Bos Mafia Playboy

Dibungkam Oleh Kebenaran



Dibungkam Oleh Kebenaran

0Vincent langsung menembakkan sebuah tatapan tajam pada adik semata wayangnya. Ada rasa terkejut dan juga sedih bercampur menjadi satu saat mendengar pertanyaan Imelda. Dengan seluruh tenaga dan kekuatan yang di dalam dirinya, dia mencoba mengulas senyuman dan bersikap setenang mungkin. Vincent tak ingin jika wanita di sebelahnya mulai berpikir yang tidak-tidak. "Apa yang bisa aku sembunyikan darimu, Adik perempuanku yang manja?" Bukannya memberikan jawaban, dia justru menjawabnya dengan pertanyaan diiringi sebuah senyuman penuh arti. Pria itu sangat tahu sosok wanita yang sangat disayanginya itu. Vincent pun bangkit dari tempat duduknya lalu kembali memandangi wajah adik kesayangannya. "Masuklah ke dalam! Aku akan menemui Papa dulu, sudah terlalu lama aku mengabaikan pria tua itu," ucapnya sambil senyum-senyum. Dia pun langsung beranjak menuju ke sebuah mobil yang tadi sudah menjemputnya ke bandara. Sedangkan Imelda langsung kembali ke kamar di mana suaminya berada.     
0

Dari dalam mobil, Marco melihat Vincent berjalan ke arahnya. Tanpa membuang waktu, dia langsung keluar dan berdiri di samping mobilnya. "Apakah Anda sudah akan pergi?" tanya Marco pada pria yang berdiri di depannya dan terus menatap wajahnya dengan cukup tajam.     

"Apakah kita pernah berjumpa sebelumnya? Aku merasa sangat familiar dengan wajahmu." Vincent mencoba mengingat kejadian dari masa lalunya. Dia begitu penasaran pada sosok pria yang bekerja dengan ayahnya itu.     

Marco tersenyum simpul pada pria di hadapannya. Dia merasa tak pernah berjumpa dengan anak laki-laki dari atasannya itu. "Sepertinya kita tak pernah bertemu sebelumnya. Bahkan saat bergabung dengan Pak Davin, Anda sudah berada di perbatasan. Sebelum itu, saya hanya gamer biasa yang hanya bisa menyembunyikan jati diri," jawabnya tanpa melebih-lebihkan apapun.     

"Maaf. Mungkin aku sudah salah mengenalimu." Vincent masih saja sangat penasaran pada Marco. Dia tak mungkin hanya akan mengubur rasa penasarannya itu. "Antarkan aku menemui atasanmu!" Dengan sekali gerakan, Vincent berhasil membuka pintu mobil dan langsung masuk lalu duduk dengan wajah datar.     

Marco langsung mengambil ponsel di saku celana. Lalu menghubungi seseorang dengan ponselnya. "Apa pertemuan bos dengan petinggi BIN sudah selesai?" tanyanya pada seorang di dalam ponsel. "Lalu di mana beliau?" tanyanya lagi. "Aku akan mengantarkan Tuan Vincent ke rumah utama." Marco langsung memasukan kembali ponsel ke dalam sakunya. "Pak Davin Mahendra sudah berada di rumah utama. Saya akan mengantarkan Anda secepat mungkin," terangnya pada pria yang memilih duduk di kursi samping kemudi.     

"Panggil dengan namaku saja. 'Vincent'. Aku tak setua itu untuk dipanggil dengan sebutan 'Tuan'." Dia pun mengulas senyuman pada pria muda yang bekerja pada ayahnya itu.     

Marco memperlihatkan sedikit senyuman di wajah lalu menganggukkan kepalanya. Dia tak mungkin berani menolak keinginan anak sulung dari atasannya itu. Bahkan Davin Mahendra sudah berpesan, apapun yang diinginkan oleh Vincent harus dilakukan. Selama itu tak bertentangan dengan hukum dan juga norma. Seperti janjinya pada pria di sampingnya, Marco melajukan mobilnya begitu cepat hingga tanpa sadar mobil itu sudah memasuki kediaman Davin Mahendra. Sebuah rumah besar dengan pagar tinggi, dijaga ketat oleh beberapa pria bertubuh tinggi besar dan bersenjata cukup lengkap. Dia langsung keluar begitu mobil berhenti di depan pintu utama. "Selamat datang, Kak Vincent. Selamat kembali ke rumah," ucap Marco sambil membuka pintu mobil untuk anak dari atasannya.     

