Bos Mafia Playboy

Martin Tak Sebodoh Itu



Martin Tak Sebodoh Itu

0Dalam sekejap saja, panggilan yang tadi terhubung dengan Martin telah terputus. Brian pun memutar balik mobilnya ke arah yang berlawanan. Dia tak ingin terjadi apa-apa dengan pria yang selalu siap mengorbankan nyawa bagi keluarganya itu.     
0

"Jangan sampai Martin kenapa-kenapa, Brian! Aku sangat takut." Terdengar suara bergetar dari Imelda yang membuat Brian semakin mencemaskan pria itu.     

"Tenanglah, Sayang. Kuharap Martin baik-baik saja. Dia tak akan pernah membahayakan dirinya sendiri," hibur Brian pada wanita yang duduk di sampingnya. Ia mencoba menenangkan hati istrinya, sedangkan kekhawatiran di dalam hatinya ... melebihi kecemasan Imelda terhadap Martin.     

Sampai di lokasi tabrakan itu, Brian langsung berlari ke arah beberapa mobil yang terlihat sudah hancur. Terlihat sangat jelas, mobil Martin sudah tak berbentuk lagi. Dalam sekejap saja, air mata Brian mengalir tanpa seijinnya. Ia berlari ke sebuah mobil ambulans yang masih berada di sana.     

"Bagaimana kondisi korban kecelakaan ini?" tanya Brian pada seorang petugas yang berdiri di sebelah mobil ambulans.     

"Apakah Anda keluarganya?" tanya petugas itu yang langsung mendapatkan anggukkan dari Brian. "Seluruh korban kecelakaan di bawa ke rumah sakit terdekat, dua di antaranya tewas seketika dalam kecelakaan beruntun ini," jawabnya.     

Sebuah jawaban dari petugas ambulans itu langsung membuat Brian lemas seketika. Ia tak mampu membayangkan apalagi memikirkan kondisi Martin saat itu. Jelas-jelas mobil milik Martin yang paling hancur di antara mobil lainnya. Rasanya ia tak sanggup lagi untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Jika Brian tak mengingat keberadaan Imelda yang masih di dalam mobil, mungkin saja ia akan membiarkan dirinya tersungkur di aspal jalanan.     

Pria itu kembali berlari ke arah mobilnya. Begitu masuk ke dalam dan duduk di sebelah Imelda ... Brian terdiam tanpa mampu mengatakan apapun pada istrinya.     

"Bagaimana keadaan Martin, Brian?" tanya Imelda dalam wajah yang sudah tidak sabar. Dia juga tidak berharap hal buruk terjadi pada sahabat dari kakaknya itu.     

"Aku juga tidak tahu, Sayang. Semua korban kecelakaan di bawa ke rumah sakit terdekat. Dua di antara mereka sudah dinyatakan tewas seketika. Aku takut jika Martin .... " Brian tak sanggup lagi menyelesaikan perkataannya. Ia terlihat sangat hancur saat melihat mobil Martin yang sudah tak berbentuk.     

Imelda sangat mengerti dengan kesedihan Brian. Bagaimanapun juga, Martin sudah seperti seorang keluarga bagi Brian. Wanita itu pun berinisiatif untuk menyetir mobil itu.     

"Kita bertukar posisi saja, Brian. Biar aku yang membawa mobilnya sampai ke rumah sakit terdekat," bujuk Imelda pada suaminya.     

"Tapi, Sayang .... " Belum juga Brian merespon perkataan istrinya, Imelda sudah keluar dari mobil untuk bertukar posisi dengannya.     

Wanita itu sedikit memaksa Brian untuk berpindah tempat ke kursi di sebelah kemudi. Imelda memang sangat mencemaskan keadaan Martin. Namun ia bisa mengendalikan dirinya. Bukan tanpa alasan, Imelda sudah terbiasa menghadapi pasien yang berada antara hidup dan mati. Rasa ketakutan didalam dirinya harus dikikis habis tak bersisa. Ia selalu berkeyakinan untuk bisa menyelamatkan pasiennya.     

Sedangkan untuk Brian, ia begitu gelisah dalam wajah yang terlihat sangat sedih. Tentunya ia berpikir hal yang terburuk yang bisa terjadi pada Martin. Meskipun di dalam hati, ia berharap jika Martin dapat selamat. Brian tak peduli, bagaimana kondisi tubuh pria itu ... asal Martin bisa selamat dan tak kehilangan nyawanya itu sudah lebih dari cukup baginya.     

