Bos Mafia Playboy

Andai Bisa Memaksa Dan Mengancam Imelda



Andai Bisa Memaksa Dan Mengancam Imelda

0Laura cukup terkejut dengan permintaan Vincent yang tiba-tiba. Dia tak menyangka jika bisa sedekat itu dengan seseorang yang sangat menarik hatinya. "Aku tidak bisa ... " balasnya dengan sangat ragu. Bahkan suara Laura terdengar bergetar seperti sedang ketakutan. "Aku tidak bisa mengemudi dengan cepat," lanjutnya sambil menatap pria tampan di hadapannya.     
0

"Berikan kunci mobilnya!" Vincent langsung meminta kunci mobil milik Laura, kemudian dia memegang tangannya dan menariknya keluar dengan sedikit terburu-buru untuk keluar dari ruangan itu. "Maaf. Aku sedang terburu-buru," ucapnya sambil membukakan pintu mobil untuk dokter anestesi yang menjadi teman Imelda itu. Kemudian Vincent langsung masuk dan duduk di kursi kemudi.     

Mobil langsung melaju dengan kecepatan penuh, menyusuri ramainya jalanan yang cukup padat. Suasana di dalam mobil cukup hening, hanya terdengar suara deru mesin mobil dan juga kendaraan yang melintas dari arah berlawanan. Kedua orang terlihat sangat canggung, seolah ada tembok pemisah di antara mereka berdua.     

Beberapa kali, Laura sengaja melirik sosok tampan di sebelahnya. Walaupun ia ingin berbincang, tak ada satu obrolan yang terpikirkan untuk memulainya. Wanita itu pun hanya duduk dan memandangi ketampanan Vincent yang sudah mengusik ketenangan hatinya.     

Vincent yang menyadari jika Laura terus menatapnya, menjadi sedikit risih. Belum pernah sekalipun dia hanya duduk berdua dengan seorang wanita di dalam mobil. Itu adalah untuk pertama kalinya Vincent bersama dengan seorang wanita dengan jarak yang sangat dekat. "Apa kamu tinggal di sekitar klinik tadi?" Sebuah pertanyaan dirasa cukup untuk memulai sebuah obrolan di antara mereka.     

"Aku tinggal di sebuah apartemen di dekat rumah sakit," jawab Laura dengan tidak menyakinkan. Sebenarnya dia tidak percaya diri untuk mengobrol dengan pria di sebelahnya.     

Mereka kembali saling terdiam dalam keheningan masing-masing. Hingga ponsel milik Vincent kembali berdering memecahkan kesunyian di antara mereka. Pria itu pun mengambil ponsel di saku celananya lalu memberikannya pada Laura. "Bantu aku memegangi ponselnya. Jalanan sedang menanjak dan sedikit berbahaya," ucap Vincent pada wanita di sebelahnya.     

"Baiklah." Laura langsung memegangi ponsel itu dan mendekatkannya di telinga Vincent. Sebelumnya dia sudah membantunya untuk menerima panggilan telepon itu. "Ini dari Dokter Imelda," ucapnya.     

"Baru sebentar saja kamu sudah sangat merindukan aku," ucap Vincent pada adik kesayangannya yang sedang berbicara di telepon. "Haruskah aku yang memberitahunya?" tanyanya dengan ekspresi aneh yang sulit diartikan. "Baiklah, Anak manja. Apapun itu, asal kamu bahagia." Vincent pun langsung memberikan isyarat pada Laura jika panggilan telepon itu sudah selesai. "Terima kasih" ucapnya tulus pada wanita yang duduk di sebelahnya.     

Laura hanya tersenyum lembut sambil kembali menatap pria yang sudah membuatnya terpesona. Tak berapa lama, mereka berdua sudah sampai ke sebuah tempat yang begitu asing bagi Laura. Wanita itu memandangi sekeliling dengan ekspresi yang tidak biasa. Antara heran atau takjub, hanya Laura yang bisa mengetahui perasaannya.     

Mobil pun berhenti tepat di gerbang tinggi dengan penjagaan ketat. "Sampai sini saja sudah cukup. Aku akan meminta mereka untuk mengantar masuk," ucap Vincent lalu keluar dari dalam mobil. Wanita itu pun juga keluar untuk berpindah tempat duduknya. "Terima kasih, Dokter Laura. Jangan lupa besok, Imelda mengundang Anda makan malam di Rooftop The Secret Hotel," ungkap Vincent sambil memperlihatkan senyum tulus di bibirnya. "Berhati-hatilah di jalan," tambahnya lagi.     

