Bos Mafia Playboy

Sebuah Perjodohan



Sebuah Perjodohan

0"Kak Vincent! Suamiku ingin mengobrol denganmu," teriak Imelda pada kakak laki-laki kesayangannya. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya lalu menarik sang kakak untuk bergabung dengannya. Imelda sengaja untuk membuat Vincent lebih dekat dengan Laura dengan Brian yang dipakai sebagai umpan.     
0

Secara bersamaan, Brian dan Vincent langsung menatap wanita cantik yang sedang hamil muda itu. Dua pria itu terlalu bingung dengan tingkah konyol dari Imelda. Apalagi Brian langsung mengerutkan keningnya mendengar teriakkan sang istri. Namun tetap saja dia tak mungkin menyalahkan wanita yang sangat dicintainya itu. "Sayang, bukankah aku tak mengatakan apapun?" tanyanya dengan ekspresi sedikit kesal karena masuk dalam jebakan Imelda.     

"Apa yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Vincent dengan ketus. Pria itu masih saja belum mampu menerima Brian dengan sepenuh hati. Meskipun Imelda sudah berkali-kali menjelaskan pada dirinya. Dia malah merasa sangat terpaksa untuk bisa mengobrol santai dengan adik iparnya itu.     

Brian pun juga tak tahu harus menjawab seperti apa. "Aku ingin mengundang Kak Vincent makan malam di rumahku," cetus Brian tanpa berpikir. Dia terlalu bingung untuk memberikan jawaban pada pria di depannya itu.     

"Oh benar sekali. Aku dan Brian ingin mengundang kalian semua makan malam di rumahku." Imelda membenarkan ucapan suaminya, padahal mereka tak membicarakan hal itu sebelumnya. Dia pun bangkit dari duduknya lalu mendorong Vincent hingga terduduk tak jauh dari Laura. "Duduklah di sana dulu, Kak. Kita bisa membicarakan acara makan malam itu. Aku ingin duduk di dekat suamiku saja." Dia pun beralih duduk di dekat Brian yang sedang duduk bersama Kevin. Dalam hatinya, Imelda ingin tertawa melihat wajah terkejut yang ditunjukkan oleh Laura.     

Vincent menjadi salah tingkah berada di sebelah wanita yang diketahuinya pernah bekerja di rumah sakit di mana Imelda bekerja. Dia seolah telah kehilangan kata-katanya karena selama ini Vincent tak pernah dekat dengan wanita manapun. Terlukis begitu jelas kecanggungan di antara mereka. Walaupun dia mencoba sekuat hati untuk terlihat tenang, debaran di dalam dadanya justru mengkhianati dirinya. "Apa kamu seorang dokter bedah juga?" Pertanyaan itu yang dipilih oleh Vincent untuk memulai pembicaraannya dengan seorang wanita yang duduk di sebelahnya.     

"Bukan. Aku seorang dokter anestesi, kebetulan Dokter Imelda adalah senior di rumah sakit tempatku bekerja," jawab Laura dengan suara bergetar karena terlalu grogi bisa duduk bersama seorang pria tampan yang sudah menawan hatinya.     

Tak berapa lama, Kevin pamit untuk memeriksa beberapa pasiennya. Sedangkan Alex tiba-tiba saja mendapatkan panggilan darurat dari markas. Marco juga langsung beristirahat begitu Alex pergi. Sepertinya pria itu jadi mengantuk setelah mendapatkan suntikan dari Laura tadi.     

Melihat Marco yang mulai terlelap, Imelda bangkit dan memeriksa kondisinya. Pria itu benar-benar sudah berada dalam pengaruh obat tidur. "Dokter Laura! Apa kamu baru saja membius Marco?" tanya Imelda dengan wajah serius.     

Laura langsung panik dan berlari untuk melihat keadaan pria yang sudah terbaring di atas ranjang itu. "Aku hanya menyuntikkan obat tidur agar pasien bisa beristirahat. Sejak tadi dia ingin meninggalkan klinik ini. Hal itu juga yang membuat aku diam-diam menyuntikkan obat tidur padanya," jelasnya dengan cukup menyakinkan. Dia sangat yakin, pasien hanya butuh istirahat yang cukup dan juga perawatan yang tepat untuk memulihkan kondisinya.     

Dengan berjalan perlahan, Vincent akhirnya berdiri di sebelah Imelda. Memandangi pria cukup muda yang berbaring di atas ranjang klinik. "Apa kamu juga tahu kalau Marco adalah adik dari Martin?" tanyanya cukup penasaran.     

