Bos Mafia Playboy

Bersabarlah, Brian!



Bersabarlah, Brian!

0Adi Prayoga merasa tak yakin untuk mengatakan semua yang telah diungkapkan oleh Natasya. Dia tak ingin jika menantu kesayangannya itu harus menanggung beban pikiran yang akan sangat mengganggunya. Diam adalah cara sang bos mafia itu melindungi seorang wanita yang sangat disayanginya seperti putri kandungnya.     
0

"Tak ada apapun, Sayang. Lebih baik pulanglah, beristirahatlah di rumah. Kapan kalian akan kembali ke villa?" Tak ingin Brian dan juga Imelda selalu berada dalam bahaya, Adi Prayoga bermaksud untuk mendesak mereka berdua agar segera kembali ke sebuah tempat tinggal yang menurutnya paling aman.     

Sebelum memberikan jawaban itu, Imelda memandang pria di sebelah terlebih dahulu. Ia harus mendapatkan ijin dari Brian jika mau kembali ke villa milik keluarga Prayoga. Wanita itu tak mau mendahului keputusan suaminya.     

"Aku akan mengikuti kemanapun Brian tinggal, Pa," sahut Imelda dalam wajah tenang yang penuh keyakinan. Ia tak peduli harus tinggal di mana saja. Asal bersama sang suami, pasti akan dijalaninya. "Biarkan Brian saja yang memutuskan di mana kami berdua akan tinggal," lanjut wanita itu sembari memandang pria di sebelahnya.     

Awalnya Brian ingin menolak permintaan ayahnya. Namun mengingat perbuatan ibunya yang sudah melampaui batas, ia tak ingin memposisikan Imelda dalam bahaya. Termasuk bahaya yang diciptakan oleh seorang wanita yang telah melahirkannya. Di mata Brian, Natasya sudah sangat berubah menakutkan dan juga kejam terhadap orang-orang terdekatnya.     

"Benar ucapan Papa, Sayang. Lebih baik kita kembali ke sana saja. Di sana jauh lebih aman daripada tempat manapun." Brian memandang istrinya penuh perasaan lalu merangkulkan tangannya di pundak Imelda. "Lebih baik kita pulang sekarang. Suruh saja Marco untuk menjaga Martin malam ini. Kita bisa kembali besok pagi," bujuk pria yang sudah menjadi suami sah dari Imelda Mahendra itu.     

Ada kelegaan di hati Adi Prayoga. Setidaknya mendengar mereka akan kembali ke villa sudah cukup untuk menenangkan hati. Sebuah kebahagiaan kecil tiba-tiba hadir di sudut hatinya, pria itu merasa sedikit lebih tenang dengan keputusan yang diambil oleh anak semata wayangnya.     

"Papa sangat senang kalian berdua bisa kembali tinggal di sana. Kalian pulanglah, biar Papa yang di sini sembari menunggu kedatangan Marco." Adi Prayoga mengembangkan senyuman hangat yang penuh arti. Pria itu ingin mereka segera pulang dan istirahat. Ia tak rela jika sampai Imelda kelelahan dalam kondisi kehamilannya itu.     

"Ayo, Sayang." Brian menggenggam tangan Imelda lalu mengajaknya untuk keluar dari ruangan itu. Tak ada penolakan atau ucapan apapun yang dikatakan oleh wanita itu. Namun ada satu hal yang dilupakan oleh Brian ....     

"Astaga, Sayang. Aku lupa jika kita tadi meninggalkan mobil di rumah sakit di pinggiran kota." Brian memukul kepala sendiri karena melupakan sesuatu yang cukup penting.     

Imelda justru terkekeh melihat ekspresi Brian yang terlihat sangat kecewa. Padahal ia tak mempermasalahkan mobil mana yang akan membawanya untuk pulang. "Kita bisa menaiki taksi untuk pulang ke rumah Papa Davin. Biar anak buah Papa yang mengurus mobilnya," sahut Imelda sembari tersenyum lembut pada suaminya.     

Brian langsung mengeluarkan ponselnya dan meminta seorang bodyguard untuk menjemputnya di rumah sakit. Untung saja, ada seorang bodyguard yang kebetulan berada tak jauh dari sana. Dalam beberapa menit saja, sebuah mobil warna hitam berhenti di depan lobby rumah sakit.     

