Bos Mafia Playboy

Kepergian Vincent



Kepergian Vincent

0Setelah menceritakan sebuah kisah masa lalu yang mengerikan pada anak-anak dan juga menantunya, Davin Mahendra langsung menghela nafasnya dalam perasaan yang begitu menyedihkan. Dia sangat mengingat sangat jelas, betapa hancurnya Adi Prayoga saat itu.     
0

"Itulah sebuah kesalahan besar yang sudah kulakukan pada Adi Prayoga. Seumur hidup aku tak pernah bisa memaafkan diriku sendiri," sesal Davin Mahendra dalam hati yang sangat terluka.     

Brian, Imelda dan juga Vincent masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang harus dialami oleh keluarganya. Tak satupun dari mereka bisa memahami kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Davin Mahendra.     

"Apakah alasan itulah yang membuat Papa menikah dengan Mama Irene?" tanya Imelda dalam wajah tegang yang masih tak bisa percaya dengan kisah memilukan yang harus terjadi pada keluarganya.     

"Kira-kira seperti itu." Davin Mahendra tak sanggup memberikan jawaban yang sebenarnya. Pria itu bangkit dari tempat duduknya lalu berdiri memandang mereka bertiga.     

"Papa harus kembali ke markas." Davin Mahendra langsung berjalan keluar dari rumah itu. Dia tak benar-benar kembali ke kantornya, ia hanya tak bisa menghadapi mereka semua. Sebuah rasa sakit yang sangat menyesakkan telah menghimpitnya sangat dalam.     

Di dalam rumah itu, mereka semua masih saja terdiam dalam lamunan masing-masing. Terlebih Vincent, ia baru saja mendapatkan sebuah tamparan hebat atas terungkapnya masa lalu itu. Dia tak menyangka jika ayahnya sendirilah penyebab hancurnya persahabatan di antara mereka.     

"Apakah kisah yang diceritakan oleh Papa adalah kebenaran? Tetap saja, Adi Prayoga yang bersalah telah menjalin hubungan dengan Mama. Padahal jelas-jelas ia tahu jika Mama sudah menikah dengan Papa." Vincent masih saja belum bisa menghilangkan kebenciannya pada Adi Prayoga. Jelas-jelas Davin Mahendra sudah menjelaskan jika semua adalah kesalahannya.     

"Aku masih saja belum mempercayai segalanya. Papa pasti masih menyembunyikan poin penting dalam hubungan mereka." Vincent langsung meninggalkan Brian dan juga Imelda begitu saja. Dia tak tahan lagi pada kebenaran yang sudah didengarnya.     

"Tunggu, Kak!" Imelda berusaha menghentikan Vincent agar tak pergi dalam suasana hati yang kurang baik. Ia tak ingin jika hal buruk sampai terjadi pada kakaknya itu. Namun Vincent sama sekali tak menghiraukan adiknya itu. Ia justru masuk ke dalam sebuah mobil lalu meninggalkan rumah itu.     

Imelda langsung panik melihat kepergian Vincent. Ia langsung memandang Brian yang berdiri di sebelahnya.     

"Brian! Bagaimana ini, Kak Vincent pergi dalam suasana hati yang buruk? Aku takut terjadi apa-apa dengannya," ucap Imelda dalam wajah yang penuh harap. Dia mengharapkan agar Brian bisa membantunya.     

"Tenanglah, Sayang. Aku yakin jika Kak Vincent akan baik-baik saja. Kamu tak perlu panik seperti itu," hibur Brian dalam hati yang juga sangat cemas. Dia juga berharap jika tak akan ada hal buruk pada kakak iparnya itu.     

Dalam hati yang juga cemas, Brian mencoba untuk memeluk istrinya. Memberikan sebuah kenyamanan antara kedekatan mereka berdua.     

"Aku akan meminta Martin untuk mengawasi Kak Vincent. Semoga saja ia tidak sibuk dengan urusan bisnis Prayoga." Brian langsung mengeluarkan ponsel miliknya dan segera menghubungi orang kepercayaan dari ayahnya itu.     

Brian menyalakan speaker pada ponselnya, ia ingin agar Imelda juga mendengar percakapan mereka. Tak berapa lama, Martin pun menerima panggilan telepon darinya.     

"Ada apa, Brian?" Sebuah suara yang sangat familiar terdengar memberikan jawaban pada panggilan Brian.     

