Bos Mafia Playboy

Tak Bisa Hidup Tanpa Martin



Tak Bisa Hidup Tanpa Martin

0Sebenarnya ... Imelda tak mendengar dengan jelas pembicaraan kedua pria yang berbincang setengah berbisik. Ia hanya mendengar, saat Brian mengatakan akan menyelinap ke suatu tempat.     
0

"Ke mana kamu akan menyelinap masuk, Brian?" Tanpa bermain teka-teki lagi, Imelda langsung saja melontarkan pertanyaan itu kepada suaminya. Ia tak mau berbelit-belit dan terlalu drama di hadapan dua pria itu.     

"Sayang!" Brian bangkit dari kursi di sebelah Marco lalu menghampiri istrinya yang masih berdiri di dekat pintu. "Aku ingin menemui Papa di kantornya. Marco berkata jika penjagaan di sana sangat ketat, jadi aku berpikir untuk menyelinap masuk," kilah Brian Prayoga pada wanita yang sejak tadi trus menatapnya.     

Imelda langsung mempercayai ucapan suaminya, ia sama sekali tak mencurigai atau berpikir yang tidak-tidak pada Brian. Dengan sedikit berpikir, wanita itu pun memiliki sebuah ide untuk masuk ke kantor Davin Mahendra.     

"Aku akan membantumu masuk menemui Papa, Brian. Kamu juga tahu sendiri jika aku memiliki banyak kenalan di markas badan intelijen itu." Imelda cukup menyakinkan mengatakan hal itu pada suaminya. Dia berpikir jika Brian benar-benar akan mendatangi kantor ayahnya.     

"Bagaimana jika kita berpura-pura untuk mengunjungi Om Jeffrey? Nanti kamu bisa bertemu papa selama aku mengobrol dengan atasannya. Aku sangat malas jika harus beralasan mengunjungi papaku sendiri ke kantornya," lanjut Imelda sangat bersemangat. Ia masih tak menyadari jika Brian sedang melakukan sedikit kebohongan untuk menutupi keberadaan Davin Mahendra.     

Marco menjadi semakin tak nyaman berada di antara mereka berdua. Ia berniat untuk segera meninggalkan rumah itu sebelum kebohongan mereka terbongkar. Tentunya, Marco sangat takut jika melihat Imelda murka karena merasa dipermainkan oleh suaminya sendiri.     

"Lebih baik aku kembali ke kantor sekarang. Selamat menikmati kebersamaan kalian." Marco mengambil sebuah koper kecil yang sudah disiapkan Imelda sebelumnya. Pria itu pun beranjak keluar ke tempat di mana mobilnya berada.     

"Tunggu, Marco!" Brian berlari ke arah pria itu dengan buru-buru. Ia pun berdiri di sebelahnya dengan tatapan penuh arti. "Tolong suruh Martin datang menemuiku secepatnya. Dia bisa mengatur pertemuan di mana saja," ucap Brian pada adik dari pria yang bekerja untuk ayahnya itu.     

Pria muda itu menganggukkan kepalanya sembari memandang Brian penuh arti. Marco bisa melihat wajah kekhawatiran yang sedang ditunjukkan oleh putra tunggal dari Adi Prayoga itu.     

Setelah Marco pergi, Brian kembali ke tempat di mana Imelda berada. Tak ingin berlama-lama berada di luar, ia pun mengajak Imelda untuk kembali masuk ke dalam.     

"Apa yang kamu katakan pada Marco?" tanya seorang wanita yang sedang mengandung pewaris keluarga Mahendra dan juga Prayoga. Imelda sangat penasaran pada pertanyaan suaminya pada anak buah ayahnya itu.     

"Aku hanya meminta Marco untuk menghubungi Martin secepatnya. Sepertinya kita harus membicarakan banyak hal pada pria itu," jawab Brian dengan suara yang cukup lembut dan juga sangat menyakinkan.     

Imelda lalu tersenyum mendengar jawaban suaminya. Hal itu membuat Brian sangat heran. Ia merasa jika jawaban yang diberikannya sama sekali tidak lucu. Namun ... mengapa Imelda bisa tersenyum seperti itu? Ia pun sangat penasaran akan respon dari istrinya itu.     

"Mungkinkah ada yang lucu dari jawabanku, Sayang?" Brian mencoba untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya pada Imelda.     