Dengan senyuman yang merekah, Vincent menepuk pundak Marco pelan. "Aku suka dengan panggilan itu." Dia pun langsung masuk ke dalam sebuah rumah besar yang cukup mewah dengan beberapa bodyguard berjaga di depan pintu. Ada perasaan sedih yang bercampur bahagia saat menginjakkan kaki di rumah itu. Vincent mengingat kepergian sang ibunda yang menyisakan luka yang begitu dalam. Di sisi hatinya yang lain, dia bahagia bisa kembali ke sebuah tempat yang benar-benar pantas disebutnya dengan kata rumah. Diperhatikannya seluruh detail pada setiap sudut rumah di mana Vincent menghabiskan waktu bersama keluarganya. Selama puluhan tahun dia sudah tinggal di rumah itu.     

Tanpa disadari oleh anak laki-laki kebanggaannya, Davin Mahendra berjalan tanpa suara ke arah Vincent. Dia pun berdiri tak jauh dari sosok pria lajang yang baru kembali dari tugas negara. "Apa kabar anakku? Papa sudah sangat merindukanmu," sapanya sambil memberikan pelukan hangat pada anak sulungnya. "Rasanya Papa sudah sangat tidak sabar ingin memelukmu." Pria tua itu semakin mempererat pelukannya, seolah dia tak rela jika harus ditinggalkan oleh anak sulungnya lagi.     

"Aku juga sangat merindukan Papa," balas Vincent. Dia bisa merasakan betapa besar kasih sayang Davin Mahendra terhadap dirinya. Beberapa kali, pria tua itu mengunjunginya ke daerah perbatasan yang cukup berbahaya. Bahkan sudah puluhan atau ratusan kali, Davin Mahendra membujuknya untuk kembali ke tanah air. Sayangnya, bujukan sang ayah seakan tak menggetarkan hatinya. Namun begitu mendengar Imelda menikahi Brian Prayoga, Vincent langsung memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Seolah ada hal yang begitu mengganggu ketentraman hatinya. "Papa. Aku ingin menanyakan sesuatu tentang Imelda," ucapnya lirih dengan suara yang sedikit bergetar karena terlalu menahan perasaannya.     

Seketika itu juga, Davin Mahendra melepaskan pelukan dari anak sulungnya. Dia langsung memandangnya dengan tatapan yang sedikit aneh. Ada perasaan gelisah yang tiba-tiba saja menguasai relung hatinya. "Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya sambil membalikkan badan agar tak langsung menatap wajah anaknya.     

Vincent langsung beranjak ke hadapan sang ayah. Dia bisa tahu jika pria tua itu sengaja menghindari dirinya. "Aku sangat ingat dengan jelas jika Papa begitu membenci sosok Prayoga, bagaimana Papa bisa menyetujui pernikahan itu?" Vincent terlihat sedang menahan amarah yang semakin membakar dirinya. Dia merasa sangat sulit menerima pernikahan adiknya dan keluarga dari musuh ayahnya.     

"Biarlah kebencian itu hanya antara aku dan Prayoga saja. Papa tak ingin menyeretmu dan Imelda dalam rumitnya hubungan kami." Davin Mahendra mengatakan hal itu sambil menahan nafasnya. Setengah mati dia berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Seolah dia sedang baik-baik saja dengan hubungan mereka.     

Aura kemarahan tercetak jelas di wajah Vincent. Pria itu tak bisa menerima semua perkataan ayahnya. "Cukup, Papa! Sampai kapanpun aku tak akan menerima pernikahan mereka. Aku akan menggunakan caraku sendiri untuk memisahkan mereka. Imelda tak boleh menjadi bagian dari keluarga brengsek itu," tegas pria yang baru saja bertemu dengan ayahnya sejak pertemuan mereka di perbatasan. "Bagaimana Papa bisa membiarkan Imelda menikahi anak dari .... " Mendadak lidahnya kelu, Vincent tak mampu melanjutkan ucapannya. Hatinya bergetar hebat mengingat kejadian di hari ibunya tewas dalam sebuah serangan musuh. Dia benar-benar terdiam, mulutnya membisu tanpa bisa berkata lagi.     

"Apa yang sudah kamu ketahui, Vincent?" tanya Davin Mahendra dengan perasaan yang tidak karuan. Dia takut jika anak sulungnya mengetahui sebuah kebenaran yang telah lama dikuburnya sangat dalam.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.