Bos Mafia Playboy

Ancaman Eliza



Ancaman Eliza

0Martin baru sadar jika ia melupakan untuk berpura-pura menanyakan alamat Eliza. Secepat kilat, ia memutar otaknya. Pria itu tak ingin ketahuan, jika selama ini ia sudah menyelidiki tentang Eliza. Akan ada kesalahpahaman yang besar jika wanita itu mengetahui perbuatannya.     
0

"Johnny Hartanto pertama memberikan alamat rumah ini padaku." Sekuat hati, Martin mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan sesuatu yang menimbulkan kecurigaan pada wanita di sampingnya. Padahal ia tak terlalu yakin jika kakak laki-laki dari Eliza itu pernah memberikan alamat rumahnya.     

"Ohhh ... aku melupakan jika kamu teman dekat kakakku." Akhirnya Eliza percaya dengan ucapan pria di sebelahnya. Padahal awalnya ia sempat mencurigai Martin. Wanita itu lalu membuka pintu mobil dan segera turun. Namun tiba-tiba saja, Eliza kembali duduk di sebelah Martin.     

"Jika sampai tak menepati janjimu, kamu akan melihatku tak bernyawa, Martin," ancam Eliza dalam wajah serius dan tatapan tajam yang sangat dingin. Tanpa keraguan sedikit pun, Eliza mengatakan hal itu dengan sangat enteng. Seolah tak ada beban di dalam hatinya.     

Martin tak langsung memahami ucapan wanita di sebelahnya itu. Dia merasa tak pernah menjanjikan apapun pada Eliza. Untuk sejenak, ia memikirkan perkataan wanita yang terlihat sangat serius kepadanya itu. Namun pria itu tetap saja tak mengingat apapun.     

"Janji? Janji yang mana lagi, Eliza?" Martin benar-benar bingung dengan sebuah janji yang diungkit oleh wanita di sampingnya.     

Wanita itu tersenyum kecut memandang ekspresi bingung yang terlukis jelas di wajah Martin. Kecewa? Ya ... Eliza tentunya sangat kecewa. Baru beberapa menit saja, Martin sudah melupakan ucapannya. Bagaimana jika seminggu, sebulan, setahun bahkan puluhan tahun lagi? Ia yakin jika Martin sudah tak mengenali dirinya.     

"Setelah menyelesaikan pekerjaanmu kamu berjanji akan segera menemuiku .... " Eliza menatap tajam wajah pria yang duduk di kursi kemudi sembari terus memandangnya.     

"Aku akan menemuimu nanti. Masuklah dulu!" suruh Martin pada Eliza.     

Setelah Eliza masuk, pria itu segera memeriksa ponselnya. Martin ingin memeriksa lokasi yang dikirimkan oleh Brian padanya. Ia sengaja ingin datang lebih dulu untuk memeriksa dan memastikan lokasi itu aman untuk mereka berdua.     

Dengan kecepatan penuh, mobil itu melaju ke sebuah restoran yang berada di pinggiran kota. Suasana asri yang tersaji di tempat itu membuat Imelda dan Brian sengaja memilihnya. Di pinggir restoran itu, tertata dengan rapi berbagai macam bunga yang berwarna-warni. Dengan banyak pohon stroberi yang siap panen mengelilingi lokasi itu.     

"Lokasi yang cukup nyaman dan tidak terlalu ramai," gumam Martin sembari berjalan masuk dan langsung mendapatkan sambutan hangat dari pelayanan di restoran itu.     

"Selamat datang, Pak. Untuk reservasi berapa orang?" tanya seorang wanita yang berseragam rapi khas restoran itu.     

"Saya mau memesan meja untuk tiga orang," ucap Martin pada seorang wanita yang berdiri di meja reservasi.     

Wanita itu langsung mengantarkan Martin ke sebuah meja yang menghadap ke taman bunga yang berada di samping restoran. Sembari menunggu Brian dan juga Imelda, Martin berjalan-jalan mengelilingi tempat itu.     

Tak berapa lama, terlihat Brian dan Imelda baru saja turun dari mobilnya. Pasangan itu langsung masuk dan melihat Martin yang sedang berdiri di sebelah meja yang sudah dipesannya.     

"Apakah kamu sudah lama, Martin?" tanya Brian yang berdiri di sebelah istrinya.     

