Bos Mafia Playboy

Hukuman Untuk Pencuri Ciuman Pertama



Hukuman Untuk Pencuri Ciuman Pertama

0Menyaksikan kegilaan di antara Martin dan juga Eliza, pria itu memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua. Johnny Hartanto tak ingin melihat pasangan yang tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan wajah kesal, ia meninggalkan apartemen itu dan membiarkan mereka berdua menikmati momen penuh kemesraan. Dia tak ingin menjadi pengganggu antara teman lamanya dan juga adik perempuannya.     
0

Eliza mendorong pelan Martin dan memberikan sebuah tatapan penuh perasaan yang sangat memikat. "Kakakku sudah pergi, kamu tak perlu berpura-pura lagi," ledek Eliza pada pria yang seolah terlalu menghayati ciumannya pada Eliza.     

Sontak saja, Martin langsung memalingkan wajahnya karena terlalu malu. Ia merasa sedang berada di sebuah titik yang membuatnya seakan sedang terhimpit dan susah bernafas lega.     

"Sebenarnya .... " Rasanya terasa sangat berat bagi Martin untuk mengatakan sesuatu yang belum pernah diungkapkan oleh dirinya pada siapapun.     

"Ada apa, Martin? Apa kamu ingin kita melakukan hal lainnya selain berciuman?" Eliza mendekatkan dirinya pada sosok pria yang sengaja memalingkan wajahnya itu. Ia bisa melihat jika ada sesuatu yang ingin diungkapkan oleh Martin.     

"Dasar!" keluh Martin pada wanita di depannya. "Aku sangat penasaran, terbuat dari apa otakmu ini?" Pria itu membelai kepala Eliza dalam tatapan yang sangat sulit untuk diartikan.     

Wanita itu justru tersenyum memandang Martin yang terlihat sangat bingung. Ia pun menjadi semakin agresif untuk mendekati pria yang membuatnya semakin terperosok dalam. Namun tiba-tiba saja, Eliza seolah telah menyadari sesuatu     

"Jangan bilang jika akulah yang mencuri ciuman pertamamu?" ledek Eliza sembari memandang pria yang tiba-tiba saja memalingkan wajahnya saat mendengar pertanyaan darinya.     

"Istirahatlah! Aku akan menyiapkan makanan untukmu." Martin langsung pergi begitu saja untuk menghindari pertanyaan dari Eliza. Ia merasa sangat malu jika wanita itu sampai mengetahui hal itu.     

Eliza langsung senyum-senyum sendiri melihat Martin yang begitu malu dan langsung keluar dari kamar itu. Ia merasa sangat bahagia apabila yang dipikirkannya memang benar.     

"Jangan-jangan, itu memang ciuman pertama Martin. Aku jadi semakin bersemangat untuk menggodanya." Eliza langsung saja keluar dari kamar itu untuk mencari Martin di dapur. Baru saja ia menemukan posisi dapur itu, Eliza disuguhkan dengan sebuah pemandangan yang semakin menggetarkan hatinya.     

Martin berdiri dengan sebuah celemek yang terpasang di tubuhnya. Melihat pemandangan itu, Eliza langsung membulatkan matanya sembari menelan saliva. Ia tak pernah membayangkan jika ketampanan Martin benar-benar di luar dugaannya.     

Entah mengapa, ia baru menyadari jika teman lama dari kakaknya itu adalah sosok pria yang memiliki ketampanan yang tak terbantahkan.     

Dengan buru-buru, Eliza berlari ke arah Martin dan langsung memberikan sebuah pelukan dari arah belakang. "Biarkan seperti ini dulu, Martin. Aku ingin memelukmu sebentar saja." Terdengar sebuah kalimat memohon yang diucapkan Eliza kepadanya.     

Walaupun ingin menolaknya, Martin justru menikmati kedekatan Eliza di belakang tubuhnya. Ia merasakan sebuah debaran aneh yang tiba-tiba bersarang di dalam dadanya. Ia pun membalikkan badannya, dan membuat dirinya langsung berhadapan dengan Eliza.     

"Mengapa kamu tak menjawab pertanyaanku tadi? Apa yang sedang kamu tutupi dariku?" Lagi-lagi Eliza harus melemparkan pertanyaan itu untuk mendapatkan sebuah jawaban yang bisa memuaskan hatinya.     

