Bos Mafia Playboy

Aku Bukan Sahabatmu!



Aku Bukan Sahabatmu!

0Imelda semakin kesal saat ketiga pria itu tak ada yang menjawab pertanyaan yang sudah diucapkannya. Dengan sekali gerakan saja, ia dapat menarik Vincent dari hadapan Martin yang terus menerus menatap tajam dirinya. "Apa kalian berdua adalah sepasang kekasih?" Lagi-lagi Imelda mengajukan sebuah pertanyaan yang terdengar tidak masuk akal bagi mereka semua.     
0

"Apa!" seru Vincent pada adiknya. "Aku masih pria normal yang bisa bergairah kalau melihat wanita telanjang. Untuk apa aku berhubungan dengan pria seperti dia," tegasnya sambil menatap sinis Martin yang masih belum mengatakan apapun tentang hubungan mereka.     

Lama-kelamaan Imelda semakin tak sabar. Kedua pria yang saling memandang dengan tatapan aneh itu tak memberikan jawaban apapun. "Brian! Tolong seret Martin, aku akan menyeret Kak Vincent." Dengan sedikit paksaan, dia berhasil membuat Vincent duduk di kursi yang tadi sudah diduduki oleh mereka. Begitu pula Brian juga sudah memaksa Martin untuk duduk bersama mereka. Mereka berempat duduk bersama di kursi taman dalam alam terbuka.     

"Bisakah kalian jelaskan, bagaimana Kak Vincent dan Martin bisa saling mengenal?" tanya Imelda dengan suara tegas dan juga tidak sabar untuk mendengar penjelasan dari mereka berdua.     

Vincent memandang Martin lalu beralih ke adiknya. Dia sangat tahu jika wanita di depannya itu sudah mulai kesal karena menunggu jawabannya. "Martin adalah sahabatku ketika aku masih menjadi pasukan khusus di tanah air," jawabnya dengan sedikit ragu.     

"Aku bukan sahabatmu!" elak Martin pada ucapan pria yang sejak tadi terus menatapnya penuh penyesalan. "Tidak ada seorang sahabat yang meninggalkan sahabatnya yang lain tanpa mengatakan apapun." Sebuah kekesalan yang selama ini telah disimpan, akhirnya tercurah juga. Terlukis begitu jelas aura kemarahan dan juga kekesalan Martin pada seorang pria yang baru saja mengaku jika mereka bersahabat.     

Brian dan Imelda akhirnya mengerti pokok permasalahan di antara kedua pria itu. Mereka berdua hanya senyum-senyum melihat dua orang pria yang saling memandang penuh arti. Seandainya mereka berdua seorang wanita, mungkin saja Vincent dan Martin sudah berpelukan begitu erat. Imelda tak bisa lagi menahan dirinya lagi, wanita itu justru terkekeh geli melihat interaksi dua pria yang sudah sangat lama tidak berjumpa. "Hentikan sikap kekanak-kanakan kalian berdua!" seru Imelda sambil bangkit dari tempat duduk sambil menarik tangan suaminya.     

Seolah langsung mengerti, Brian pun juga ikut bangkit dan berdiri di sebelah istrinya. "Sepertinya kami harus memberikan waktu secara pribadi pada kalian berdua," ucapnya sambil tersenyum kepada dua pria yang sedang duduk saling berhadapan.     

"Tetap di sini!" seru Vincent dan juga Martin dalam waktu yang bersamaan. Mereka berdua juga terkejut, bagaimana mereka bisa mengatakan hal yang sama dalam waktu yang sama juga.     

Gelak tawa langsung terdengar di antara mereka. Pasangan suami istri itu sama-sama tertawa lepas melihat kekompakan dua pria yang terlihat sedang kesal satu sama lain. "Kalian benar-benar sehati," ucap Imelda sambil menahan tawanya.     

"Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan untuk kita. Ayo, Sayang," ajak Brian sambil menarik tangan istrinya memasuki dalam villa. "Kita biarkan mereka membicarakan apa yang seharusnya mereka katakan," lanjutnya sambil memandangi Imelda masih menggenggam tangannya. Brian itu sengaja memberikan waktu pada mereka untuk meluruskan benang kusut yang telah lama terabaikan. Dia merasa jika Vincent dan juga Martin benar-benar telah menjalin persahabatan yang cukup erat.     

