Bos Mafia Playboy

Jangan Menyelamatkan Aku!



Jangan Menyelamatkan Aku!

0Jelas saja, Eliza sangat terkejut dengan respon Martin yang cukup kasar kepadanya. Dia tak menyangka jika seorang pria bisa menolak sebuah ciuman darinya. Setahunya, hanya Brian saja yang selalu menolaknya jika dalam keadaan sadar. Selain cukup cantik, Eliza memiliki karir yang cukup membanggakan. Hal itulah yang membuat banyak pria mendekatinya untuk menjalin hubungan dengan Eliza.     
0

"Apakah aku terlihat sangat menjijikkan bagimu, Martin?" Eliza melontarkan pertanyaan itu dalam suara bergetar dalam pandangan yang mulai berkaca-kaca. Rasanya ... hatinya teriris tipis dengan penolakan kasar dari Martin.     

"Bukan begitu, Eliza. Aku sangat menghargai kamu, jangan salah paham terhadap penolakanku!" Martin menekankan kalimat terakhir yang diucapkannya. Dia tak ingin membuat Eliza terluka karena sikapnya yang cukup kasar.     

Eliza memaksakan diri untuk bangkit dan juga berdiri di hadapan Martin. Wanita itu tersenyum kecut dalam tatapan mata yang terlihat sangat menyedihkan. Seolah sebuah luka, baru saja tertoreh sangat dalam.     

"Jangan menghiburku, Martin! Aku yakin jika kakakku sudah menceritakan betapa memilukan kisah cinta yang kujalani. Kamu sendiri juga tahu jika aku mencintai pria beristri," ucapnya dalam tatapan yang mulai berkabut dan mata yang mulai berair.     

"Lebih baik aku pergi sekarang. Terima kasih sudah menyelamatkan aku untuk yang kesekian kalinya." Tanpa memandang wajah pria di depannya, Eliza langsung beranjak pergi meninggalkan kamar itu. Sampai di depan pintu, ia kesulitan untuk membukanya. Seolah ia baru saja kehilangan kekuatan di dalam dirinya. "Ahhh ... brengsek!" teriak Eliza masih mencoba membuka pintu apartemen itu.     

Martin yang melihat betapa menyedihkannya Eliza langsung saja menghampirinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkat wanita itu dan membawanya kembali ke kamar. Dengan sangat hati-hati ia membaringkan Eliza kembali ke ranjang.     

"Apa yang kamu lakukan Martin? Biarkan aku pergi dari sini," protes Eliza pada pria yang langsung mengangkatnya tanpa permisi. Bahkan Martin langsung membaringkannya di ranjang tanpa mengatakan apapun padanya.     

"Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi dalam kondisi seperti ini? Untuk membuka pintu saja, kamu sama sekali tak memiliki kekuatan untuk melakukannya," sahut Martin dalam tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. Bahkan pria itu terlihat mengulas senyuman kecil di sudut bibirnya.     

Tanpa menjawab pertanyaan Martin, Eliza langsung saja memalingkan badannya agar tak melihat sosok pria yang seolah bermain tarik ulur padanya. Seakan Martin sedang bermain-main dengan perasaan di dalam hatinya. Wanita itu merasakan sebuah perasaan yang tak bisa dikendalikannya. Sudah beberapa kali Martin menyelamatkan dirinya, pria itu selalu hadir dengan cara yang tak terduga. Tidak salah jika akhirnya Eliza jatuh ke dalam pesona seorang pria yang menjadi teman lama dari kakaknya itu. Namun sayang ... Martin sama sekali tak pernah memandangnya.     

"Martin! Bila suatu hari nanti, kamu menemukan aku dalam keadaaan hidup dan mati sekalipun .... Jangan pernah menyelamatkan aku!" Tanpa sadar, air mata Eliza mengalir sangat deras. Ia merasa sangat terluka pada ucapan pria di dekatnya itu. Dunia seolah tak pernah berpihak padanya. Eliza merasa tak ingin hidup lebih lama lagi.     

"Apa yang kamu katakan itu, Eliza!" Tiba-tiba saja Martin kembali merasakan sebuah perasaan di dalam hatinya. Seolah setiap kata yang terucap dari mulut Eliza telah merobek hatinya. Martin benar-benar terluka atas perkataan itu.     

