Bos Mafia Playboy

Seorang Penyusup



Seorang Penyusup

0Seketika itu juga, Alex kehilangan kata-kata untuk memberikan jawaban pada Imelda. Tentunya ia sangat sadar, berdebat dengan Imelda pun akan sangat percuma. Pria itu masih mengingat sangat jelas, setiap kali Davin Mahendra berdebat dengan anak perempuannya itu ... selalu saja kalah. Hal yang sama mungkin akan terjadi dengan Alex juga.     
0

"Kenapa, Alex? Mengapa kamu tiba-tiba saja terdiam? Di mana mulut besarmu tadi?" sindir Imelda dalam lirikan sinis yang penuh kemenangan.     

Pria itu memandang wanita di depannya, memperlihatkan senyuman tipis di wajahnya. Tak ada yang ingin dikatakan Alex kepada Imelda. Ia tak akan menang dari anak atasannya itu. Wanita di depannya itu bukan seseorang yang mudah untuk ditaklukkan.     

"Aku tak ingin berdebat denganmu, Imelda. Bos memintaku mengambil beberapa berkas dan juga laptop di ruang kerjanya. Beliau terlalu sibuk hingga tak sempat untuk pulang." Alex mencoba mengatakan alasan Davin Mahendra tak bisa pulang ke rumahnya. Ia mengatakan hal yang sama seperti yang diucapkan atasannya itu kepadanya.     

Imelda malah terkekeh mendengar penjelasan Alex yang terdengar tak masuk akal baginya. Ia sama sekali tak percaya jika ayahnya itu benar-benar sedang sibuk. Wanita itu sangat yakin jika Davin Mahendra sedang menghindari mereka semua.     

"Jangan pikir aku bodoh, Alex! Sesibuk-sibuknya Papa, seharusnya ia masih bisa pulang walaupun cuma sebentar saja," sahut Imelda dengan wajah kesal karena terprovokasi dengan ucapan anak buah Davin Mahendra itu.     

"Jika tak percaya, kamu langsung saja hubungi papamu itu. Beliau pasti akan mengatakan hal yang sama." Alex pun mulai kehilangan cara untuk membuat Imelda diam.     

Tanpa banyak kata, Imelda masuk ke dalam diikuti oleh Alex di belakangnya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam ruang kerja Davin Mahendra. Wanita itu sengaja ingin memastikan jika apa yang diucapkan oleh Alex memanglah benar.     

Begitu masuk ke dalam, Alex mengambil beberapa berkas di atas meja dan juga laptop milik atasannya. Ia tak melakukan hal lain selain apa yang diperintahkan oleh Davin Mahendra kepadanya.     

"Aku akan langsung pergi saja," ucap Alex bersamaan dengan langkah kakinya meninggalkan ruangan itu. Seolah ia benar-benar tak ingin berurusan dengan anak perempuan dari Davin Mahendra itu.     

"Katakan pada Papa ... besok pagi aku akan meninggalkan rumah ini. Papa bisa pulang kapan saja jika tak ingin melihat kami. Aku tak mau menjadi parasit di rumah ini," ujar Imelda panjang lebar pada pria di sebelahnya. Ia sangat tahu jika kepergian ayahnya untuk menghindari dirinya dan juga Brian. Tak tega membiarkan ayahnya terus tinggal di luar rumah, Imelda memutuskan untuk segera meninggalkan rumah itu seperti permintaan ayah mertuanya itu.     

Alex hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengatakan apapun pada Imelda. Sebenarnya ia sama sekali tak mengetahui kejadian sesungguhnya di antara mereka. Kedatangannya ke rumah itu, murni atas perintah seorang atasan terhadap bawahan. Pria itu juga tak ingin menggali apapun yang tidak diketahuinya.     

"Aku pamit pergi, Imelda," ucap Alex lalu keluar dari rumah itu dengan membawa beberapa barang yang diminta oleh Davin Mahendra.     

Begitu Alex pergi, wanita itu kembali masuk ke dalam kamarnya. Brian sudah duduk di kursi sembari menatap layar monitor di depannya. Imelda cukup terkejut mendapati suaminya justru menyibukkan dirinya dengan beberapa pekerjaan.     

