Bos Mafia Playboy

Aku Adalah Penembak Terbaik



Aku Adalah Penembak Terbaik

Keesokan paginya, Brian dan juga Imelda sudah bersiap untuk meninggalkan hotel. Setelah sarapan bersama Vincent dan juga Laura pasangan itu langsung keluar dari sebuah kamar yang tadinya akan dipakai oleh pasangan kekasih itu. Tapi mereka berempat justru memutuskan untuk tidur di kamar yang sama.     
1

Bukan tanpa alasan, Vincent tak ingin hanya berduaan saja dalam kamar itu bersama Laura. Tak berarti ia tak tergoda dengan kekasihnya itu, pria itu hanya ingin menjaga sang kekasih sampai mereka sudah resmi menjadi pasangan yang sah.     

"Bagaimana penampilanku, Brian?" tanya Imelda saat berjalan di samping suaminya. Ia khawatir jika penampilan tidak serasi jika disandingkan dengan pria tampan di sebelahnya itu.     

"Kamu sangat cantik, Sayang." Pria itu lalu menggenggam erat jemari tangan Imelda. Ia merasa begitu berat membawa istrinya menemui seorang pria yang sudah cukup lama bekerja sama dengan keluarga Prayoga. Brian hanya bisa berpura-pura tenang, meskipun hatinya seolah ingin meledak.     

Wanita itu hanya mengembangkan senyuman tipis tanpa mengatakan apapun pada suaminya. Imelda bisa merasakan jika Brian tak rela jika ia ikut dalam pertemuan itu. Namun ia juga tak rela jika suaminya itu harus membahayakan dirinya sendirian.     

Begitu sampai di depan lobby hotel, sebuah mobil lengkap dengan dua bodyguard sudah siap untuk berangkat. Pasangan itu langsung masuk ke dalam mobil lalu melaju ke kediaman Arya Gunadi.     

"Sayang ... nanti kamu tunggu di dalam mobil saja. Biar aku dan juga salah satu dari mereka yang keluar untuk menemui Arya Gunadi." Brian mencoba untuk membujuk istrinya itu agar tak ikut masuk ke dalam sebuah rumah yang mungkin saja akan sangat berbahaya.     

Tak langsung menjawab ucapan suaminya, Imelda justru menepuk pundak seorang bodyguard yang duduk di sebelah kemudi.     

"Berikan aku satu senjata yang kalian bawa. Aku sangat yakin jika ada beberapa senjata di dalam mobil ini," ucapnya cukup tegas dan sangat menyakinkan. Imelda tentunya sangat mengetahui kebiasaan dari pria-pria yang bekerja untuk keluarga Prayoga. Mereka tak mungkin hanya menyimpan satu senjata saja di dalam tubuhnya.     

Dengan wajah bingung dan juga ketakutan, bodyguard yang memalingkan wajahnya dan memandang Brian. Ia tak berani untuk menolak ataupun memberikan sebuah senjata tanpa persetujuan dari bos-nya. Pria itu hanya bisa menatap penuh arti pada pasangan suami istri terlihat saling diam dalam wajah yang tegang.     

Seolah tak ada pilihan lain ... mau tak mau, Brian pun mengijinkan sang bodyguard untuk memberikan sebuah senjata pada istrinya. Menolak pun seperti sedang cari mati baginya.     

"Berikan sebuah senjata terbaik untuk istriku," ucap Brian pada pria yang duduk di depannya. "Kuharap kamu bisa menggunakan senjata itu dengan bijak, Sayang. Jangan menembakkan sembarangan!" tegasnya pada sang istri.     

"Apa kamu lupa, Brian? Aku adalah penembak terbaik dalam pelatihan yang pernah kulakukan bersama beberapa anggota intelijen. Bahkan aku bisa menembak tepat sasarandengan mata tertutup." Imelda terlihat sedang menyombongkan keahliannya dalam hal menembak. Bukan secara instan, ia melakukan banyak latihan fisik yang cukup menguras tenaganya. Bahkan Imelda pernah jatuh sakit gara-gara terlalu keras berlatih.     

Sepertinya Brian telah melupakan hal itu. Menjadi anak dari seorang Davin Mahendra, membuat Imelda harus siap menghadapi insiden yang tak terduga. Setiap langkah yang dilaluinya akan sangat berbahaya bagi dirinya. Mungkin saja, kemampuan bertarung Imelda jauh lebih hebat dari sang bos mafia.     