Sekuat hati, Eliza mencoba untuk kembali bangkit dan beranjak pergi dari kamar itu. Dia sudah tak tahan harus melihat ataupun mendengar segala perkataan Martin yang justru membuatnya semakin tak berdaya. Tanpa mengatakan apapun, ia berjalan pelan ke arah pintu keluar. Belum juga berhasil keluar dari kamar itu, tiba-tiba saja ....     

"Jangan pergi kemanapun! Aku tak tahu harus berkata apa pada Johnny Hartanto." Dengan sekali gerakan saja, Martin berhasil menarik Eliza ke dalam pelukannya. Ia tak sadar apa yang sedang dilakukannya. Martin hanya ingin memberikan pelukan pada wanita itu tanpa memikirkan apapun lagi.     

"Lepaskan, Martin! Jangan membuatku bingung dan menjadikan aku jatuh cinta padamu," protes Eliza sembari berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan pria itu. Ia terus memukul pundak Martin agar melepaskan dirinya. Namun pria itu justru mempererat pelukannya.     

Tanpa peduli nada protes yang dilontarkan oleh Eliza, Martin justru semakin memeluk wanita yang terlihat sangat marah. Dia tak peduli meskipun Eliza terus memukul pundaknya. Ia hanya berpikir untuk tetap membuat wanita itu tetap di sisinya. Martin takut jika Eliza akan melakukan hal bodoh seperti yang pernah terjadi sebelumnya.     

"Lepaskan aku, Martin! Brengsek kamu! Aku sangat membenci .... " Belum juga Eliza menyelesaikan ucapannya, Martin justru mendaratkan sebuah ciuman untuk membungkam mulut Eliza yang terus mengucapkan kata-kata kasar terhadapnya. Meskipun wanita itu masih saja menghujani pundaknya dengan pukulan, Martin sama sekali tak melepaskan ciumannya yang sedikit kasar itu.     

Saat dirasa Eliza sudah sedikit tenang, Martin akhirnya melepaskan ciuman yang hampir membuat Eliza pingsan karena kehabisan nafas. Ia juga melepaskan pelukan eratnya pada tubuh wanita cantik yang berprofesi sebagai jaksa itu.     

"Apakah kamu sudah puas memukuli pundakku? Sepertinya aku harus melakukan visum agar bisa membawamu dalam jerat hukum," goda Martin sembari menatap lembut wajah seorang wanita yang tiba-tiba saja telah kehilangan kata-katanya. Dengan penuh perasaan, ia membelai rambut Eliza lalu memberikan sebuah kecupan di kening wanita itu.     

Tiba-tiba saja, Eliza justru mencucurkan air mata di hadapan Martin. Kakinya serasa lemas tak mampu untuk berdiri lagi. Segala perlakuan Martin terhadap dirinya, membuat ia semakin tak berdaya.     

"Hentikan, Martin! Kumohon hentikan sikap lembutmu padaku!" Eliza berteriak dalam posisi terduduk di hadapan Martin. Ia benar-benar sudah berada di dinginnya lantai apartemen itu tanpa peduli lagi dengan harga dirinya sebagai seorang penegak hukum.     

Martin ikut duduk di lantai bersama wanita itu. Ia bisa melihat betapa tak berdayanya Eliza pada saat itu. "Berdirilah! Jangan duduk di lantai, kamu bisa sakit," bujuknya sambil mencoba membantu wanita itu untuk berdiri.     

Eliza hanya terus memandangi pria di depannya itu tanpa mampu mengatakan apapun padanya. Entah dia sudah terhipnotis atau terlalu terbuai dalam ucapan lembut dari Martin. Rasanya ... Eliza sudah jatuh semakin dalam kepada pria yang sudah beberapa kali menyelamatkan hidupnya itu. Bahkan Martin pernah terluka karena kebodohannya.     

"Tidak bisakah kamu menjadi bagian dari hidupku, Martin?" pinta Eliza dalam suara lirih yang terdengar begitu memohon. Ia tak peduli lagi dengan harga dirinya sebagai seorang wanita. Eliza merasa jika Martin benar-benar seorang pria yang pantas untuk berada di sisinya. Ia berpikir jika Martin jauh lebih baik dari Brian Prayoga. Bahkan perlakuan Martin kepadanya jelas sangat berbeda dari sang bos mafia itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.