Bos Mafia Playboy

Dua Pria Penipu



Dua Pria Penipu

0Vincent menjadi sedikit gelisah saat Imelda tak segera kembali ke ruang perawatan Martin. Ia pun melirik jam di pergelangan tangannya lalu menatap ke arah pintu. Menunggu beberapa menit, adik perempuannya itu masih saja tak menunjukkan batang hidungnya.     
0

"Tetaplah di sini, Kevin! Aku akan mencari Imelda, perasaanku tidak enak padanya," pamit Vincent pada sosok pria yang hanya menganggukkan kepala tanpa memberikan jawaban apapun.     

Dengan langkah yang cepat, Vincent langsung keluar dari ruangan itu. Ia menyusuri lorong panjang yang terlihat sangat sepi. Hanya beberapa dokter dan juga perawat yang terlihat di sana. Beberapa langkah sebelum berada di ujung lorong, Vincent mendengar ada keributan di sana. Dalam keraguan dan juga perasaan tak nyaman, ia melangkah pelan untuk melihat suara berisik yang terdengar jelas di telinganya.     

"Imelda merasa jika kita sudah menipunya. Ia sangat kecewa dan sampai menangis tanpa henti," lontar Adi Prayoga pada sosok pria yang tak lain adalah ayahnya sendiri.     

Jantung Vincent mendadak berdebar kencang, dengan darahnya yang seolah telah mendidih. Ia memang tak melihat pembicaraan mereka sebelumnya. Namun kalimat terakhir yang diucapkan oleh Adi Prayoga menjelaskan segalanya.     

"Apalagi yang sedang mereka sembunyikan? Dua pria yang sangat mengerikan, aku semakin tak memahami mereka berdua," gumam Vincent sembari menatap tajam dua pria itu dalam banyak pertanyaan yang mulai bersarang di dalam kepalanya.     

Tak ingin mendengarkan pembicaraan yang semakin tidak masuk akal baginya, Vincent pun memutuskan untuk pergi dari sana. Ia tak mau mendengar dua pria yang dirasanya sangat munafik.     

Tanpa memikirkan apapun lagi, Vincent mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Dalam beberapa detik saja, panggilan itu akhirnya mendapatkan jawaban.     

"Di mana kamu?" tanya Vincent pada seseorang yang berbincang via telepon.     

"Aku akan menyusul ke sana." Pria itu mematikan panggilan ponselnya lalu berlari masuk ke dalam pintu lift yang kebetulan sekali baru saja terbuka. Vincent pun menekan tombol ke lantai paling atas di rumah sakit itu. Dalam hitungan detik saja, pintu lift kembali terbuka tepat di atap rumah sakit itu.     

Dengan tidak sabar, ia berlari untuk mencari seseorang yang sedang dicarinya. Setelah beberapa saat ia berlari hingga nafasnya mulai terengah-engah, barulah ia melihat dari kejauhan sosok wanita yang sejak tadi sedang dicarinya.     

"Akhirnya aku bisa menemukanmu," ucap pria itu dalam wajah penuh kelegaan. Awalnya ... Vincent takut jika adik perempuan kesayangannya itu melakukan hal yang tidak-tidak dan membahayakan untuk dirinya sendiri. Ia bisa bernafas lega sekarang, setidaknya pria itu bisa melihat jika adiknya baik-baik saja.     

Setelah berjalan cukup jauh dari pintu lift yang membawanya naik ke lantai itu, akhirnya Vincent bisa berada di dekat Imelda yang sedang duduk sendirian sembari melihat pemandangan kota dari atap rumah sakit.     

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Imelda? Aku hampir gila karena kamu tak segera kembali ke kamar," ucap Vincent dalam sebuah tatapan hangat yang penuh arti. Ia bisa melihat kesedihan dari sorot mata adiknya itu.     

"Maaf, Kak. Aku sudah membuatmu cemas." Bukannya memberikan sebuah jawaban, Imelda justru mengucapkan rasa penyesalannya karena sudah merepotkan kakaknya itu.     

Tanpa diduga oleh wanita itu, Vincent langsung memberikan sebuah pelukan penuh arti pada adik kesayangannya. Meskipun ia tak mampu merubah segala yang sudah terjadi, pria itu ingin agar Imelda tak larut dalam kekecewaannya.     