"Tentu saja aku akan menembakkan peluru ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerima pembalasan setimpal itu." Tanpa keraguan sedikit pun, Imelda mengatakan hal itu dengan begitu mudahnya. Tak ada beban ataupun perasaan yang diperlihatkan oleh wanita itu.     

Ingin rasanya Brian memukul kepalanya sendiri. Ia yakin jika istrinya itu bukan lawan yang sepadan baginya. Bahkan kehamilannya itu sama sekali tak mempengaruhi gerakannya. Imelda hanya sedikit mengurangi ketangkasan di dalam dirinya saja.     

"Kamu harus terus berhati-hati, Sayang. Keselamatanmu adalah yang paling penting. Tak peduli segenting apa situasi yang kita hadapi nanti," ucap Brian pada sang istri.     

Wanita itu hanya tersenyum tipis sembari menyimpan senjata yang dibawanya di tempat yang tak terlihat oleh musuh. Imelda sudah sangat siap menghadapi apapun yang akan terjadi.     

Dalam beberapa menit saja, mobil itu berhenti di sebuah rumah yang cukup besar setelah melewati beberapa tahap pemeriksaan. Dengan sigap, kedua bodyguard langsung membukakan pintu untuk pasangan suami istri yang terlihat sangat serasi dan tentunya mempesona.     

Kemudian datanglah seorang pria yang berpakaian rapi menyambut kedatangan mereka. Pria itu cukup sopan dan juga ramah pada pasangan itu.     

"Selamat datang di kediaman Gunadi. Bos sudah menunggu Anda sejak tadi," sapa seorang pria yang baru saja keluar dari rumah besar yang cukup mewah itu. Ia pun mengantarkan tamu yang baru saja datang untuk menemui majikannya.     

Brian dan Imelda berjalan dengan penuh keyakinan memasuki rumah dengan penjagaan sangat ketat itu. Pasangan itu diarahkan ke sebuah tempat di halaman samping rumah itu. Sebuah gazebo dengan ornamen kayu yang cukup indah dan bernilai seni cukup tinggi. Wanita itu sempat terkagum pada pemandangan yang disaksikannya.     

"Selamat datang, Brian dan .... " Sang empunya rumah sedikit ragu untuk mengatakan pemikirannya.     

"Saya Imelda Mahendra, menantu dari keluarga Prayoga." Imelda memperkenalkan dirinya sembari memberikan salam penuh kehangatan.     

Arya Gunadi dibuat terkagum pada sosok wanita di hadapannya itu. Ia tak pernah membayangkan ada wanita cantik yang juga sangat sopan terhadap dirinya.     

"Duduklah! Apa yang membuatmu ingin menemui pria tua ini, Brian?" tanya Arya Gunadi tanpa ada kecurigaan ataupun tatapan tak bersahabat padanya. Pria itu justru terlihat sangat senang bisa bertemu dengan Brian Prayoga dan juga istrinya.     

"Yang pertama ... mengapa Anda membatalkan transaksi sepihak setelah kami melakukan pembayaran sesuai perjanjian?" Brian sengaja mengutarakan hal bisnis sebelum melontarkan ucapan yang mungkin akan mengejutkan pria tua itu.     

"Transaksi dibatalkan? Aku sama sekali tak membatalkan hal itu. Bahkan secara khusus, aku sendiri yang menyiapkan barang-barang pesanan papamu, Adi Prayoga." Arya Gunadi tentunya sangat terkejut. Ia langsung memanggil seseorang yang cukup dipercayainya untuk mencari tahu kebenaran mengenai keluhan Brian.     

Tak berapa lama, pria yang tadi dipanggilnya itu kembali datang dalam wajah yang cukup cemas.     

"Tuan Andra yang membatalkan transaksi itu, Bos," jelas pria itu.     

"Brengsek! Berani-beraninya anak itu bertingkah!" Terlihat aura kemarahan terpancar dari wajah Arya Gunadi. Ia tak menyangka jika anaknya itu memutuskan hal penting tanpa pertimbangannya.     

Brian bisa melihat jika pria tua itu sama sekali tak mengetahui kegagalan transaksi itu. Ia pun kembali memandang pria tua itu dengan sedikit penyesalan.     

"Yang kedua ... saya mohon maaf telah menembak kaki Andra Gunadi." Brian kembali mengutarakan maksud kedatangannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.