Bos Mafia Playboy

Ancaman Untuk Brian



Ancaman Untuk Brian

0Seolah langsung paham keinginan istrinya, Brian langsung melemparkan barthrobe yang dipakainya lalu masuk dalam bathtub bersama wanita cantik yang terlihat sudah sangat kesal. Tanpa permisi, dia melayangkan sebuah ciuman hangat pada bibir Imelda yang terlalu menggodanya.     
0

Amarah yang tercetak di wajah Imelda berangsur menghilang bersama hangatnya ciuman Brian yang tak mampu ditolaknya. Wanita itu mengalungkan tangannya di leher sang suami sambil membalas ciuman Brian yang begitu membangkitkan gairah. Imelda sengaja mempererat pelukannya, di saat pria itu mulai memainkan jarinya di puncak bukit kembar yang menantang indah pada dadanya.     

"Ahhhh .... " Brian merintih kesakitan saat tanpa sengaja tangan Imelda mengenai luka di punggungnya.     

Mendengar rintihan sang suami, Imelda langsung keluar dari bathtub dan menarik Brian untuk keluar juga. "Apa yang terjadi, Brian?" tanyanya dengan wajah panik dan juga ketakutan. Dia takut jika pria yang mulai dicintainya itu harus mengalami rasa sakit karena ulahnya. Imelda langsung memutar badan suaminya untuk melihat luka di punggung. "Terjadi tekanan pada lukamu hingga menyebabkan pendarahan ringan. Kita harus segera ke rumah sakit sekarang," ajak Imelda dengan sangat panik dan terburu-buru menarik suaminya itu untuk keluar dari kamar mandi.     

"Aku baik-baik saja, Sayang," ucap Brian dengan wajah menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Dengan segenap kekuatan di dalam dirinya, ia mencoba menahan nyeri di bekas jahitan bekas operasi. Namun, mulutnya seolah mengkhianati dirinya sendiri. "Jangan khawatir, Sayang. Aku tak apa-apa," lanjutnya lagi dengan wajah khawatir karena melihat Imelda begitu panik.     

Dalam kecemasan yang terlukis jelas di wajahnya, Imelda segera memakai gaun yang semalam dipakainya. Dia tak kepikiran untuk meminta seseorang mengirimkan pakaian untuknya. Setelah itu, dia mulai membantu suaminya untuk memakai pakaian yang semalam dipakai. "Tutuplah mulutmu! Jika kamu tak mau ke rumah sakit, aku tak keberatan untuk menyeretmu," ancamnya dengan kepanikan yang semakin menguasai dirinya.     

Tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu. Sebelum suaminya bergerak, ia lebih dulu berjalan menuju ke arah pintu. Begitu terbuka, terlihat seorang petugas room service berdiri di depan pintu untuk mengantarkan sarapan yang sudah dipesan oleh Brian. "Sepertinya aku tak memesan apapun ke kamar," ucap Imelda pada seorang pria di depan kamarnya.     

"Pesanan atas nama Tuan Brian, Nyonya," jawab pria itu.     

"Terima kasih, kamu boleh pergi." Imelda memberikan beberapa lembar uang kertas untuk diberikan pada petugas room service itu. Di pun kembali masuk sambil membawa semeja penuh makanan yang sudah dipesan oleh Brian sebelumnya. "Kapan kamu memesannya, Brian?" tanya Imelda sambil berjalan ke arah suaminya.     

"Sebelum kamu terbangun, aku sudah memesannya lebih dahulu. Aku tak rela jika anakku sampai kelaparan." Dengan perlahan Brian mengusap perut istrinya. Membayangkan betapa bahagianya jika sang buah hati sudah lahir ke dunia. Rasanya Brian sudah sangat tak sabar untuk menyambut anak yang akan dilahirkan oleh Imelda.     

Imelda akhirnya sedikit tersenyum mendengar ucapan suaminya. Dia tak menyangka jika Brian sungguh sangat peduli padanya. "Seolah cuma kamu yang peduli sama anakku," ledeknya sambil melirik sang suami. Wanita itu pun mengambil beberapa makanan lalu memberikannya pada Brian. "Makanlah dulu, setelah itu kita bisa ke rumah sakit," bujuk Imelda dengan rayuan lembut untuk meluluhkan hati suaminya.     

