Bos Mafia Playboy

Wanita Di Ponsel Martin



Wanita Di Ponsel Martin

0Begitu membuka pintu kamarnya, Brian melihat Martin sudah berdiri di depan pintu. "Masuklah!" Hanya kalimat itu yang langsung terlontar dari mulut seorang Brian Prayoga. Dia tak menyangka jika orang kepercayaan dari ayahnya itu bisa datang sangat cepat.     
0

Setelah dipersilahkan masuk, Martin langsung melewati Brian yang masih berdiri di tempatnya. Sebuah pemandangan yang cukup mengusik hati, di saat melihat Imelda begitu sedih dan terlihat sangat terluka. "Apa yang sudah kamu lakukan pada Imelda?" teriak Martin dengan sangat keras. "Aku akan menghancurkanmu jika menyakiti Imelda!" ancamnya dalam wajah yang sangat geram.     

Suara helaan nafas terdengar saat Brian mulai menghampiri Martin yang sejak tadi terus memandangi istrinya. "Sepertinya ... aku memang pantas disalahkan atas kesalahanku yang menjadikan istriku begitu terluka," jelasnya dengan cukup menyakinkan.     

"Brengsek! Jangan pernah berpikir untuk menyakiti, Imelda," teriak Martin dengan wajah geram. Tanpa diduga, ia langsung melayangkan sebuah pukulan ke wajah Brian. Martin tak bisa mengendalikan diri karena melihat adik dari sahabatnya begitu tak berdaya dengan isak tangis yang cukup dalam. Bahkan, Martin telah melupakan jika Brian masih dalam tahap pemulihan pasca operasi yang sudah dilakukannya. Bukannya tanpa alasan, Martin melakukan hal itu karena janjinya pada Vincent. Dia berjanji akan melindungi Imelda dari ancaman bahaya apapun, termasuk suaminya sendiri. Pada saat mengatakan hal itu, Vincent berpikir jika dirinya adalah orang yang tepat untuk memastikan keselamatan adiknya. Terlebih, Martin lebih sering berada di sekitar Imelda dan Brian.     

Imelda langsung bangkit dari kursinya dan berlari ke arah Brian. Tanpa mempedulikan apapun juga, ia langsung memeluk Brian yang sudah tersungkur di lantai kamar hotel itu. "Hentikan, Martin! Brian sama sekali tak menyakiti aku. Aku menangis karena menyesali kebodohanku sendiri," tegasnya sambil mencoba membantu suaminya untuk bangun.     

"Tidak apa-apa, Sayang. Semua ini salahku juga," sahut Brian dengan sebuah senyuman hangat, meskipun pipinya terlihat sedikit memar karena pukulan Martin kepadanya. Dia sama sekali tak marah pada orang kepercayaan ayahnya itu. Brian sama sekali tak memiliki dendam pada pria di depannya itu.     

Wanita itu pun membelai pipi Brian yang terlihat memar karena pukulan Vincent baru saja. Imelda merasa sangat bersalah pada suaminya itu. "Jangan pernah kamu berpikir untuk menyakiti suamiku lagi, Martin!" tegasnya pada pria yang terlihat terdiam dengan wajah sangat menyesal.     

Martin memandang wajah pasangan suami istri itu secara bergantian. Dengan wajah sangat menyesal, ia pun mengungkapkan rasa bersalah di dalam hatinya. "Maafkan aku, Brian. Aku sudah salah paham terhadap dirimu. Tak seharusnya aku langsung memukulmu tanpa mengetahui kebenarannya. Bukan tanpa alasan aku melakukan hal itu kepadamu. Semua itu semata-mata karena aku sudah berjanji pada Vincent. Aku sudah berjanji untuk melindungi Imelda di manapun dan kapanpun dia berada," jelas Martin dengan wajah bersalah karena bertindak tanpa berpikir lebih dulu.     

Mendengar penjelasan dari pria tinggi besar yang terlihat cukup menawan, Brian langsung melemparkan senyuman hangat padanya. "Jangan merasa bersalah Martin, aku mengerti alasanmu melakukan hal itu. Mungkin saja aku akan melakukan hal yang sama juga saat melihat Imelda terlalu sedih." Brian sama sekali tak menyalahkan Martin. Dia bisa mengerti alasan di balik pemukulan terhadap dirinya. "Martin! Ikutlah makan bersama kami. Kebetulan kami baru saja memesan makanan yang terlalu banyak," ajaknya sambil tersenyum penuh arti.     