Wanita itu kembali tersenyum lebar memandang suaminya. Imelda merasa jika Brian cukup dekat dengan Martin. Meskipun mereka berdua mencintai orang yang sama, kedua pria itu tak pernah terlibat pertengkaran serius karena hal itu.     

"Sepertinya kamu tak bisa hidup tanpa Martin?" ledek Imelda pada seorang pria yang berdiri di sebelahnya. Wanita itu malah senyum-senyum sendiri penuh arti. Seolah ia sedang menertawakan hubungan Brian dan juga Imelda yang cukup dekat satu sama lain.     

Brian akhirnya mengerti maksud dari senyuman Imelda terhadapnya. Tak bisa dipungkiri ... sejak kehadiran Martin di dalam kehidupannya, pria itu yang selalu membereskan semua kekacauan yang dilakukannya. Bahkan Martin akan melakukan segalanya agar Brian tidak terlibat dalam masalah sekecil apapun. Selain Martin adalah orang kepercayaan Adi Prayoga, ia juga sudah seperti anggota keluarga bagi keluarga Prayoga.     

"Tak bisa dipungkiri jika aku sangat bergantung padanya. Baik buruknya diriku, Martin sangat mengetahuinya," jelas Brian pada seorang wanita yang sejak tadi terus menatapnya.     

"Aku bisa melihatnya, Brian. Bagaimana kalau nanti sore kita makan malam bersama Martin?" ajak Imelda pada suaminya. "Aku juga ingin jalan-jalan sebentar di luar, Brian. Rasanya sangat bosan hanya berada di rumah saja," rayu wanita itu dengan suara manja yang tentunya langsung membuat Brian takluk pada istrinya.     

Sebagai seorang suami, Brian tak mungkin bisa menolak keinginan istrinya itu. Apapun yang membuat Imelda bahagia pasti akan dilakukannya selama tidak membahayakan keselamatan calon anak dan juga wanita yang dicintainya itu. Terkadang perasaan cintanya yang dalam justru membuat pria itu menjadi sangat lemah di hadapan istrinya sendiri.     

"Istirahatlah dulu, Sayang. Aku akan mencoba menghubungi sendiri saja. Mungkin saja Marco sibuk dan lupa akan pesanku. Selain itu, aku juga akan menanyakan keberadaan Kak Vincent padanya," terang Brian pada istrinya. Dia sangat tahu jika Imelda sangat lelah dan wajah mulai sedikit pucat.     

Dengan perlahan, Brian menarik istrinya dan membawanya ke kamar. Ia ingin memastikan jika Imelda akan istirahat dengan benar. Setelah wanita itu membaringkan tubuhnya, Brian lalu memberikan sebuah belaian lembut penuh cinta.     

"Jika sudah selesai menghubungi Martin, segera temani aku berbaring di sini, Brian. Aku tak ingin kamu terlalu jauh dariku," ucap Imelda dengan kesadarannya yang tinggal setengahnya saja.     

"Baiklah, Sayang." Brian pun keluar dari kamar itu dan duduk di sebuah kursi yang berada tak jauh dari kamarnya. Ia segera menghubungi orang kepercayaan dari Adi Prayoga itu.     

Setelah mencoba menghubungi Martin beberapa kali, akhirnya pria itu menerima panggilannya. Terdengar nafas Martin sedang memburu seolah baru selesai dari berolahraga.     

"Ada apa dengan suaramu, Martin?" tanya Brian sembari memegang ponsel miliknya ke dekat telinga.     

"Mengganggu? Apa yang sedang kamu lakukan sebenarnya? Jangan bilang kamu sedang melepaskan keperjakaan pada wanita mabuk yang kamu bawa ke apartemen Marco," ledek Brian pada seorang pria di dalam ponselnya.     

"Nanti sore, makanlah bersama kami. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan padamu. Aku akan mengirimkan lokasinya jika sudah di sana," ucap Brian lagi pada pria di dalam ponselnya.     

"Silahkan dilanjutkan permainan panasmu. Aku tak ingin mengganggu malam pertamamu bersama wanita misterius itu." Setelah menggoda seseorang yang sedang berbicara di dalam panggilan telepon, Brian pun mematikan panggilan itu. Ia tak ingin mengganggu seorang pria yang ingin mencoba malam pertamanya. Dalam hati, Brian terkekeh membayangkan Martin bersama seorang wanita.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.