Sebelum Imelda memberikan sebuah jawaban, Laura lebih dahulu mengungkapkan hubungan mereka berdua. "Aku mendengar sendiri saat Marco memanggil Martin dengan sebutan 'kakak'. Kupikir mereka berdua pasti bersaudara, wajah mereka juga sangat mirip," terangnya sambil sesekali memandang wajah tampan Vincent.     

"Mirip itu bukan berarti bersaudara, seperti Kak Vincent dan suamiku. Mereka berdua sangat mirip tapi bukan saudara," sahut Imelda dengan cukup menyakinkan. Dia pun kembali duduk di samping suaminya dengan senyuman penuh arti. "Maafkan aku, Brian. Kamu jadi ikut terseret dalam rencana perjodohan mereka," ucapnya dengan cukup tulus.     

Brian memperlihatkan senyuman hangat di wajahnya lalu menyentuh tangan Imelda dengan sangat lembut. "Apapun itu ... asal kamu bahagia, Sayang," balasnya dengan tulus. Dia tahu jika istrinya itu ingin menjodohkan kakak laki-lakinya dengan teman dokternya itu. "Soal makan malam ... kita tak bisa membawa sembarangan orang memasuki villa. Jadi, aku pikir kita harus .... " Brian tak sempat meneruskan perkataannya.     

"Aku tahu. Aku juga sedang memikirkan sebuah tempat untuk makan malam bersama," sahut Imelda sambil mengisyaratkan suaminya agar tak meneruskan ucapannya tadi. Dia sangat tahu apa yang akan diucapkan oleh Brian. Wanita itu juga tak ingin terlalu merepotkan pria yang sudah memberinya cinta dan kasih sayang yang begitu besar. "Tidak bisakah kita makan malam di rumah Papa Adi saja?" tanyanya penuh harap.     

Brian terlihat berpikir sejenak lalu melirik ke arah kakak iparnya. "Papa pasti akan mengijinkannya. Hanya saja, Kak Vincent tak mungkin mau untuk mendatangi rumah Papa. Kamu tau sendiri, Sayang. Dia sangat membenci Papa Adi Prayoga tanpa alasan yang jelas," jawabnya sambil memandang ke arah istrinya.     

Imelda menjadi semakin bingung, memikirkan sebuah tempat yang nyaman dan juga aman untuk mereka makan malam. Dalam keheningan pasangan itu berpikir cukup lama hingga suara dering ponsel memecahkan segala keheningan yang tercipta di antara kelima insan itu.     

"Ada apa, Pa?" sahut Vincent sambil menempelkan ponsel di dekat telinganya. "Aku akan segera kesana secepatnya." Kalimat itulah yang diucapkan sebelum mengakhiri panggilan itu. Pria itu pun beranjak menghampiri Imelda yang sedang mendengarkan pembicaraannya via telepon. "Kamu juga tak membawa mobil, padahal aku harus segera ke markas sekarang," ucapnya pada Imelda.     

"Kakak juga tahu, mobil Dokter Kevin juga rusak parah," balas Imelda sambil memikirkan solusi. "Hanya ada satu jalan keluar," cetusnya sambil tersenyum melirik ke seorang wanita yang masih berdiri di samping ranjang Marco. "Kak Vincent bisa meminta Dokter Laura untuk mengantarkan sampai ke markas. Bukankah area itu memiliki akses terbatas? Dengan status dokter yang dimiliki oleh Dokter Laura sepertinya akan lebih mudah," terang Imelda dengan penuh semangat. Dia berpikir takdir sedang berpihak kepada mereka.     

Vincent tak langsung membalas perkataan adiknya. Dia masih memikirkan cara lain agar dengan cepat bisa sampai ke markas. Sayangnya, dia sama sekali tak mampu memiliki solusi lainnya. Dengan sedikit ragu, Vincent mendekati Laura. "Dokter Laura. Bisakah Anda membantuku untuk sampai ke markas dengan cepat?" tanyanya tanpa ekspresi apapun.     

"Apa!" Laura sangat terkejut ketika Vincent mendekatinya lalu menatap dirinya dengan tatapan yang mampu mendebarkan hati. "Aku tidak bisa .... " Terdengar sebuah jawaban yang penuh keraguan dengan suara bergetar seolah sedang ketakutan.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.