Bos Mafia Playboy

Vincent Mahendra



Vincent Mahendra

0Imelda masih berdiri sambil memandangi wajah kesal suaminya. Dia masih belum benar-benar paham alasan Brian begitu kesal dengan dirinya. Dalam hatinya, ia merasa tak melakukan kesalahan apapun. Semua yang telah diucapkannya tentang Brian adalah sebuah kebenaran. "Ada apa dengan wajah kesalmu? Bukankah yang aku katakan adalah kebenaran?" Wanita itu masih saja tak memberikan alasan pada suaminya tentang alasan yang membuat Imelda tak mau membuka hati untuk suaminya. "Setiap aku melihatmu bersama dengan wanita-wanita itu, tak ada satu pun yang memiliki tubuh yang biasa saja sepertiku. Mereka semua memiliki tubuh bak model papan atas," terang Imelda Mahendra pada suaminya.     
0

"Apakah tak ada alasan lainnya kamu selalu mengatakan hal itu?" Brian sedikit menaikan nada suaranya karena semakin tidak mengerti dengan pemikiran Imelda kepadanya. "Asal kamu tahu saja. Sejak SMA aku sudah jatuh .... " Belum juga kalimat itu diselesaikan olehnya, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar.     

"Aku akan melihat siapa yang datang," ucap Imelda tanpa ekspresi apapun. Begitu membuka pintu, terlihat Marco sudah berdiri dengan setelan yang terlihat sangat rapi. "Masuklah dulu, aku akan mengambil barang-barangku," kata wanita yang berjalan masuk lalu mengambil sebuah tas yang berada di sebelah ranjang Brian.     

Marco langsung melemparkan sebuah tatapan tajam pada pria yang sedang duduk di atas ranjang dengan wajah kesal. Dia cukup penasaran dengan alasan Brian bisa begitu kesal pada istrinya. Yang dia tahu, pria itu selalu memperlakukan Imelda dengan sangat baik. Sekali pun wanita itu selalu berkata kasar padanya. "Bagaimana keadaanmu, Brian?" tanyanya sambil tersenyum kecil pada pria di dekat Imelda.     

"Aku sudah sangat lebih baik, Marco. Tolong jaga istriku, seharusnya aku sendiri yang mengantarkannya untuk menjemput Vincent." Brian menjawab pertanyaan Marco dengan wajah sesal yang begitu jelas. Dia sangat menyesal tak bisa menemani Imelda menjemput kakaknya. Hanya rasa bersalah yang dirasakannya saat itu. Brian merasa tak bisa menjadi suami yang baik untuk istrinya.     

Imelda mendekati suaminya dan memberikan sebuah tatapan yang cukup sulit diartikan. Marco yang menyadari hal itu langsung pamit keluar untuk menunggu di lobby rumah sakit. Begitu hanya ada pasangan suami istri itu langsung saling menatap satu sama lain. Ada sebuah perasaan yang tak pernah terucap dari bibir mereka. Sebuah tatapan penuh cinta yang menyejukkan hati pasangan yang tak pernah menyatakan cintanya itu. "Aku harus pergi sekarang, rasanya tak enak jika Marco harus menunggu lama," cetus Imelda memecahkan keheningan di antara mereka berdua.     

"Berhati-hatilah!" Hanya ucapan itu yang terucap dari mulut Brian. Dia tak mampu mengatakan hal lainnya di saat tubuhnya begitu lemah dan tak berdaya.     

Sebuah senyuman singkat terukir di wajah Imelda. Wanita itu membelai lembut wajah Brian sebentar tanpa mengatakan apapun lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Rasanya begitu berat meninggalkan suaminya seorang diri. Sayangnya, dia tak mungkin menolak keinginan saudara lelakinya. Seseorang yang sudah sangat dirindukannya selama bertahun-tahun. Imelda tak pernah bertemu dengan kakaknya sejak hari pemakaman ibunya, Irene. Vincent Mahendra memilih meninggalkan negeri itu setelah melepaskan kepergian ibunya. Tidak ada yang tahu alasan pria itu tega meninggalkan adik semata wayangnya.     

Brian hanya bisa memandangi kepergian Imelda dalam kegalauan dan juga kesedihannya. Tiba-tiba saja dia kesal pada dirinya sendiri. Merasa sangat gagal untuk selalu mendampingi Imelda. "Maafkan aku, Sayang. Kelak aku akan menjadi suami yang baik untukmu," gumamnya dengan hati yang merasa sangat bersalah.     

