?" tanya Imelda dalam wajah yang terlihat dingin dan juga penuh kecemasan.     

"Apa yang sedang Papa sembunyikan darimu, Sayang?" kilah Adi Prayoga pada menantu kesayangannya.     

Tak puas dengan jawaban itu, memicu Imelda untuk melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat Adi Prayoga tak berkutik. "Apa kecelakaan ini berhubungan dengan Mama Natasya dan juga Om Jeffrey seperti yang dikatakan oleh Brian tadi?" tanya Imelda pada sosok pria yang duduk tepat di hadapannya.     

"Papa masih belum yakin akan hal itu. Sepertinya ... Martin mengetahui rencana jahat ini sebelum mereka melakukan aksi. Meskipun ia terluka cukup parah, setidaknya Martin telah menggagalkan rencana mereka." Adi Prayoga juga masih bingung dengan insiden yang membuat Martin terluka.     

Imelda bangkit dari tempat duduknya lalu memandang ke sekeliling rumah sakit itu. Ia merasa ada yang aneh di sana. Seolah penegak hukum telah lalai karena membiarkan orang-orang yang berada di insiden kecelakaan beruntun itu pergi begitu saja.     

"Aku yakin jika Om Jeffrey yang mengatur semuanya. Tidak ada seorang polisi pun yang mengawasi korban dalam kecelakaan ini," sahut Imelda sangat menyakinkan.     

"Papa juga sedang berpikir seperti itu. Hanya saja, apa alasan Natasya ingin mencelakai kalian berdua?" Adi Prayoga menjadi semakin penasaran dibalik sebuah insiden itu.     

Tak berapa lama, terlihat Brian menyusul mereka berdua. Ada rona bahagia dan juga sedikit kelegaan di dalam sorot matanya. Pria itu langsung berdiri di sebelah suaminya sembari melemparkan senyuman hangat pada Imelda.     

"Martin sudah sadar. Dia ingin bertemu Papa dan juga kamu, Sayang," ucap Brian dalam wajah berbinar saat mengetahui Martin sudah siuman.     

Dengan setengah berlari, mereka semua kembali ke ruangan di mana Martin berada. Belum juga sampai ke tempat itu, terlihat beberapa dokter baru memeriksa kondisi fisik pasiennya. Kebetulan sekali, Adi Prayoga berpapasan dengan dokter yang tadi berbicara dengannya.     

"Selamat ... pasien sudah siuman. Anda bisa memindahkannya secepatnya. Saya akan membantu mengurus kepindahannya." Dokter itu terlihat sangat baik dan juga tulus memperlakukan mereka. Bahkan tanpa meminta sana, ia mau membantu administrasi kepindahan Martin dari rumah sakit itu.     

"Terima kasih, Dokter," ucap mereka bertiga hampir bersamaan. Mereka terlalu bahagia mendapatkan kabar baik itu.     

Begitu dokter dan beberapa tim medis pergi, mereka bertiga langsung masuk ke ruangan di mana Martin berada. Brian langsung berlari dan memeluk pria yang sedang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat itu.     

"Aku mengira akan kehilanganmu, Martin," ucap Brian dengan air mata tertahan di pelupuk matanya.     

"Apa kamu sedang menangis, Brian," ledek Martin saat melihat anak dari bos-nya itu hampir menumpahkan air matanya.     

Wajah Brian langsung merah padam mendengar ledekan Martin kepadanya. Tak bisa dipungkiri jika Brian memang sangat terharu hingga ingin menangis.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.