Bos Mafia Playboy

Cepat Pecahkan Kepalaku!



Cepat Pecahkan Kepalaku!

0Brian dan Imelda saling memandang dengan wajah bingung. Mereka tak menyangka jika Martin akan sepanik itu. Pasangan itu memandang Martin yang bersembunyi di balik bunga-bunga di taman lalu beralih menatap sebuah mobil yang baru saja datang.     
0

Wanita itu langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berlari ke arah mobil itu. "Kak Vincent!" teriaknya dengan wajah yang terlihat lebih bersemangat. "Kupikir Papa akan membohongiku," lanjutnya sambil menarik tangan kakak laki-laki yang selama ini sudah amat dirindukannya. Imelda membawa kakaknya duduk di kursi taman di mana Brian masih berada di sana.     

"Jangan senang dulu!" sindir Vincent pada Brian. "Aku terpaksa ke sini karena Papa yang memaksaku. Padahal aku tak ingin bertemu denganmu, Brian Prayoga," tegasnya dengan senyuman sinis pada adik iparnya sendiri. Pria itu langsung beralih memandang Imelda, rasanya dia tak ingin melihat seseorang dari keluarga Prayoga. Kebencian di hati Vincent terhadap keluarga Prayoga sama sekali belum berkurang. Meskipun Davin Mahendra sudah berusaha untuk memberikan pengertian pada anak laki-lakinya itu.     

Brian hanya bisa tersenyum tanpa mampu membela diri. Dia tak mungkin menambahkan kebencian di hati Vincent. Sebisa mungkin dia mencoba tenang dan tidak terprovokasi oleh ucapan kakak iparnya. "Kalian bisa mengobrol dulu, aku akan mengambil minuman untuk Kak Vincent," ucap Brian sebelum meninggalkan adik dan kakak itu untuk mengobrol sambil melepaskan kerinduan selama bertahun-tahun yang sudah tertahan.     

"Apakah Brian selalu bersikap sok malaikat seperti itu?" tanya Vincent pada adik perempuannya. Dia pun melihat sekeliling dan mendapati ada tiga gelas di meja. "Selain kalian berdua, apakah ada orang lain yang duduk di sini?" tanyanya sambil memperhatikan sekitar rumah itu.     

Imelda baru menyadari jika ada tiga gelas di atas meja. Sejenak dia telah melupakan Martin yang sedang bersembunyi di antara bunga-bunga di taman. "Ada satu orang lagi," jawab Imelda pada kakaknya. "Dan satu hal lagi, Brian selalu bersikap sangat baik kepadaku. Kak Vincent tak perlu bersikap kasar pada suamiku. Bagaimanapun juga, Brian adalah adik iparmu." Imelda mencoba memberikan pengertian pada Vincent. Entah pria itu akan menerima atau tidak, yang terpenting dia sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya.     

Terlihat senyuman aneh di wajah pria yang sedang duduk di samping Imelda itu. Dia tak menyangka jika adik perempuan satu-satunya bisa takluk pada seorang pria seperti Brian Prayoga. Rasanya Vincent tak rela jika adiknya menjadi bagian dari keluarga Prayoga. "Sepertinya kamu benar-benar sudah jatuh cinta pada Brian Prayoga," sindirnya tanpa ekspresi.     

"Jangan mulai lagi, Kak! Bagiku, Brian adalah pria terbaik dalam hidupku. Jangan pernah meragukan ketulusan cinta Brian kepadaku," bela Imelda. Dia tak ingin siapapun menjelek-jelekkan suaminya. Apapun dan bagaimanapun Brian, ia akan menerima suaminya itu dengan sepenuh hati.     

Tanpa diketahui oleh pasangan adik kakak itu, Brian sudah berdiri di belakang mereka sambil membawa segelas minuman untuk Vincent. Dia sengaja tak mengeluarkan sepatah kata pun. Brian ingin mendengar perkataan istrinya pada sang kakak ipar. Dia pun bangga dan juga lega atas jawaban yang diberikan oleh Imelda. Pria itu tak menyangka jika istrinya mampu mengatakan hal itu pada kakaknya sendiri. "Ini minumannya, Kak." Kedatangan Brian yang tiba-tiba membuat mereka berdua langsung menoleh ke arah Brian secara bersamaan.     

"Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanya Imelda dengan wajah terkejut.     

"Aku baru saja di sini. Apa ada yang salah?" Brian sengaja mengatakan kebohongan, ia hanya tak ingin jika Imelda menjadi malu dan berubah kesal.     

Merasa tak enak hati pada suaminya, Imelda langsung berdiri dan mengajak Brian duduk bersama di sebuah kursi yang berada di hadapan Vincent. Dia hanya tak ingin jika pria yang menjadi suaminya itu terus berdiri. "Jangan terlalu lama berdiri, tidak baik untuk kondisi kesehatanmu," terang Imelda sambil tersenyum penuh arti.     

"Aku baik-baik saja, tak perlu mengkhawatirkan aku. Yang terpenting, kamu jaga anak kita saja yang masih ada di dalam perutmu ini." Brian pun membelai perut Imelda yang masih belum terlalu besar. Pria itu terlihat begitu perhatian dan juga penuh kasih sayang memperlakukan istrinya. Hal itu membuat sosok pria yang duduk di depannya menjadi sedikit risih.     

Vincent langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah bunga-bunga yang bermekaran begitu indah. "Kalian sengaja memamerkan kemesraan!" kesalnya dengan wajah cemberut. Dia sengaja berjalan ke arah sana. Vincent merasa ada seseorang yang sedang mengintai mereka sejak dia datang ke rumah itu. Pria itu tak akan membiarkan siapapun mencelakai adik kesayangannya. Dengan gerakan pelan dan menyakinkan, Vincent mengeluarkan sebuah senjata dari balik bajunya, ia mengarahkannya ke arah seseorang di balik tanaman bunga-bunga itu. "Keluar dari sana atau aku akan memecahkan kepalamu sekarang juga," ancamnya pada seseorang yang masih belum terlihat wajahnya.     

Dengan sangat terpaksa, orang yang berada di antara bunga-bunga itu keluar dan menghampiri Vincent. "Silahkan pecahkan kepalaku," sahut Martin yang tiba-tiba muncul di depan Vincent. Tidak ada ketakutan di wajah Martin, ia justru terlihat menatap pria di depannya itu dengan aura kemarahan yang sengaja di tahannya. "Cepat pecahkan kepalaku!" Martin seolah sedang menantang anak laki-laki dari Davin Mahendra itu. Bahkan dia mengarahkan senjata Vincent hingga menempel di kepalanya tanpa rasa takut sedikit pun.     

Tiba-tiba saja genggaman pistol di tangan Vincent melemah. Seolah pria itu sudah tak mampu mengangkat senjatanya sendiri. Air mukanya berubah seketika itu juga, Vincent terlihat pucat seakan telah melihat sesuatu yang sangat menakutkan di dalam hidupnya. "Martin! Bagaimana kamu bisa di sini?" Vincent tak percaya dengan seseorang yang baru dilihatnya saat itu.     

"Aku .... " Belum juga Martin menjawab pertanyaan itu, Brian dan Imelda sudah berjalan ke arah dua pria yang terlihat bersitegang itu.     

"Martin adalah tangan kanan Papa Adi Prayoga," sahut Imelda sambil berjalan ke arah mereka berdua. "Apakah kalian berdua saling mengenal?" tanyanya sangat penasaran.     

Tidak ada satu pun dari dua pria itu yang menjawab pertanyaan Imelda. Mereka berdua hanya saling menatap dengan wajah tak percaya. Bahkan kedua pria itu sama sekali tak bergerak dari tempat mereka berdua berdiri. Melukiskan sebuah pemandangan aneh dan penuh tanya bagi Brian dan juga Imelda.     

"Apa-apaan ini! Bukankah mereka seperti pasangan kekasih yang telah lama tak berjumpa." Tanpa sadar, Imelda mengatakan hal itu di depan suaminya. Dia berpikir jika Martin dan kakaknya memiliki hubungan yang spesial. "Brian! Apa mereka berdua adalah sepasang kekasih?" tanya Imelda pada pria di sampingnya.     

Brian tak tahu harus menjawab apa. Selama ini, ia tak pernah melihat Martin bersama dengan wanita manapun. Bahkan pria itu selalu saja menolak setiap ada wanita yang mendekatinya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.