Bos Mafia Playboy

Obat Perangsang



Obat Perangsang

0Akhirnya Vincent dan juga Imelda mengerti dengan ucapan pasangan baru itu. Mereka berdua mulai mengikis kecurigaan terhadap Martin. Yang jelas mereka tak ingin menambahkan kerumitan dalam hubungan itu.     
0

"Lebih baik pulanglah dulu, Imelda. Kamu bisa beristirahat di rumah saja," suruh Vincent pada adik perempuan kesayangannya.     

"Lalu, Martin? Siapa yang akan menjaganya?" Imelda merasa jika ia harus bertanggung jawab atas insiden kecelakaan yang melibatkan pria yang sedang duduk di atas ranjang. "Walau bagaimanapun, Martin terluka     

karena menyelamatkan aku dan juga suamiku," lanjutnya.     

Eliza mencoba bangkit dan mendekati Imelda. Ia melihat perasaan khawatir yang ditunjukkan oleh Istri dari seorang pria yang pernah sangat dicintainya.     

"Biar aku yang menjaga Martin, Dokter Imelda. Kondisiku sudah cukup baik untuk berada di sini," tawar Eliza pada seorang wanita yang juga berprofesi sebagai seorang dokter bedah.     

"Apakah kamu yakin bisa menjaga pria yang kamu cintai ini, Eliza?" Imelda mencoba menyakinkan wanita yang memandangnya dengan penuh harap.     

Sebuah tatapan yang penuh arti terlukis jelas di wajah Eliza. Ia memandang Martin lalu beralih ke arah Imelda. "Aku sangat yakin bisa menjaganya. Lagipula, masih ada dokter dan juga perawat yang berjaga di sini," tegasnya pada Imelda.     

Sebelum memberikan jawaban pada wanita itu, Imelda mencoba memikirkan hal itu dengan baik. Ia tak mungkin membiarkan Martin berada di tangan orang yang salah. Selain itu, keselamatan dari sosok pria yang bekerja untuk keluarga Prayoga itu tentunya sangat penting. Tak akan pernah rela jika hal buruk sampai terjadi.     

Tak berapa lama, Imelda baru ingat jika Eliza juga bersama kakaknya, Johnny Hartanto. Ia berpikir jika kehadiran mereka di sampai Martin merupakan sesuatu yang baik baginya.     

"Sebaiknya kita kembali saja, Dokter Kevin. Biar Eliza yang menjaga Martin, aku akan meminta Marco untuk segera datang ke sini," ajak Imelda pada dokter keluarga kepercayaan keluarga Prayoga.     

Sebelum pergi, Vincent menyempatkan diri untuk mendekati Martin lalu berbisik pada sahabatnya itu. "Jangan memanfaatkan kelumpuhan kakimu untuk membuat Eliza bekerja di atas tubuhmu," goda Vincent pada sahabatnya.     

"Kamu juga tahu jika aku bukan pria brengsek seperti adik iparmu!" kesal Martin pada seorang pria yang hanya tersenyum senang pada kekesalan orang kepercayaan Adi Prayoga itu.     

Mereka bertiga lalu meninggalkan ruangan itu sembari terkekeh melihat kekesalan Martin. Vincent sangat mengenal sahabatnya itu, pastinya ia sangat kesal akan dirinya.     

"Tolong antarkan kami ke rumah Papa Davin, Dokter Kevin," pinta menantu dari keluarga Prayoga itu.     

"Baiklah, Dokter Imelda. Aku akan meresepkan beberapa obat untuk Vincent," sahut Kevin sembari berjalan memasuki lift. Mereka bertiga langsung beranjak menuju ke sebuah tempat di mana mobil Kevin berada.     

"Aku sudah sangat sehat.Tak perlu meresepkan apapun lagi!" seru Vincent pada seorang dokter yang selama ini sudah merawatnya dengan kesabaran.     

Kevin hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar ucapan dari Vincent. Padahal ia tahu jika pria itu masih memerlukan beberapa obat dan juga vitamin untuk memulihkan keadaanya. Ia juga tak ingin memaksanya untuk menerima obat yang akan diberikannya. Kevin memilih untuk memberikan obat itu kepada Imelda secara diam-diam.     

Baru beberapa menit saja, mobil milik Kevin sudah berhenti di depan rumah besar milik keluarga Mahendra. Begitu melihat kedatangan mereka, gerbang tinggi yang dijaga ketat itu langsung terbuka agar mobil itu dapat masuk.     