"Aku ingin meminta bantuanmu, Martin. Kak Vincent pergi dari rumah dalam suasana yang cukup buruk." Brian mencoba menjelaskan permasalahan yang sedang dialaminya. Dia sangat yakin jika Martin sangat bisa diandalkan.     

"Apa yang bisa kubantu untuk kalian?" Martin bertanya pada seseorang yang sedang menghubunginya.     

Imelda merasa jika itu adalah kesempatan yang sangat bagus untuk meminta Martin agar membantunya mengawasi Vincent yang langsung pergi begitu saja.     

"Martin! Aku ingin meminta bantuanmu agar mau mengawasi Kak Vincent. Dia pergi begitu saja dalam suasana hati yang sangat buruk. Kumohon! Bantu aku menemukannya." Imelda mengatakan hal itu dalam suara yang terdengar memohon. Dia berpikir, hanya Vincent harapan satu-satunya saat itu.     

"Tak perlu cemas, aku akan menemukan Vincent secepatnya." Sebuah ucapan yang cukup menenangkan, sebelum Martin mengakhiri panggilannya.     

Imelda terlihat sedikit tenang mendengar ucapan itu, ia sedikit bisa tersenyum sambil memandang Brian penuh arti. Wanita itu merasa jika Brian sedang menyembunyikan sebuah perasaan di dalam dirinya. Namun ia tak yakin tentang itu.     

"Brian ... apa kamu baik-baik saja?" tanya Imelda sangat cemas. Dia tak ingin jika orang-orang terdekatnya sampai merasakan kecemasan yang cukup mengganggunya.     

Sekuat tenaga, Brian mencoba untuk tetap tenang. Berusaha untuk menutupi kegelisahan di dalam hatinya. Entah itu berhasil atau tidak, ia ingin terlihat baik-baik saja. Apalagi di hadapan Imelda, ia harus menjadi sosok yang kuat dan tak mudah goyah.     

"Meskipun aku sedikit terkejut dengan kisah rumit di antara orang tua kita ... aku sangat baik-baik saja, Sayang. Tak perlu mencemaskan apapun." Brian hanya bisa mengatakan hal itu untuk membuat Imelda lebih tenang lagi.     

"Kamu tak mungkin bisa membohongi aku, Brian. Aku bisa melihat sangat jelas jika kamu begitu sedih dan juga kecewa saat mendengar kisah yang sedang diceritakan oleh Papa." Imelda tak mungkin langsung mempercayak ucapan Brian yang sangat meragukan.     

Brian menarik tangan Imelda dan mengajaknya masuk ke kamar. "Lebih baik kita istirahat di kamar saja sembari menunggu kabar baik dari Martin," bujuk pria yang sudah menjadi menantu sah dari keluarga Davin Mahendra.     

Begitu masuk ke dalam kamar, mereka berdua terbaring di atas ranjang tanpa melakukan apapun. Brian hanya terdiam sembari memandang langit-langit kamarnya. Ada banyak pertanyaan yang bersemayam di dalam hatinya. Dia merasa jika ayah mertuanya itu hanya menceritakan bagian awalnya sana. Brian sangat yakin jika masih banyak hal tentang masa lalu di antara dua keluarga itu.     

"Sayang ... " panggil Brian pada sang istri.     

"Ada apa, Brian?" sahut Imelda sembari memiringkan tubuhnya agar menghadap langsung ke suaminya.     

Sebuah tatapan lembut yang penuh cinta diperlihatkan Brian pada Imelda. Pria itu terlihat sedang mempersiapkan diri untuk menanyakan langsung pada istrinya. Ia berpikir jika Imelda mungkin saja mengetahui semuanya dengan lebih banyak lagi.     

"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Mungkin saja kamu lebih mengetahui hal itu daripada aku," sahut Brian dalam tatapan yang sedikit aneh. Sebuah rasa penasaran, kegelisahan dan juga kecemasan sudah melebur menjadi satu di dalamnya.     

"Katakanlah, Brian ." Imelda pun juga ikut penasaran akan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh suaminya.     

"Jika yang diceritakan oleh Papa Davin bisa menjadi alasan untuk Adi Prayoga dalam membenci dirinya, lalu ... alasan apalagi yang membuat Papa Davin bisa sangat benci pada papaku .... " Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh Brian. Namun pria itu memilih untuk menahan dirinya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.