"Apa yang kamu lakukan, Brian? Bukankah kamu harus beristirahat?" Imelda mulai kesal pada tingkah suaminya. Ia pun berjalan mendekati suaminya lalu mengambil laptop di atas meja. "Istirahatlah! Tidak biasanya kamu bekerja di malam-malam seperti ini." Lagi-lagi wanita itu menunjukkan rasa tidak suka saat Brian tak benar-benar istirahat di saat kondisinya sedang tak baik-baik saja.     

"Bukan begitu, Sayang. Aku mendapatkan kabar jika ada penyusup yang masuk menjadi anak buah Papa. Sayangnya, mereka kesulitan untuk menemukan penyusup itu. Ditambah lagi, Martin kondisinya juga tidak cukup baik." Brian mencoba menjelaskan hal itu pada istrinya. Kondisi darurat seperti itu memang sangat jarang terjadi. Namun hal itu tentunya akan sangat berbahaya dan juga merugikan bagi bisnis keluarga Prayoga.     

Imelda sangat tahu maksud Brian mengatakan hal itu kepada dirinya. Suaminya itu pasti akan turun tangan untuk mengatasi kekacauan dia antara anak buah ayahnya. Meskipun ia tak rela, Imelda juga tak mungkin melarang Brian untuk melakukan hal itu.     

"Kamu akan turun tangan sendiri 'kan?" tanya Imelda pada pria yang terlihat cukup cemas mengetahui keadaan bisnis ayahnya.     

"Maaf, Sayang. Seandainya kondisi Martin baik-baik saja, aku tak akan turun tangan secara langsung. Martin pasti sudah mengurus semuanya sendirian.     

Tiba-tiba saja, Imelda merasa cemas dan juga sangat takut. Ia takut jika hal buruk sampai terjadi pada suaminya. Rasanya ia tak rela untuk membiarkan Brian mengatasi masalah itu sendirian.     

"Bagaimana jika aku juga ikut bergabung denganmu?" Imelda sangat berharap agar Brian mau menyetujui permintaannya.     

"Itu sangat berbahaya, Sayang. Mengingat kamu sedang hamil, lebih baik kamu tetap tinggal di rumah untuk menungguku," tolak Brian pada permintaan istrinya. Ia tak mungkin rela jika Imelda sampai berada di dalam bahaya karena ingin bersamanya.     

Meskipun sedikit kecewa atas penolakan suaminya, Imelda tak mungkin memaksa Brian untuk memberikan ijin untuknya. Belum lagi jika Adi Prayoga dan juga Davin Mahendra mendengar hal itu, mereka pasti langsung mengamuk pada Brian. Seolah Brian tak bisa menjaga anak dan juga istrinya itu.     

"Baiklah, Brian. Aku tak mungkin memaksakan apapun padamu. Aku sadar jika kondisinya mungkin akan sangat berbahagia. Lebih baik aku tetap di rumah dan menunggumu saja," ungkap Imelda dengan wajah sedih dan tak tentunya sangat kecewa.     

Pria itu hanya bisa memberikan sebuah pelukan hangat untuk menenangkan hati istrinya. Ia tak mampu melakukan hal lainnya yang bisa menghibur hati Imelda.     

"Jangan melakukan apapun yang membahayakan anak kita, Sayang. Jika hal itu sampai terjadi, Papa Davin dan Papa Adi pasti akan membunuhku seketika itu juga. Apakah kamu ingin anakmu lahir tanpa melihat papanya?" Sebuah pertanyaan dari Brian justru membuat mata Imelda menjadi berkaca-kaca. Rasanya begitu mengharukan dan merasuk ke dalam sukmanya.     

"Apa yang kamu katakan itu, Brian?" Wanita itu langsung memeluk suaminya sangat erat. Dia tak ingin membayangkan untuk kehilangan suaminya. Apalagi harus benar-benar melepaskan Brian, Imelda tak akan mampu melakukan hal itu. "Aku ingin hidup bersamamu, Brian. Kita hidup bersama, menua bersama dan kalau boleh ... mati pun aku ingin bersamamu, Brian Prayoga," ucapnya sangat tulus dan penuh perasaan.     

Brian tak pernah menyangka jika Imelda mampu mengatakan kata-kata yang membuatnya semakin tak berdaya. Ia harus tetap hidup selama Imelda hidup, tak peduli penderitaan apa yang harus dijalaninya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.