"Apakah aku harus menjawabnya?" Bukannya memberikan sebuah jawaban, Martin justru melemparkan pertanyaan balasan pada Eliza. Sayangnya wanita itu hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah sedikit takut karena suara Martin yang terdengar sangat dingin dan juga mengerikan.     

Tanpa mengatakan apapun pada Eliza, pria itu justru berbisik pelan di telinganya. "Aku harus memberikan hukuman pada seorang wanita yang sudah mencuri ciuman pertamaku." Dengan sedikit gerakan saja, Martin langsung mendorong Eliza hingga bersandar di sebuah dinding di dapur.     

Tak tahu dapat keberanian dari mana, Martin langsung saja mencium Eliza dengan sedikit kasar sembari meremas dada wanita itu. Meskipun baru pertama kali berciuman dengan seorang wanita, Martin tentunya memiliki naluri sebagai seorang lelaki. Tentu ia langsung bisa melakukan sebuah gerakan yang bisa membuat wanita itu memejamkan matanya sembari mengeluarkan suara desahan yang terdengar sangat khas dan juga menggetarkan hati.     

"Ahhh ... lakukan dengan lembut, Martin!" protes wanita itu antara sadar dan juga tak sadar. Eliza seolah benar-benar lupa daratan, ia hanya pasrah saat Martin memperlakukannya dengan kasar. Meskipun sedikit kasar, ia sangat senang dengan perlakuan pria itu kepadanya.     

Pasangan itu mulai tenggelam dalam sentuhan sensual yang mulai membangkitkan gairah di dalam dirinya. Mereka bukanlah anak-anak yang sedang bermain-main rumah-rumahan. Martin dan Eliza sama-sama orang dewasa yang pasti akan bergairah dengan segala bentuk rangsangan yang memunculkan hasrat untuk bercinta.     

Belum juga mereka masuk ke dalam tahapan yang lebih dalam, tercium bau masakan yang sudah gosong. Secepat kilat, Martin langsung melepaskan Eliza dan mematikan kompornya. Dia terlihat kecewa saat memandang masakannya sudah tak mungkin bisa dimakannya lagi.     

"Kita gagal untuk makan siang bersama," kesal Martin dalam wajah penuh kekecewaan. Ia merasa sangat bodoh telah membuat makanan yang sudah dimasaknya tadi menjadi hangus. Padahal itu adalah bahan makanan terakhir yang tersimpan di apartemen itu.     

"Aku tak perlu makanan itu asal aku bersamamu, Martin," sahut Eliza cukup menyakinkan. Ia sangat yakin jika tanpa makanan itu, mereka tidak akan sampai mati karena kelaparan.     

Mendengar jawaban dari Eliza, pria itu kembali menarik tubuh sexy wanita itu ke dalam dekapannya. Kemudian ia mengangkat Eliza kembali masuk ke dalam kamar yang tadi dipakainya. Tanpa basa-basi lagi, Martin membaringkan tubuh wanita yang sudah terlihat pasrah terhadap dirinya. Bahkan Eliza sudah mempercayakan seluruh hidupnya pada pria yang sudah menindih tubuhnya.     

"Apakah kita akan melakukan hubungan itu sekarang?" tanya Eliza dalam wajah penuh keraguan.     

"Hubungan apa maksudmu, Eliza?" Martin berpura-pura bodoh dan tak mengerti dengan permintaan wanita yang sudah terbaring di bawahnya.     

Dalam mata terpejam, Eliza bisa merasakan jika tangan Martin baru saja menerobos masuk di balik dress yang masih melekat pada tubuhnya. Seolah sedang mencari-cari sesuatu, jemari Martin terus saja menyusuri sebuah titik yang berada di antara kedua pahanya.     

"Mengapa kamu sudah sangat basah? Apakah kamu sudah membayangkan yang indah-indah?" ledek Martin sembari memainkan jarinya di sebuah sudut yang mampu memberikan sebuah kenikmatan dunia yang tak terbantahkan.     

"Aku wanita normal, Martin. Tentu saja aku akan sangat basah saat kamu memainkan bibirmu sembari meremas dadaku. Belum lagi, sejak tadi kamu terus memainkan jarimu di sebuah titik yang akan membuat kita semakin tenggelam dalam surga dunia," jawab Eliza dengan sebuah desahan yang mengiringi jawabannya. Saat tiba-tiba saja, jari Martin menerobos masuk semakin dalam. "Hentikan! Jangan permainkan aku, Martin," protes Eliza saat pria itu hanya bermain-main saja di dalam tubuhnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.