Bos Mafia Playboy

Gara-Gara Ponsel



Gara-Gara Ponsel

0Setelah menyelesaikan beberapa administrasi, Brian dan juga Imelda langsung kembali ke ruang perawatan Martin. Begitu masuk ke dalam ruangan itu, ia mendengar pembicaraan serius di antara Martin dan juga Adi Prayoga. Meskipun hanya mendengar beberapa kalimat terakhir mereka saja, Imelda sangat yakin jika pembicaraan mereka sangat serius.     
0

"Siapa yang di belakang siapa, Pa?" Tiba-tiba saja, Imelda melontarkan pertanyaan itu pada ayah mertuanya.     

Sontak saja, Martin dan Adi Prayoga sangat terkejut dengan kedatangan mereka yang tak disadarinya. Hanya sebuah harapan di dalam hati, terus mereka panjatkan agar Imelda dan mendengar pembicaraan serius di antara mereka. Rasanya jantung Martin dan juga Adi Prayoga akan melompat keluar karena sangat terkejut.     

"Bukan apa-apa, Sayang. Papa hanya khawatir jika Natasya memanfaatkan beberapa orang yang dirasa menguntungkannya." Hanya itulah yang bisa dikatakan oleh Adi Prayoga pada menantu kesayangannya.     

"Aku sudah mengurus administrasinya. Tak perlu khawatir, aku sengaja meminta agar keberadaan Martin di rahasiakan dari siapapun," jelas Imelda pada dua pria yang saling memandang dengan tatapan aneh.     

Pria tua itu mendekati Imelda lalu memandangnya penuh arti. "Apa kamu mengenal staf administrasi itu?" Adi Prayoga sengaja menanyakan hal itu untuk menyakinkan Martin dan juga dirinya sendiri.     

"Tentu saja, Pa. Aku sangat mengenalnya dengan baik, hubungan kami juga cukup dekat," terang wanita yang masih berdiri di sebelah Brian itu. Kebetulan sekali, staf administrasi itu pernah berhutang budi pada Imelda. Ia pernah membiayai dan juga menyelamatkan anak dari seorang staf rumah sakit itu.     

Terlihat ekpresi penuh kelegaan pada wajah Martin dan Adi Prayoga. Mereka berdua merasa lebih tenang setelah mendengar penjelasan dari Imelda. Seolah keberuntungan sedang berpihak pada Martin dan juga mereka semua.     

"Ohhh ... ya, Martin. Bagaimana dengan Kak Vincent? Apakah kamu sudah menemukannya sebelum menemui kami?" Imelda akhirnya bisa menanyakan hal itu pada sahabat dari kakaknya itu. Ia pun masih sangat penasaran untuk mengetahui kondisi dari Vincent.     

"Vincent kutemukan di sebuah night club. Dia sangat mabuk hingga kehilangan kesadarannya. Awalnya aku menghubungi Laura, sepertinya ia sedang sibuk. Jadi aku menyuruh Kevin untuk membawanya ke klinik sekaligus memberikan obat bius agar dia tak bisa kemana-mana." Martin sengaja tak mengatakan pertemuannya dengan Eliza. Ia tak ingin memperburuk suasana yang sudah cukup rumit di antara mereka.     

Adi Prayoga yang memperhatikan pembicaraan mereka menjadi sedikit cemas mendengar Vincent mabuk di siang hari. Ia yakin jika sedang terjadi sesuatu pada mereka semua. Tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya, Adi Prayoga pun menyakinkan dirinya untuk bertanya langsung pada mereka semua.     

"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanya sang bos mafia pada tiga orang yang berada di ruang perawatan itu.     

Sontak saja, Brian dan Imelda langsung saling menatap satu sama lain. Mereka berdua sedikit ragu untuk mengungkapkan semua yang sudah dikatakan Davin Mahendra pada mereka berdua. Sayangnya, diam bukanlah solusi yang terbaik bagi mereka. Tentunya hal itu bisa menimbulkan kecurigaan pada Adi Prayoga.     

"Papa Davin mengatakan jika semua hal yang terjadi dari masa lalu berawal dari kesalahannya sendiri," ungkap Imelda penuh keraguan dan juga kesedihan yang cukup dalam. Bukan tanpa alasan, semua yang akan dikatakannya itu adalah sebuah aib bagi keluarganya. Bahkan, Vincent saja tak sanggup menerima kesalahan Davin Mahendra di masa lalu. Namun Vincent juga tak pernah memaafkan perselingkuhan yang dilakukan oleh Adi Prayoga dan juga wanita yang sudah melahirkannya itu.     

