Bos Mafia Playboy

Kebencian Yang Mampu Melumpuhkan Akal Sehat



Kebencian Yang Mampu Melumpuhkan Akal Sehat

0Brian dan Imelda masih berdiri berdampingan di depan Vincent. Mereka sengaja menunggu jawaban dari pria yang baru kembali ke tanah air setelah sekian lama. Perkataannya sebelumnya telah membuat tanda tanya besar bagi mereka semua. "Bukankah kemarin Kakak bilang sedang mengajukan mutasi? Bagaimana bisa sekarang jadi mau ke markas BIN?" tanya Imelda dengan wajah heran dan juga tak percaya dengan keputusan kakaknya.     
0

"Aku mendaftar sebagai salah satu agen intelijen. Kebetulan ada sebuah posisi kosong di sana," jawab Vincent atas pertanyaan adiknya. Sebuah jawaban yang cukup mengejutkan bagi mereka semua.     

Bahkan Martin juga cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh sahabatnya itu. Dia berpikir jika Vincent bukan tipe orang yang bekerja sebagai agen intelijen seperti ayahnya. "Aku yakin kamu memiliki motif tersembunyi di balik semuanya," sindir Martin pada pria yang masih berdiri sambil memandangi Imelda.     

Mendengar sindiran itu, Vincent langsung membalikkan badannya dan berjalan ke arah Martin. "Aku membutuhkan sedikit bantuanmu," bisiknya pada sosok pria yang dulu sangat dekat dengannya.     

"Katakanlah!" sahut Martin tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Dia sangat penasaran bantuan apa yang sangat diinginkan oleh Vincent Mahendra. Setelah sekian lama tak bertemu, dia langsung meminta sebuah permintaan yang mungkin saja akan berbahaya baginya.     

Pria itu menepuk pundak Martin beberapa kali lalu memandang penuh arti. "Aku akan segera menghubungimu lagi, sebaiknya aku pergi sekarang sebelum pria tua itu menghabisi nyawaku," pamit Vincent sebelum pergi meninggalkan villa tersembunyi milik keluarga Prayoga. Sebuah villa yang dipakai khusus untuk melindungi diri dari serangan musuh yang sangat berbahaya.     

"Sepertinya aku juga harus pamit. Bos menyuruhku menyelidiki pelaku penyerangan di rumahmu," ucap Martin pada pasangan suami istri di depannya. "Untuk sementara waktu, jangan tinggalkan tempat ini. Kalian bisa menghubungi aku jika membutuhkan apapun," tambahnya sebelum masuk ke dalam mobil meninggalkan villa itu.     

Begitu pria itu menghilang dari pandangan mereka, Brian pun mengajak istrinya untuk masuk ke dalam. "Sayang, ayo kita masuk saja," ajaknya sambil menggenggam tangan wanita yang masih berdiri di sebelahnya.     

Saat Brian menyentuh tangannya, Imelda merasakan jika suhu tubuh suaminya meningkat. Dia beralih memperhatikan wajah Brian. "Wajahmu terlihat pucat. Ayo kita istirahat di kamar saja," ajaknya dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Wanita itu mengajak suaminya untuk berbaring di kamar mereka. Dengan sangat cekatan, Imelda memeriksa keadaan pria yang sudah berbaring sambil memandanginya. Terlukis sangat jelas jika Imelda sangat mencemaskan keadaan pria yang sudah mencintainya selama beberapa tahun ini.     

"Apa kamu sedang mencemaskan aku, Sayang?" tanya Brian tanpa mengalihkan pandangannya dari sang istri. Dia bisa melihat jika wanita di hadapannya itu begitu peduli akan keadaannya. Hal itu membuatnya semakin lega, itu artinya jika Imelda benar-benar sudah mencintainya.     

"Apa kamu sedang menahan rasa sakit?" tanya Imelda dengan panik. Brian hanya menggelengkan kepalanya sambil mencoba tersenyum untuk menutupi rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Wanita itu mencoba untuk mencari obat anti nyeri yang dibawakan oleh rumah sakit sebelumnya. "Di mana obat anti nyeri yang kemarin itu?" Dengan sangat tidak sabar, Imelda mengeluarkan semua isi tasnya ke lantai. Dia tak ingin suaminya harus menderita karena rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang. Sayangnya, obat itu tak bisa ditemukan. "Ahhhhhhh .... " Sebuah teriakan terdengar begitu nyaring dari mulut Imelda. Dia begitu frustasi saat tak bisa menemukan sesuatu yang sedang dicarinya.     

Brian bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan mendekati wanita yang terlihat sangat putus asa. "Sayang. Tenanglah, aku baik-baik saja." Sebisa mungkin dia mencoba untuk menenangkan hati istrinya meskipun harus menahan rasa sakit yang seolah ingin mengambil nyawanya. Tanpa sengaja, butiran air mata Imelda menetes di tangan Brian. Pria itu sangat terkejut mendapati Imelda yang terlihat begitu terluka karena tak menemukan obat penghilang nyeri untuknya. "Sayang, mengapa kamu menangis?" Brian memberikan pelukan pada wanita yang biasanya terlihat begitu kuat. Namun yang dilihatnya kali ini sangat berbeda. Imelda terlihat begitu putus asa dalam derai air mata di wajahnya.     

