Bos Mafia Playboy

Kesalahan Fatal



Kesalahan Fatal

0Alex baru saja selesai memeriksa beberapa daftar yang diminta oleh Davin Mahendra. Untung saja suasana kantor sedang sepi, beberapa orang yang seharusnya bertugas sedang makan siang keluar. Tiba-tiba saja, terdengar dering ponsel miliknya. Dia pun mengambil ponsel itu dan terlihat nama Vincent Mahendra terpampang di layar ponselnya. Dengan sedikit ragu dan tak percaya, Alex menerima panggilan itu. "Apakah ada yang bisa kubantu, Vincent. Kalimat itulah yang pertama kali diucapkannya saat menerima panggilan dari atasannya itu.     
0

Pria itu kembali duduk di sebuah kursi yang tadi sudah dipakainya sambil mendengarkan seseorang yang berbicara di telepon. "Aku masih berada di kantor," jawabnya sambil terus memegang ponsel di dekat telinganya. "Pak Davin Mahendra baru saja meminta hal yang sama padaku," ucapnya lagi pada pria di dalam ponsel. "Aku akan mengusahakannya secepat mungkin," sahut Alex sebelum mengakhiri panggilan itu.     

Tanpa membuang waktu, Alex keluar dari sana menuju ke ruangan yang biasa dipakainya bersama rekan setimnya. Dia langsung mengirimkan daftar itu pada Davin Mahendra sebelum orang-orang mulai berdatangan. Setelah selesai, dia berpikir untuk mengirimkannya juga kepada Vincent saat itu juga. Namun tiba-tiba saja ....     

"Apa yang kamu lakukan, Alex?" Davin Mahendra yang tiba-tiba saja berada di belakangnya, langsung merebut ponsel itu dan memeriksa daftar yang akan Alex kirimkan pada Vincent. "Siapa yang menyuruhmu mengirimkan daftar ini kepada Vincent?" tanyanya dengan wajah geram dan sedikit menakutkan.     

"Maaf, Pak." Alex kehilangan kata-katanya, ia tak tahu harus mengatakan apa pada atasannya itu. Dia sadar jika yang dilakukannya itu adalah sebuah kesalahan yang fatal, meskipun Vincent Mahendra adalah anak dari atasannya itu.     

Davin Mahendra berjalan ke sebuah meja di mana daftar asli itu berada. Dia pun menyobek halaman terakhir yang berisi daftar nama-nama orang yang beberapa hari terakhir memakai mobil itu. "Ponselmu kubawa! 15 menit lagi, ambil sendiri di ruanganku," ucap Davin Mahendra dengan suara dingin yang sangat menakutkan.     

Dengan wajah yang terlihat frustasi, Alex menarik rambutnya sendiri. Dia merasa sudah tertangkap basah telah melakukan sesuatu yang sangat fatal. Alex tak bisa membayangkan, betapa marahnya Davin Mahendra mengetahui kebodohannya itu. Namun, semua yang dilakukannya hanya untuk membantu anak dari atasannya itu. Pria itu menjadi sangat bingung, bagaimana ia akan memberitahukan hal itu pada Vincent? Dengan kegelisahan yang semakin memuncak di pucuk kepalanya, Alex terus mondar-mandir di depan ruangan atasannya. Dia sudah tak sabar untuk menunggu 15 menit berlalu. "Vincent pasti sudah menungguku," gumamnya.     

Lima belas menit berlalu, Alex langsung mengetuk pintu ruangan Davin Mahendra lalu masuk ke dalam ruangan itu. "Permisi, Pak," sapanya pada sang atasan sambil menundukkan kepalanya.     

"Apa kamu tahu, di mana kesalahanmu?" ucap Davin Mahendra dengan suara tegas dan wajah yang dingin. Pria itu menatap Alex tanpa ekspresi sedikit pun. Terlihat percikan api amarah tersirat di wajahnya.     

"Iya, Pak. Tak seharusnya saya membocorkan apapun yang ada di kantor ini. Sekalipun itu kepada anak Anda sendiri," sesal Alex pada atasannya itu. Dia tak berani menatap wajah Davin Mahendra karena rasa bersalah yang singgah di hatinya.     