"Apa yang Kak Vincent lakukan?" protes Imelda sambil berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sang kakak. Ia merasa jika sikap Vincent terhadapnya terlalu aneh dan sulit untuk dimengerti.     

"Aku sudah tahu semuanya." Vincent hanya mengatakan hal itu tanpa menjelaskan apapun secara lebih detail. Bukannya tak mau ataupun tak ingin, ia hanya tak rela jika Imelda harus kembali mendengar sebuah kebenaran yang tak seharusnya menjadi sebuah rahasia selama ini.     

Tak ada yang dikatakan Imelda pada kakaknya. Sejujurnya ia masih bingung dengan ucapan Vincent terhadapnya. Wanita itu tentunya tak pernah menduga jika kakak laki-laki kesayangannya sudah mendengar kebenaran mengenai kepemilikan rumah sakit.     

"Apa yang Kak Vincent maksudkan? Tiba-tiba saja, aku merasa menjadi sangat bodoh dan tak bisa memikirkan apapun." Wanita itu mencoba untuk tersenyum setulus mungkin pada Vincent. Ia tak ingin menambahkan beban pikiran pada pria di sebelahnya. Rasa sayang Imelda terhadap pria itu, membuatnya harus menahan diri agar tak membuat Vincent sedih ataupun cemas akan dirinya.     

"Benarkah Papa dan juga Om Adi telah mencoba menipu kamu?" tanya Vincent dalam keraguan yang terlalu jelas.     

Imelda sebenarnya tak ingin mengatakan hal itu pada kakaknya. Ia tak ingin jika Vincent semakin membenci Davin Mahendra ataupun Adi Prayoga. Namun ia kembali berpikir beberapa saat. Tak ada bedanya dengan kedua pria itu, jika ia ikut merahasiakan hal itu dari saudara laki-lakinya itu.     

"Kak Vincent juga sudah mengetahui tentang hal itu? Mengapa Kak Vincent tak pernah mengatakan padaku jika rumah sakit ini adalah milik Mama Irene dan juga Mama Natasya?" Tanpa menahannya lagi, Imelda langsung menanyakan dua pertanyaan sekaligus pada kakaknya. Bukan sebuah jawaban yang diinginkannya, melainkan sebuah dukungan agar dirinya bisa kuat menerima semuanya.     

"Apa! Rumah sakit ini milik Mama?" Vincent tentunya sangat terkejut, ia sama sekali tak mengetahui pembicaraan dua pria tadi sebelum dirinya datang. Ternyata dua sahabat itu telah menyembunyikan sebuah kebenaran yang begitu besar. "Apakah Brian juga mengetahui hal ini?" tanyanya sangat penasaran.     

Dengan tatapan aneh, Imelda memandang ponsel di tangannya. Ingin sekali ia menanyakan pertanyaan yang sama pada Brian. Namun ia tak yakin jika suaminya itu akan menjawab panggilannya. Ia pun akhirnya mengurungkan niatnya, memilih untuk menahan diri untuk tidak menghubungi suaminya.     

"Sepertinya Brian tak tahu menahu dengan kepemilikan rumah sakit ini. Hanya Papa Davin dan juga Papa Adi yang mengetahuinya. Mungkin saja ditambah beberapa direksi di rumah sakit," jawab Imelda tak cukup untuk menyakinkan untuk mereka sendiri.     

Tanpa permisi, Imelda menyandarkan kepalanya di pundak Vincent. Ia merasa lelah hingga tak mampu mengangkat kepalanya sendiri. Rasanya cukup nyaman berada di dekat seorang pria yang sangat disayanginya itu.     

"Aku tak menyangka jika Papa Davin dan juga Papa Adi telah menipu kita, Kak. Rasanya aku seperti seorang wanita bodoh yang begitu mudah ditipu. Pantas saja, Papa Davin begitu mudah mengajukan cuti untukku. Ternyata ini adalah rumah sakit milik Mama." Imelda menumpahkan kekesalannya pada pria yang menjadi sandaran untuk kepalanya itu. Rasanya begitu tenang bisa bersama dengan Vincent.     

"Aku juga sangat membenci dua pria penipu itu!" tegas Vincent dalam satu tarikan nafas saja. Ia mengucapkan itu dengan cukup menyakinkan dan tanpa keraguan sedikit pun.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.