Setelah kepergian Brian dan Imelda, kedua pria itu tak langsung memulai pembicaraannya. Mereka berdua masih mengedepankan ego di dalam diri masing-masing. Hingga setelah belasan menit hanya saling memandang tanpa kata, akhirnya Vincent meruntuhkan sendiri keangkuhan di dalam hatinya. "Maaf. Aku tak mengatakan apapun padamu sebelum pergi ke daerah konflik di perbatasan." Itulah perkataan yang pertama kalinya diucapkan oleh Vincent kepada sahabat lamanya.     

"Untuk apa kamu mengatakannya kepadaku. Toh ... kita bukan apa-apa. Tak ada apapun yang mengikat hubungan kita," kesal Martin tanpa memandang lawan bicaranya. Dia justru memandangi beberapa bodyguard yang berlalu-lalang di sekitar villa. Kekecewaan Martin kepada Vincent sudah terlalu lama. Dia berpikir jika sahabatnya itu ingin mengabari dirinya, seharusnya Vincent bisa menghubungi via telepon dari tempatnya bertugas. Namun apa yang sudah terjadi benar-benar telah mengecewakan Martin, ia tak habis pikir jika seseorang yang sudah dianggapnya sebagai saudara justru menghilang begitu saja.     

Ucapan Martin tersebut seolah menjadi belati yang telah menancap di jantung Vincent. Rasanya begitu menyakitkan, saat sahabatnya mengucapkan kata-kata yang begitu tak acuh terhadap dirinya. "Apakah itu juga yang menjadi alasanmu keluar dari pasukan khusus?" Vincent masih penasaran dengan alasan sahabatnya itu meninggalkan tugas negara yang sedang diembannya.     

"Kamu pikir, siapa kamu? Bisa begitu mempengaruhi seluruh hidupku. Aku meninggalkan semuanya karena dengan Adi Prayoga, aku merasa dihargai dan juga mendapatkan sebuah tempat yang sesuai dengan keahlianku," terang Martin dengan senyuman datar seolah sedang menyembunyikan perasaannya sendiri. Meskipun sangat berat, Martin berusaha untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan ucapan Vincent terhadapnya.     

Sebagai seseorang yang sangat bersalah, Vincent telah kehilangan kata-katanya. Dia sadar jika kepergiannya yang tiba-tiba pasti membuat jurang antara dia dan Martin. Padahal sebelumnya, mereka dipasangkan sebagai pasukan khusus yang sangat kompak satu sama lain. Bahkan kedekatan mereka telah tersebar hingga ke seluruh pasukan. "Ada sesuatu yang membuatku sangat terpukul di hari yang sama dengan kematian Mama. Aku seolah telah kehilangan akal sehatku, tanpa berpikir panjang aku mengisi posisi kosong yang ada di daerah konflik perbatasan." Vincent mencoba menjelaskan apa yang terjadi sebelum dirinya menghilang begitu saja.     

"Apa yang sudah terjadi?" Martin curiga jika sahabat lamanya itu sudah mengetahui kejadian di hari Irene Mahendra tewas seketika.     

"Sebenarnya Mama Irene .... " Vincent tak mampu melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba Imelda sudah berjalan ke arah mereka.     

Imelda berjalan sendirian menuju ke kursi di taman samping. Dia bisa melihat jika ada ketegangan dia antara dua pria yang sedang bertatap muka itu. "Kak Vincent! Martin! Ayo kita sarapan dulu, makanan sudah siap. Jangan sampai aku menyeret kalian menuju meja makan!" seru Imelda dengan wajah serius dan tanpa senyuman sedikit pun.     

Mau tak mau, kedua pria itu langsung masuk sebelum Imelda benar-benar menyeret mereka berdua. Wanita itu memang begitu keras kepala dan tak mau kalah. Dia bisa melakukan apapun sesuai dengan keinginan di dalam hatinya. Mereka berempat duduk di sebuah meja makan besar di dalam villa itu. Sesekali Imelda memandang wajah suaminya sambil tersenyum kecil.     

"Aku tak menyangka kita benar-benar bisa menikmati makan pagi bersama," cetus Vincent sambil melirik sahabat lamanya. "Rasanya pasti sangat menyenangkan. Bukan begitu, Martin?" ledeknya sambil menatap Imelda ya duduk di samping suaminya.     

"Tutup mulutmu!" sahut Martin dengan wajah pucat sambil melirik istri dari sang bos mafia.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.