"Apa! Jadi Mahendra mengatakan kejadian di malam terkutuk itu? Bagaimana ia bisa membongkar kebodohannya itu?" Tentu saja Adi Prayoga cukup frustrasi dengan keputusan Davin Mahendra untuk membuka aib keluarganya itu. Hal itu benar-benar di luar dugaannya.     

Martin terlihat cukup penasaran karena Brian dan juga Imelda hanya mengatakan setengah-setengah saja. Ia tak benar-benar mengetahui kejadian di malam terkutuk yang disebutkan oleh bos-nya itu.     

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Martin bertanya langsung pada Brian dan juga Imelda yang masih berdiri tak jauh darinya.     

Adi Prayoga terlihat gelisah dalam rasa bersalahnya, ia tak menyangka jika Davin Mahendra akan membongkar kebusukannya sendiri. Dia bingung, mengapa pria yang pernah menjadi sahabatnya itu hanya menceritakan setengah bagian saja? Hal itu sangat merugikan untuknya. "Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Mahendra?" tanyanya dalam hati.     

"Pada awalnya, papaku adalah kekasih Mama Irene. Sebuah insiden besar telah memaksa Papa Davin untuk menikahi Mama Irene." Brian mencoba menjelaskan hal itu secara singkat. Ia tak mungkin kembali menceritakan kejadian malam itu yang melibatkan empat orang yang terlibat persahabatan erat.     

"Aku akan menemui Mahendra sekarang juga." Adi Prayoga bermaksud untuk meninggalkan ruangan itu. Namun Brian lebih dulu menghentikan ayahnya untuk pergi.     

Dengan sekali gerakan saja, Brian menarik tangan ayahnya. Membuat pria itu tak bisa keluar dari sana. Ia sengaja menghentikan Adi Prayoga karena sang ayah mertua memang tak bisa dijumpai dengan bebas. Sebelumnya, Marco datang untuk mengambil beberapa pakaian sekaligus memberitahu keberadaan Davin Mahendra pada Brian.     

"Tidak bisa, Pa! Papa Davin sedang ada tugas dinas di luar kota. Tadi pagi Marco baru saja datang untuk mengambil beberapa pakaiannya." Meskipun Brian terlihat cukup tenang mengatakan hal itu, Adi Prayoga sangat tahu jika anaknya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Namun ia tak mungkin memaksa Brian untuk mengatakan hal itu di hadapan Imelda.     

Martin merasa ada yang aneh dari perkataan Brian. Ia sangat yakin jika anak dari bos-nya itu sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka semua. Dia pun melihat sekeliling untuk mencari ponsel miliknya. Martin bermaksud ingin menghubungi adiknya itu untuk mengetahui yang sebenarnya sedang terjadi.     

"Apa kalian melihat ponselku?" tanya Martin pada mereka semua. Ia memandang mereka satu persatu, berharap salah satu dari mereka mengetahui keberadaan ponselnya.     

"Sejak berada di rumah sakit, tak ada barang apapun yang di sana. Pihak rumah sakit juga tak menyinggung apapun soal ponsel milikmu. Bisa saja ponselmu hancur bersama hancurnya mobil yang kamu pakai," jelas Brian tanpa menambahkan atau mengurangi yang sudah terjadi pada Martin.     

Pria itu mengusap rambutnya sendiri dalam wajah penuh kekecewaan. Martin tak menyangka jika ia juga harus kehilangan ponsel miliknya. "Bagaimana dengan laptop milikku?" tanyanya lagi.     

"Mereka bernasib sama seperti ponselmu," sahut Imelda dengan wajah dingin tanpa ekspresi yang berarti.     

Terlukis jelas kekecewaan dalam wajah Martin. Bukan apa-apa, ia tak bisa memastikan keamanan dan juga keadaan orang-orang yang ingin dilindunginya itu. Tanpa ponsel dan juga laptopnya, Martin tak bisa melakukan apapun. Terlebih kondisi tubuhnya yang tidak bisa bergerak bebas ke manapun.     

"Bolehkah aku meminjam ponselmu, Imelda?" Sebuah pertanyaan Martin tentu saja membuat dua pria di sebelahnya itu melemparkan tatapan tajam pada Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.