"Terima kasih," balas Laura sebelum melajukan mobilnya meninggalkan tempat yang begitu asing baginya.     

Vincent langsung mendapatkan sambutan yang cukup ramah dari para petugas yang berjaga di sana. Dia pun langsung mendapatkan pengawalan menuju ke markas besar. Sampai di depan gedung tinggi beberapa lantai itu, seorang wanita dengan postur tinggi dan terlihat cantik menyambutnya.     

"Selamat datang, Pak Vincent. Mari saya antarkan menemui Pak Davin dan juga Pak Jeffry, beliau sudah menunggu Anda," sapa wanita itu dengan sangat ramah.     

"Terima kasih," balas Vincent. Dia pun berjalan mengikuti wanita tadi menuju ke sebuah ruangan di lantai paling atas. Setelah keluar dari lift, Vincent masih harus menyusuri sebuah lorong sepi.     

Akhirnya sampailah mereka di depan sebuah pintu. Wanita itu langsung mengetuk pintunya lalu membukanya untuk Vincent. "Silahkan masuk, saya permisi," pamitnya sebelum meninggalkan depan pintu.     

Dengan sedikit keraguan, Vincent memasuki ruangan itu. "Selamat siang, Pak," sapanya begitu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu.     

"Selamat datang, Vincent Mahendra. Akhirnya aku bisa melihat wajah tampan dari anakmu, Davin," sapa Jeffrey dengan sebuah senyuman hangat yang merekah begitu bersahabat. "Duduklah bersama kami," ajaknya pada pria muda yang baru saja datang.     

"Terima kasih, Pak," jawab Vincent dengan sangat sopan.     

Davin Mahendra pun berdiri dan menarik anaknya agar duduk bersama dengan mereka. Sebagai ayah, dia sangat mengerti kecanggungan yang dirasakan oleh Vincent. "Kenapa kamu terlihat sangat canggung? Waktu kamu masih kecil, Jeffrey sering menggendongmu kemana-mana," ungkap Davin Mahendra pada anaknya.     

Jeffrey langsung terkekeh mendengar sebuah kisah dari masa lalunya. "Benar, Vincent. Bahkan dulu kamu selalu memanggilku Om baik karena aku selalu memberikanmu hadiah," tambahnya sambil kembali tersenyum pada anak dari partner kerjanya.     

"Itu sudah sangat lama, lagipula sekarang Anda adalah atasan saya dan juga Papa," balas Vincent dengan ekspresi kaku dan tidak enak dipandang.     

"Lihatlah, Davin! Anakmu justru menjadikan jarak di antara kita," keluh Jeffry. "Aku tak pernah menganggap papamu ini sebagai bawahan, kami berjuang bersama mulai dari nol. Rasanya kami justru sudah seperti saudara sekarang," ungkapnya dengan tutur kata yang terlihat tulus dan sangat menyakinkan.     

Vincent tersenyum simpul mendengar pengakuan itu dari atasannya. Dia tak menyangka jika hubungan mereka cukup dekat. Pantas saja pengajuannya untuk bergabung dengan mereka begitu cepat mendapatkan persetujuan. "Sepertinya Pak Jeffrey terlalu baik. Seorang bawahan saja justru dianggap sebagai saudara. Saya sangat bangga bisa berkenalan dengan Anda," sahutnya dengan senyuman hangat yang terlukis di wajah tampannya.     

"Aku titip Vincent. Jika dia merepotkan, tolong bimbing anak laki-lakiku ini," ucap Davin Mahendra pada atasannya yang juga menjadi teman seperjuangannya.     

Jeffrey terus saja memandangi Vincent yang terlihat begitu tampan. Dia tak menyangka anak kecil yang dulu selalu diajaknya jalan-jalan bisa begitu gagah dan juga menawan. "Hanya satu yang masih ingin aku ingin dari keluargamu, Davin," ucapnya dengan tatapan penuh arti.     

"Apa maksudmu?" sahut Davin Mahendra.     

"Imelda. Aku ingin membawa Imelda juga masuk ke sini. Kita bisa benar-benar menjadi keluarga besar." Sudah berulang kali, Jeffrey meminta Imelda untuk bergabung di dalam tim. Namun wanita itu terus saja menolak permintaan dari petinggi BIN itu. Andai Jeffrey bisa memaksa ataupun mengancam seorang Imelda Mahendra, pasti sudah dilakukannya sejak dulu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.