"Silahkan masuk, Tuan," sapa seorang pria yang bekerja untuk keluarga Prayoga.     

"Kebetulan sekali Anda berada di sini, Pak," ucap Brian pada seseorang yang sudah duduk di kursi kemudi.     

"Sebenarnya Tuan Adi Prayoga yang meminta saya untuk menjemput Anda dan Nona Imelda beberapa menit yang lalu. Kebetulan saat Anda menelepon, saya sudah berada tak jauh dari rumah sakit," jelas pria itu dengan sangat ramah.     

Meskipun penampilan bodyguard itu terlihat sedikit garang, ia selalu bersikap sopan dan juga sangat ramah pada keluarga Prayoga dan juga Mahendra. Rasa hormat dan juga taat majikannya telah ditanamkan sejak bekerja di keluarga Prayoga.     

"Oh ya, Pak. Saya sudah bukan 'Nona' lagi lho ... sebentar lagi saya juga menjadi seorang ibu." Imelda terkekeh sembari memandang seorang pria yang tiba-tiba terlihat malu karena ucapan Imelda.     

"Bagi saya, Anda tetaplah Nona Imelda Mahendra yang selalu cantik dan juga menarik," sahut sang bodyguard cukup menyakinkan. Bahkan pria itu masih bisa tersenyum penuh arti melirik Imelda dari kaca di dalam mobil.     

Sontak saja, Brian langsung memicingkan matanya mendengar ucapan sang bodyguard. Ia mencoba untuk menelaah setiap kata yang diucapkan oleh seorang pria yang sedang fokus mengemudi itu. Menekan emosi di dalam dirinya, Brian tak ingin kembali memperlihatkan amarah sedikit pun pada sang istri.     

"Sabar ... bersabarlah, Brian," ucapnya di dalam hati. Brian berusaha setengah mati untuk menahan perasaannya itu. "Lajukan mobilnya lebih cepat ke kediaman Mahendra. Jangan sampai istriku kelelahan karena terlalu lama berada di jalanan," tegas Brian sembari mengepalkan tangannya tanpa diketahui oleh sang istri.     

"Baik, Tuan," jawab seorang pria yang mengemudikan mobil itu. Ia bisa merasakan amarah tertahan dalam setiap ucapan Brian terhadap dirinya. Bodyguard itu tak menyadari kesalahan apa yang sudah dilakukannya. Dia berusaha tetap fokus agar segera sampai di tempat tujuannya.     

Sampai di depan kediaman Mahendra, mobil berhenti di depan gerbang tinggi dengan penjagaan ketat itu. Imelda dan Brian langsung turun dari mobil. Namun ada sesuatu hal yang dirasa sangat mengganjal di hati Brian. Ia pun memutuskan untuk tetap tinggal sebentar di luar gerbang.     

"Masuklah duluan, Sayang. Ada yang ingin kukatakan pada anak buah Papa," ucap Brian pada seorang wanita yang sudah berdiri di tengah-tengah gerbang dan bersiap untuk masuk.     

"Baiklah. Jangan lama-lama, Brian," sahut Imelda sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah mewah milik keluarga Mahendra.     

Tanpa membuang waktu lagi, Brian kembali masuk ke dalam mobil keluarganya itu. Ia pun duduk tepat di sebelah kursi kemudi. Sebuah tatapan tajam dan penuh arti dilemparkannya pada anak buah Adi Prayoga itu. Brian ingin menanyakan maksud dari ucapan pria itu kepada istrinya.     

"Apa maksudmu mengatakan kalimat itu pada istriku? Jangan bilang kamu menyukai Imelda!" seru Brian dengan suara yang terdengar cukup tegas dalam sorotan tajam penuh arti.     

"Sepertinya Anda salah paham, Tuan. Mana berani saya menyukai istri Anda? Meskipun istri Anda begitu mempesona seluruh isi villa, tak ada yang berani memandangnya secara terang-terangan. Tak ada satupun dari kami yang berani merebut milik Anda," terang seorang pria yang mulai sedikit takut menghadapi anak tunggal dari bos-nya itu.     

Bukannya semakin jelas, Brian semakin tak mengerti dengan penjelasan pria itu. "Kami? Siapa yang kamu sebut dengan kata 'kami' itu?"     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.