"Terima kasih, Brian. Aku sudah makan sebelum berangkat ke tempat ini. Silahkan nikmati makanan kalian, aku akan menunggu di lobby saja." Martin pun meninggalkan kamar itu dengan wajah yang penuh penyesalan. Dia merasa telah kehilangan akal sehatnya, saat melihat air mata Imelda yang sudah membasahi wajahnya. Ingin rasanya ia menertawakan dirinya sendiri. Martin tak menyangka jika akan begitu kalap pada anak dari bos-nya itu. Untung saja, Brian sama sekali tak memiliki dendam terhadap dirinya. Dengan perasaan konyol, Martin menarik rambutnya sendiri sambil berjalan menuju lobby hotel mewah itu.     

Pasangan itu pun akhirnya duduk bersama untuk menikmati sarapan yang sudah tersaji di atas meja. Imelda terus saja memandangi suaminya yang sedang mengunyah beberapa makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Ada sebuah penyesalan besar di dalam hati Imelda setiap kali melihat wajah memar Brian karena pukulan dari Martin. "Brian ... maafkan aku. Jika bukan karena aku yang menangis berlebihan, Martin tak mungkin sampai memukulmu," ucapnya dengan suara yang cukup tulus dan juga menyakinkan.     

"Sudahlah, Sayang. Aku sangat mengerti apa yang dilakukan oleh Martin, kamu sama sekali tak bersalah," balas Brian sambil memberikan sebuah kecupan di kening istrinya. "Ayo buruan habiskan makanan ini, tak enak jika Martin terlalu lama menunggu kita," tambahnya sambil menatap Imelda dengan penuh cinta.     

Pasangan itu segera menyelesaikan sarapannya lalu meninggalkan hotel setelah Brian mengurus segala sesuatunya. Dengan genggaman yang cukup erat, ia menggandeng Imelda dan berjalan menuju lobby hotel. Terlihat Martin sedang duduk seorang diri di ruang tunggu sebelah lobby. Mereka pun langsung menghampirinya. "Ayo kita berangkat ke klinik Dokter Kevin sekarang," ajak Brian pada seorang pria yang terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya.     

Terlihat ekspresi terkejut di wajah Martin. Dia tak melihat kedatangan mereka berdua. "Astaga! Kalian mengejutkan aku saja," ucapnya refleks. "Sejak kapan kalian berdiri di sini?" tanyanya sambil bangkit dari kursi di ruang tunggu.     

"Sejak kamu menatap gambar seorang wanita di layar ponselmu," ledek Brian sambil senyum-senyum memandangi pria di depannya.     

Martin sedikit terkejut mendengar Brian melihat gambar yang baru saja dilihatnya. "Itu bukan apa-apa. Ayo kita berangkat." Dia pun langsung melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana mobilnya telah terparkir. Pria itu terlihat sedikit pucat saat Brian menyebutkan seorang wanita di dalam layar ponselnya.     

Setelah mereka masuk di dalam mobil, Martin langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia tak ingin terlalu banyak membuang waktu. Baginya, lebih cepat itu lebih baik. Tak berapa lama, mereka pun tiba di klinik Dokter Kevin. Terlihat Kevin sudah berdiri di depan klinik untuk menyambut kedatangan mereka.     

"Apa yang terjadi denganmu, Brian?" tanya Kevin pada suami dari Imelda itu.     

Brian hanya tersenyum kecil lalu masuk ke dalam klinik itu. "Tak ada yang serius," jawabnya dengan santai. Dia tak ingin terlalu menganggap serius luka di tubuhnya.     

"Apa yang kamu bilang tidak serius?" bentak Imelda sambil menatap tajam wajah suaminya. Wanita itu terlihat sangat cemas mengkhawatirkan keadaan suaminya. Namun, suaminya itu justru tak berpikir seperti itu juga.     

Kevin hanya senyum-senyum melihat perhatian Imelda yang sedikit berlebihan pada sahabatnya. Padahal dulunya, mereka selalu bertengkar untuk hal-hal kecil. Setelah menyiapkan segala peralatan medis, Kevin bermaksud untuk membersihkan luka Brian. Baru juga menyemprotkan alkohol di luka itu, Imelda sudah berjalan dengan cepat ke arahnya.     

"Hentikan, Dokter Kevin!" teriak Imelda pada pria yang mencoba untuk membersihkan luka Brian.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.