"Aku langsung ke klinik saja," ucap Kevin tanpa turun dari mobil. Begitu Imelda dan Vincent turun, ia langsung pergi meninggalkan kediaman Mahendra. Kevin merasa sudah terlalu lama meninggalkan klinik miliknya. Selain itu, ia juga merasa tak enak pada Laura yang masih berada di klinik.     

Imelda dan Vincent masuk ke dalam lalu menuju ke kamar masing-masing. Mereka ingin mengistirahatkan tubuhnya untuk sebentar saja. Rasanya terlalu melelahkan hari yang harus dilewatinya.     

Baru sebentar saja membaringkan tubuhnya, tanpa terasa hari sudah gelap. Imelda bangun dari tidurnya lalu membersihkan diri sebelum jam makan malam tiba. Tak perlu berlama-lama berada di kamar mandi, wanita itu sudah keluar dalam bathrobe yang menutupi seluruh tubuhnya. Terlihat wajahnya terlihat lebih segar setelah istirahat dan membersihkan dirinya.     

Entah mengapa, Imelda menjadi sangat merindukan suaminya. Rasanya sudah tak tahan lagi untuk berjauhan dengan Brian. Dengan sedikit ragu, ia bermaksud untuk menghubungi suaminya. Baru saja menatap layar ponselnya, wanita itu kembali menaruh ponsel di atas meja. Ia sangat gelisah memikirkan Brian. Namun ia tak ingin mengganggu pekerjaan suaminya.     

Perasaan rindu yang tertahan di dalam hati Imelda bertambah semakin besar. Andai ia bisa menghilang, ingin rasanya langsung menghilang dan menemui suaminya. Namun itu hanya angan-angannya saja.     

"Imelda! Temani kakak makan malam." Terdengar suara Vincent mengetuk pintu sembari memanggil nama adik perempuan kesayangannya.     

Tanpa memberikan jawaban, Imelda langsung keluar menemui kakaknya. Terlihat Vincent masih berdiri untuk menunggu dirinya.     

"Tak perlu menunggu aku, Kak. Aku bisa ke meja makan sendiri." Sebuah senyuman hangat menghiasi wajah cantik Imelda. Ia bisa merasakan betapa besarnya kasih sayang seorang Vincent Mahendra. Wanita itu bahagia bisa memiliki seorang saudara laki-laki seperti Vincent.     

"Aku hanya ingin memanjakan adik kesayanganku ini," sahut Vincent sembari membelai lembut rambut adiknya. Sejak kecil, ia selalu memanjakan adiknya itu. Bahkan saat Imelda sudah SMA, pria itu masih saja memanjangkannya seperti anak kecil. Sayangnya, kematian Irene Mahendra membuatnya hilang akal dan meninggalkan Imelda. Hal itu yang selalu disesalinya seumur hidup.     

Mereka berdua menikmati makan malam dalam suasana yang cukup sunyi tanpa kehadiran Brian ataupun Davin Mahendra. Rasanya ada yang kurang ketika mereka hanya duduk berdua di meja makan. Terlebih Imelda, ia merasa sendirian meskipun ada Vincent di sampingnya. Wanita itu sudah terbiasa bersama dengan suaminya, Brian Prayoga.     

"Ada apa, Imelda? Apa kamu merasa tak senang makan berdua denganku?" Vincent mencoba untuk mencari sebuah jawaban dari kegelisahan adik perempuan kesayangannya.     

"Bukan, Kak. Aku sangat senang bisa makan bersama Kak Vincent. Namun ... hatiku sedikit gelisah memikirkan Brian," jelas Imelda pada seorang pria yang sangat menyayangi dirinya.     

Vincent cukup lega mendengar jawaban itu. Ia mengerti kegelisahan di hati adiknya. Tentunya sebagai seorang istri, Imelda pasti akan sangat merindukan suaminya.     

Beberapa saat kemudian, ponsel milik Imelda berdering cukup nyaring. Sang empunya langsung mengambilnya dari atas meja dan menerima panggilan itu.     

"Ada apa, Brian?" tanya Imelda begitu menerima panggilan dari suaminya. Belum apa-apa juga, ia sudah merasa sangat khawatir pada sosok pria yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota.     

"Apa! Obat perangsang? Bagaimana itu bisa terjadi?" Imelda sangat panik hingga suaranya terdengar bergetar hebat setelah mendengar ucapan Brian via telepon. Wanita itu benar-benar ketakutan jika sampai hal buruk menimpa suaminya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.