Davin Mahendra bangkit dari kursinya dan menghampiri anak buahnya itu. "Ini ponselmu. Jangan pernah melakukan kebodohan apapun lagi! Asal kamu tahu, warna baju yang kupakai hari ini, bisa saja menjadi sesuatu yang harus kamu rahasiakan." Davin Mahendra memberikan ponsel itu kepada Alex sambil berdiri di hadapannya. "Kali ini, aku sengaja membiarkanmu. Jangan berharap ada lain kali lagi," tegasnya pada seorang pria yang sudah menjadi tangan kanannya. Pria itu sengaja tak memperpanjang masalah itu karena melibatkan anak laki-laki kesayangannya. Davin Mahendra tak ingin menyeret Vincent dalam sebuah drama yang penuh dengan intrik kotor. Namun satu hal yang disayangkannya, Vincent telah bergabung dengan BIN tanpa pemberitahuan apapun padanya.     

Dengan wajah ketakutan, Alex pamit keluar dari ruangan itu. Dia pun langsung menuju ke sebuah tempat yang dirasanya cukup sepi. Tanpa menunggu lagi, ia langsung menghubungi Vincent Mahendra. "Aku sudah berusaha untuk mengirimkan daftar itu kepadamu. Namun, tiba-tiba saja Pak Davin datang dan langsung merebut ponselku. Dia menghapus salinannya dan juga mengambil file yang asli. Pak Davin juga melarang aku untuk memberikan informasi itu kepadamu. Sepertinya aku tak bisa membantumu lagi," jelas Alex sambil memegangi ponsel di dekat telinganya. "Maaf, Vincent." Dia pun langsung mematikan ponselnya lalu beranjak ke dalam ruangannya.     

Baru duduk beberapa menit saja, tiba-tiba Davin Mahendra datang menemuinya. "Alex! Apa kamu tahu jika Marco benar-benar sedang melakukan sesuatu untuk Imelda? Aku sudah berusaha untuk menghubunginya namun tidak tersambung," ucap pria yang baru saja datang itu kepada anak buahnya.     

"Haruskah saya mencarinya sekarang?" tanya Alex dengan sangat sopan     

"Temukan dia sekarang! Aku membutuhkan sedikit bantuannya, biar nanti aku sendiri yang akan menjelaskan pada Imelda," jelas Davin Mahendra sambil memandang Alex penuh arti.     

Alex pun merapikan meja kerjanya lalu bangkit dari tempat duduknya. "Saya akan menghubungi Imelda untuk mengetahui keberadaannya," balas Alex dengan sikap hormat dan mencoba setenang mungkin. Dia sangat tahu jika Marco sedang berada di sebuah klinik karena luka tembak di lengannya. Sesuai permintaan Marco, ia harus merahasiakan hal itu dari atasannya sendiri.     

Begitu Davin Mahendra menghilang dari hadapannya, Alex juga langsung meninggalkan tempat itu. Dia pun melajukan mobilnya menuju ke sebuah klinik di mana Marco harus menjalani perawatan di sana. Dalam beberapa menit perjalanan, dia sudah berada di depan Klinik milik Dokter Kevin. Pria itu langsung masuk ke dalam klinik dan menanyakan keberadaan Marco. Meskipun Alex pernah datang ke klinik itu, dia tetap harus memastikan keberadaan rekannya itu secara pasti. Baru berdiri di depan pintu, Marco sudah mengetahui kedatangannya.     

"Alex, masuklah!" seru Marco dari dalam kamar perawatannya. Terlihat dia sedang duduk di dekat jendela yang berada di kamar itu.     

Alex langsung masuk dan langsung tersenyum hangat melihat rekannya itu sudah jauh lebih baik. "Bagaimana keadaanmu, Marco?" tanyanya dengan tulus.     

"Aku sudah semakin baik, Alex. Seharusnya aku sudah bisa keluar dari sini, hanya saja Dokter Kevin memintaku tinggal untuk beberapa hari lagi. Dia takut jika terlalu banyak bergerak lukaku bisa kembali terbuka dan mengakibatkan pendarahan," jelas Marco pada pria yang datang mengunjunginya. Terlihat ada sesuatu yang begitu mengganggu Alex, ia pun menjadi sangat penasaran pada pria di sampingnya itu. "Apa kamu sedang ada masalah, Alex?" tanyanya.     

Alex terlihat ragu untuk mengatakan hal itu pada Marco. Sayangnya, dia tak memiliki pilihan lain. "Bos ingin kamu segera menemuinya. Mungkin saja ini gara-gara kecerobohanku hingga kamu harus menjadi repot," sesalnya dalam rasa bersalah.     

"Ada apa denganmu, Alex? Tidak biasanya kamu menjadi seperti itu. Aku juga sudah sangat tak sabar untuk kembali ke markas," sahut Marco cukup antusias. Namun dia merasa ada yang tidak beres dengan rekannya itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.