"Baru beberapa menit saja. Mengapa mengajak bertemu di tempat sejauh ini?" Martin tentunya sangat penasaran dengan alasan pasangan itu, mengajaknya ke sebuah restoran yang terletak sangat jauh dari tempat tinggal mereka.     

Imelda langsung duduk disebuah kursi yang sudah disiapkan untuk mereka. Wanita itu terlihat sangat menikmati suasana dan juga pemandangan disekitar restoran itu. Ia pun tersenyum, saat melihat warna-warni berbagai macam bunga yang berkembang dengan sangat indah. Di sekelilingnya, banyak tanaman strawberry yang siap panen.     

"Bolehkah aku memetik buah strawberry itu, Brian?" tanya Imelda dengan wajah berbinar. Rasanya ia sudah tak sabar untuk segera memetik buah strawberry yang sangat menarik hatinya.     

"Setelah makan, aku akan menemanimu memetiknya," sahut Brian pada wanita cantik yang terkesan sudah tidak sabar untuk memanen buah berwarna merah yang kaya akan vitamin c.     

Mereka bertiga akhirnya memesan beberapa hidangan untuk menu makan siangnya. Seperti biasa, Imelda tak memesan banyak makanan. Ia lebih suka meminum jus buah segar daripada harus menyantap makanan berat.     

"Sepertinya kamu jarang sekali menyantap makanan berat, Imelda," tegur Martin pada seorang wanita yang menjadi adik dari sahabatnya itu.     

"Kamu terlalu perhatian denganku, Martin," ledek Imelda pada pria yang tiba-tiba menunjukkan wajah datar dan juga sangat dingin. "Sejak kehamilanku, aku kesulitan untuk menerima makanan yang bisanya kumakan. Aku jadi suka mengkonsumsi buah-buahan segar, entah dalam bentuk potongan atau jus," lanjut Imelda sembari menikmati beberapa buah yang sudah tersaji di atas meja.     

Martin hanya menganggukkan kepalanya tanpa memberikan respon apapun. Ia tak ingin salah berucap dan membuat wanita itu kesal ataupun tidak senang.     

"Siapa wanita yang bersamamu tadi, Martin?" Brian melontarkan pertanyaan itu sembari tersenyum penuh arti. Dia sangat tahu jika Martin pastinya akan sangat malu dengan hak itu.     

"Tidak bisakah kita tak membahas hal itu? Kita datang ke sini untuk membicarakan tentang urusan kita." Martin mulai sedikit kesal saat Brian menanyakan hal itu padanya. Bukan tanpa alasan, ia seolah telah terjebak dalam hubungannya dengan Eliza. Dia tak menyangka jika wanita itu justru akan benar-benar terpikat oleh dirinya.     

Brian langsung mengerti dengan ucapan Martin kepadanya. Martin sama sekali tak ingin membahas seorang wanita yang tadi sedang bersamanya. Entah itu karena malu atau sedang menyembunyikan sesuatu. Brian mencoba untuk mempercayai seorang pria yang sudah cukup lama bekerja dengan ayahnya, Adi Prayoga.     

"Baiklah," sahut Brian. Ia pun langsung melemparkan sebuah tatapan penuh arti pada Martin sebelum menanyakan sesuatu kepadanya.     

"Tadi pagi, Om Jeffrey mendatangi kediaman Prayoga. Menurutmu, apa motif di balik kedatangannya itu?" tanya Brian dalam wajah yang sangat serius.     

Pria itu terlihat sedang berpikir untuk sejenak. Martin tak ingin memberikan sebuah jawaban tanpa dasar. Ia harus memikirkan dengan benar, jawaban apa yang akan diberikannya pada pasangan di depannya itu.     

"Aku pikir ... ada sesuatu yang menjadi tujuannya mendatangi kediaman Davin. Tidakkah kalian mencurigai seseorang yang bisa berada di belakangnya?" Martin terlihat cukup ragu untuk mengatakan hal itu pada Brian dan juga istrinya.     

Imelda terlihat memikirkan ucapan Martin, ia juga sempat mencurigai kedatangan Jeffrey di rumahnya.     

"Tunggu!" Imelda tiba-tiba memandang ke arah ya berada lumayan jauh dari tempat duduknya. "Bukankah itu Mama Natasya? Siapa pria yang duduk di sebelahnya itu?" seru Imelda sembari menunjukkan keberadaan ibu mertuanya bersama seorang pria yang tidak terlihat wajahnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.