Di depan lobby rumah sakit, terlihat Marco sedang duduk seorang diri. Imelda langsung menghampirinya dan mengajaknya untuk segera berangkat. "Ayo kita berangkat sekarang, Marco!" ajaknya sambil memandangi Marco yang sedang melamun.     

Marco cukup terkejut dengan ajakan Imelda yang tiba-tiba. Dia pun langsung berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju tempat parkir. "Mobilnya ada di sana," balasnya sambil memandang ke arah mobil hitam yang sudah terparkir tak jauh dari mereka. Mereka pun beranjak menuju tempat parkir. Setelah Imelda masuk, Marco langsung melajukan mobilnya ke bandara. Selama perjalanan, tak banyak hal yang mereka bicarakan. Pria itu lebih banyak diam sambil berkonsentrasi mengendarai mobilnya.     

"Apa kamu punya kekasih?" tanya Imelda tiba-tiba pada pria yang duduk di sebelahnya.     

Marco tersenyum kecut mendengar pertanyaan wanita di sebelahnya. Dari semua yang dibicarakan oleh Imelda, itu adalah pertanyaan yang paling berat. "Aku terlalu sibuk hingga tak sempat untuk mencari kekasih," jawabnya sambil melirik ke arah Imelda. "Kalaupun aku memiliki kekasih, aku ingin wanita seperti dirimu," lanjutnya lagi dengan wajah yang lebih serius.     

"Kamu ingin memiliki kekasih seorang dokter, aku bisa mengenalkan seseorang kepadamu," sahut Imelda cukup antusias.     

"Bukan itu! Aku ingin memiliki kekasih yang tangguh dan hebat sepertimu," ungkap Marco pada seorang wanita yang begitu mengagumkan di matanya.     

Imelda terkekeh mendengar jawaban dari anak buah ayahnya itu. Tanpa memberikan tanggapan apapun, dia langsung keluar dari mobil karena mereka sudah tiba di bandara. Wanita itu langsung menuju ke sebuah tempat di mana Vincent sudah menunggu. Sedangkan Marco mengikutinya dari belakang, pria itu harus memastikan jika Imelda akan aman dan juga selamat. Sebuah senyuman bahagia terlukis di wajahnya begitu melihat seorang pria tinggi dan juga tampan sudah berdiri untuk menyambut kedatangannya. Imelda langsung berlari kecil menuju ke arahnya. "Aku sangat merindukanmu, Kak," ucapnya sambil menghamburkan diri ke dalam pelukan sang kakak kesayangan.     

"Bodoh! Aku juga sangat merindukanmu. Alasan itu juga yang membuatku ingin kembali ke sini." Vincent tersenyum dengan tulus sambil membalas pelukan Imelda kepadanya. Dua anak manusia yang saling menyayangi, terlihat sedang melepaskan kerinduan selama bertahun-tahun lamanya.     

Imelda melepaskan pelukannya lalu menatap wajah tampan kakak kesayangannya. "Aku ingin mengenalkan seseorang padamu, Kak," ucapnya dengan sedikit manja. Imelda selalu bermanja-manja saat bersama Vincent. Hal itu tak bisa dirubahnya sama sekali.     

"Apa dia kekasihmu?" tanya Vincent sangat penasaran. Dia ingin melihat, pria seperti apa yang berhasil menaklukkan hati adiknya yang selama ini membeku dan tak tersentuh.     

"Nanti Kak Vincent juga tahu." Sebuah jawaban dari Imelda yang terdengar menggantung tanpa kejelasan apapun. Dia pun menarik tangan kakaknya dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Merekapun langsung menaiki mobil itu menuju ke rumah sakit.     

Sejak dari bandara, Vincent terus saja memandangi Marco dengan penuh arti. Seolah dia ingin melemparkan sebuah pertanyaan pada pria yang sedang mengendarai mobil itu. Namun Vincent memilih untuk mengurungkan pertanyaannya. Dia tak ingin pria di depannya menjadi sungkan. Tiba-tiba saja terlihat ekspresi terkejut di wajah Vincent. "Mengapa kita mendatangi rumah sakit milik BIN?" tanyanya.     

"Ada seseorang yang ingin aku kenalkan pada kakak. Dia sedang dirawat di rumah sakit ini," jelas Imelda dengan senyuman yang sedikit berbeda. Sejujurnya, dia takut jika Vincent akan menolak pernikahannya dengan Brian.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.