"Percayalah padaku, Brian! Aku bisa mencapai rumah sakit jauh lebih cepat daripada kamu." Tanpa menunggu apapun lagi, Imelda langsung tancap gas dengan kecepatan penuh menuju ke rumah sakit terdekat.     

Wanita itu bisa menerobos padatnya jalanan dan membuat mereka berdua sampai di rumah sakit dengan lebih cepat. Begitu keluar dari mobil, Brian dan Imelda langsung berlari ke pusat informasi rumah sakit. Mereka menanyakan keberadaan pria yang baru beberapa saat menyelamatkan nyawa keduanya.     

"Di mana pasien korban kecelakaan yang baru saja dibawa ke sini?" tanya Brian pada seorang pria petugas yang berjaga di pusat informasi.     

"Apakah Anda keluarga pasien? Kami membutuhkan beberapa data untuk prosedur operasi," balas pria itu.     

Imelda langsung mendekati meja pusat informasi lalu berdiri di sebelah Brian. "Aku dokter pribadi atas nama pasien Martin," ucap wanita yang tiba-tiba berada di sebelah suaminya.     

Pria itu langsung mencari data pasien dalam insiden kecelakaan beruntun itu. "Pasien atas nama Martin sedang berada di ruang operasi, keluarga sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," jelas pria itu dalam wajah yang ikut panik melihat kepanikan mereka berdua.     

Brian dan juga Imelda langsung mencari keberadaan ruang operasi. Di ujung lorong panjang yang ramai dengan orang-orang berlalu lalang, terlihat lampu ruangan operasi yang masih menyala. Hal itu menandakan tindakan operasi sedang dilakukan saat itu juga.     

"Apakah kondisi Martin separah itu? Mengapa dia harus mendapatkan tindakan langsung?" Sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Brian mengisyaratkan jika Brian itu sudah sangat panik. Dia benar-benar tak bisa membayangkan apapun yang bisa membahayakan Martin.     

"Tenanglah, Brian! Bisa saja itu hanyalah operasi kecil. Tak perlu mengkhawatirkan Martin. Dia pasti akan baik-baik saja," hibur Imelda dengan hati yang tak kalah khawatir dari suami. Ia sengaja memperlihatkan wajah tenang di dalam dirinya agar Brian tak sempat panik.     

Tanpa berpikir panjang, Imelda mengatakan hal itu. Ia hanya ingin membuat suaminya lebih tenang. Rasanya ia tak tahan melihat Brian yang sangat panik dalam kegelisahan mengusik dirinya.     

Setelah menunggu beberapa saat di ruang operasi, terlihat Adi Prayoga berjalan ke arah pasangan suami istri itu. Pria itu menatap dingin pada anak dan juga menantu kesayangannya yang tampak cemas.     

"Bagaimana keadaan Martin? Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi padanya? Selama ini, Martin tak pernah melakukan tindakan bodoh seperti ini." Adi Prayoga sempat terkejut saat pihak rumah sakit menghubunginya. Di dalam ponsel Martin, nomor pria tua itu menjadi prioritas panggilan. Ditambah lagi, panggilan terbanyak yang dilakukan oleh Martin adalah dengan Adi Prayoga.     

"Ini adalah salahku, Pa," sesal Brian dalam wajah yang menyedihkan. Bahkan ia telah melupakan jika ia sedang marah dengan ayahnya itu.     

"Ada sebuah mobil yang tiba-tiba menabrak mobil kami dari belakang. Entah sejak kapan, Martin sudah berada di tak jauh dari kami. Kemudian ia datang dan langsung menyelamatkan kami." Imelda mencoba menjelaskan kejadian yang baru saja menimpa mereka semua.     

Adi Prayoga sudah menduga hal itu. Ia berpikir jika Martin tak mungkin terluka jika bukan untuk menyelamatkan Brian. Hal itu sering terjadi setiap mereka menjalankan transaksi bersama. Terkadang, Adi Prayoga juga sangat heran, mengapa pria itu rela mempertaruhkan nyawanya untuk anaknya, Brian Prayoga?     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.