"Maafkan aku, Brian. Seharusnya aku menyiapkan semua sebelum berangkat ke sini," sesal Imelda masih saja terduduk di lantai dengan barang-barangnya yang berceceran dimana-mana.     

Pria itu memaksakan diri untuk mengangkat istrinya ke atas ranjang. Dia pun mendudukkan Imelda dengan sangat hati-hati. "Kamu tidak salah, Sayang. Tadi kita terlalu terburu-buru hingga melupakan obatnya," hiburnya dengan tutur kata yang lembut dan menenangkan hati.     

"Tetap saja aku yang bersalah!" Imelda terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Rasanya begitu kesal dan juga marah karena kecerobohannya.     

Melihat istrinya terus-menerus menyalahkan dirinya, Brian pun mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang. "Cepat bawakan obat penghilang rasa nyeri ke villa," perintahnya pada seseorang yang berbicara di ponsel. "Jangan banyak bertanya! Bawa saja cepat ke sini," tegas Brian sebelum meletakkan ponsel itu ke atas meja yang berada di sebelah ranjang kamarnya. Dia pun kembali memeluk Imelda yang masih tenggelam dalam kesedihannya.     

"Apa itu Dokter Kevin?" tanya Imelda sambil memandangi wajah tampan sosok suami yang mulai dicintainya dengan sepenuh hati.     

Brian mengulas senyuman hangat di wajahnya sambil menganggukkan kepala. Di dalam dirinya, ia sudah merasakan panas dingin karena harus menahan rasa sakit yang semakin menggerogoti tubuhnya. Dengan sangat pelan dan juga tanpa daya, ia mencoba ikut duduk di sebelah istrinya. "Apa kamu begitu mencintaiku hingga sampai menangis seperti itu saat tak menemukan obatku?" goda Brian sambil mencoba tersenyum setulus mungkin.     

"Apa kamu sengaja meledekku, Brian?" Imelda menunjukan wajahnya yang cemberut dan juga terlihat kesal. "Aku sangat membencimu, Brian. Begitu besar perasaan benci di hatiku hingga rasanya dadaku menjadi sangat sesak," tambahnya lagi. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari sosok Brian Prayoga. Seolah pesona pria itu telah melumpuhkan seluruh akal sehatnya. Dengan perlahan namun pasti, Imelda mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir suaminya dengan sangat lembut. Melumatnya penuh perasaan, menyesapnya dengan sangat lembut seolah bibir Brian begitu nikmat hingga memabukkan Imelda yang mulai menikmati setiap inci dari bibir suaminya.     

Dengan mata terpejam, Brian begitu menikmati setiap sentuhan dari istrinya. Ingin rasanya dia segera melahap seluruh bibir Imelda. Sayangnya, dia seolah telah kehabisan nafasnya dan juga tenaganya untuk membalas ciuman yang cukup bergairah dari wanita cantik yang sangat dicintainya itu. Brian hanya bisa berharap dirinya tak kehilangan kesadaran sebelum Imelda melepaskan ciumannya. Dia tak tega jika memaksa istrinya untuk menghentikan ciuman yang begitu mendebarkan itu.     

"Brian!" Tiba-tiba saja Kevin datang dengan membawa bungkusan obat di tangannya. Dengan sangat terpaksa, Imelda melepaskan suaminya dan menghampiri sahabat dari suaminya itu.     

"Terima kasih, Dokter Kevin. Kehadiranmu benar-benar menghancurkan momen romantis di antara kami berdua," cetus Imelda tanpa rasa sungkan sedikit pun. Dia sangat tahu jika seorang dokter yang berdiri di depannya itu adalah sahabat baik dari suaminya. "Sepertinya Dokter Kevin terlihat sangat lelah. Apakah sedang banyak pasien di klinik?" tanya Imelda sambil memandang pria di depannya itu dengan penuh selidik. Imelda merasa jika Kevin ingin mengatakan sesuatu pada Brian. Namun dia masih mencoba untuk menahan dirinya. "Masuklah dan tolong periksa suamiku. Aku akan ke dapur untuk mengambil air untuk meminum obatnya." Imelda langsung keluar dari kamar itu menuju ke dapur.     

"Cepatlah, Kevin! Rasanya aku hampir mati karena menahan rasa nyeri di tubuhku," seru Brian dengan suara sedikit lirih karena tak ingin sang istri mendengar ucapannya.     

Kevin langsung menyuntikkan penghilang nyeri yang sengaja di bawanya untuk Brian. "Kamu benar-benar bisa mati jika terus menahan rasa sakit seperti ini," ucapnya dengan wajah cemas.     

"Tutup mulutmu! Jangan sampai istriku mendengarnya," cetus Brian dengan hati berdebar-debar, ia takut jika Imelda mengetahui akting yang baru saja dilakoninya.     

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Baru saja, Martin membawa seorang pria yang cukup tampan dengan luka tembak ke klinik," terang Kevin setengah berbisik pada sahabatnya itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.