"Tidak bisakah kita ke klinik Kevin saja. Peralatan dan juga pengobatan di sana cukup lengkap," sahut Brian dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia paling tidak suka mendatangi rumah sakit besar yang sangat ramai dan penuh sesak. Pria itu lebih suka memanggil Kevin ke rumahnya atau mendatangi kliniknya.     

Imelda terlihat sedikit berpikir lalu mengambil ponsel di dalam tas yang semakin dibawanya. Terlihat dia sedang mencoba untuk menghubungi seseorang dengan ponselnya. Dengan perlahan, dia meletakkan ponsel di dekat telinganya dan berbicara dengan seseorang yang berada jauh di sana. "Tolong jemput kami di hotel semalam itu," ucapnya dengan suara yang ramah. "Ada pendarahan di lukanya, aku harus segera membawanya ke klinik Dokter Kevin," jelas Imelda pada orang di telepon. "Terima kasih, Martin." Dia pun mengirimkan sebuah pesan sebelum meletakkan ponsel di meja lalu kembali duduk di sebelah suaminya.     

"Kenapa harus meminta Martin menjemput kita? Padahal ada Alex atau yang lainnya di villa yang siap menjemput kita kapan saja," keluh Brian pada sikap yang sudah diambil oleh sang istri.     

Imelda mencoba untuk tak terpancing dengan setiap keluhan Brian terhadapnya. Sebisa mungkin dia tetap bersikap tenang agar suaminya itu tidak membuang energi untuk marah. "Kupikir Martin adalah sosok yang tepat dan juga paling pas untuk melindungi kita dari kejamnya orang-orang di luar sana. Aku yakin jika dia bisa menghadapi puluhan orang tanpa bantuan siapapun." Imelda mencoba menenangkan hati sang suami. Selain dirinya sudah cukup cemas melihat wajah pucat Brian, sesungguhnya Imelda merasa bersalah karena memaksa suaminya itu melakukan hubungan intim semalam. Padahal dia sangat tahu jika Brian masih baru banyak berisi dan juga menjaga kondisi tubuhnya. "Maafkan aku, Brian. Semua ini terjadi karena aku memaksamu untuk melakukannya semalam," sesal Imelda dengan wajah sedih yang terlalu jelas.     

"Jangan menyalahkan dirimu, Sayang. Sebenarnya, aku juga menginginkan yang lebih dari itu. Namun semalam, aku merasakan sakit yang hampir saja tak bisa kutahan lagi," balas Brian dengan suara lembut yang cukup menenangkan hati istrinya.     

Tiba-tiba saja, mata Imelda menjadi berkaca-kaca. Dia tak menyangka jika Brian sudah sangat menderita karena keegoisan di dalam dirinya. "Jadi sejak semalam kamu menahan semuanya." Hatinya mendadak terasa sesak dia tak mampu membayangkan betapa menyakitkannya Brian malam itu. "Aku telah sangat berdosa telah memaksamu melakukan hal itu. Itu semua karena keegoisan di dalam hatiku. Aku menyesali semuanya, Brian." Tanda permisi air mata yang tadi sudah menggenang akhirnya mengalir begitu saja. Wanita itu terlihat begitu hancur atas kesalahannya sendiri.     

"Sayang. Kamu tak pernah melakukan kesalahan apapun. Hentikan tangisnya, aku tak tahan melihatmu terluka seperti ini." Brian langsung memberikan pelukan pada istrinya, mendekapnya cukup erat. Dia mencoba untuk menenangkan hati wanita yang paling dicintainya itu. Beberapa kali dia mengecup kening Imelda, memberikan sebuah kecupan penuh cinta yang begitu besar.     

Di saat pasangan itu mulai tenggelam dalam kebersamaan mereka, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Brian melepas pelan pelukannya lalu beranjak membukakan pintu kamarnya. "Masuklah!" ucapnya pada sosok pria yang sudah berdiri di depan pintu.     

Pria itu masuk dan mendapati Imelda yang terlihat begitu hancur dengan wajah yang menyedihkan. "Apa yang sudah kamu lakukan pada Imelda?" teriaknya dengan sangat keras. "Aku akan menghancurkanmu jika menyakiti Imelda!" ancam pria itu dalam wajah yang sangat geram.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.