Bos Mafia Playboy

Pria Dengan Luka Tembak



Pria Dengan Luka Tembak

0Kevin mendekatkan wajahnya pada Brian. Kemudian mengucapkan beberapa kalimat dengan nada suara yang cukup pelan. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Baru saja, Martin membawa seorang pria yang cukup tampan dengan luka tembak ke klinik," bisik Kevin dengan ekspresi was-was. Dia juga tak mau jika tiba-tiba saja Imelda sudah berada di sana.     
0

"Siapa pria itu?" tanya Brian dengan sangat penasaran. Dia sangat khawatir jika pria itu adalah kakak iparnya sendiri.     

Dengan suara pelan dan setengah berbisik, Kevin kembali melanjutkan ucapannya. "Aku belum sempat menanyakan namanya karena tiba-tiba kamu menghubungiku. Namun cukup terlihat jika Martin memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pria dengan luka tembak itu," jelasnya dengan cukup yakin.     

"Mungkinkah itu Kak Vincent?" gumam Brian dengan keraguan yang cukup nampak di wajahnya. Tak bisa dipungkiri jika dirinya takut jika hal buruk terjadi pada kakak iparnya.     

"Siapa Vincent?" Kevin tak bisa menahan rasa penasaran di dalam dirinya. Dia bisa melihat jika sahabatnya itu cukup mencemaskan sosok pria yang bernama Vincent itu.     

Sayangnya ... sebelum Kevin mendapatkan jawaban dari Brian, istri dari sahabatnya itu lebih dulu masuk ke kamar. "Dokter Kevin, silahkan diminum dulu," ucap Imelda sambil memberikan secangkir teh hangat kepada sahabat suaminya.     

"Terima kasih, Dokter Imelda," balas Kevin sambil menerima secangkir teh hangat buatan dokter terhebat yang sangat dikaguminya selama ini.     

Imelda langsung duduk di sebelah suaminya sambil memberikan segelas air putih untuk meminum obatnya. "Minumlah obatmu, Brian," bujuknya sambil mengambil obat yang tadi dibawa oleh Kevin. Imelda memperhatikan suaminya, dia merasa Brian terlihat lebih baik setelah kedatangan Kevin di kamar itu.     

"Dokter Kevin. Haruskah aku meminum obatnya sekarang?" Sebuah pertanyaan dari Brian itu begitu penuh dengan isyarat yang hanya di mengerti oleh kedua pria itu. Dengan satu kedipan mata saja dari Brian, Kevin langsung mengerti maksud dari pertanyaan sahabatnya.     

Walaupun Kevin sedikit takut berada di dalam posisi yang sangat berbahaya itu, ia tetap akan membantu sahabat dekatnya. Dia tak ingin hubungan Brian dan juga istrinya menjadi tidak harmonis. "Lebih cepat lebih baik, Brian. Kenapa kamu memanggilku dengan sebutan 'dokter'?" tanya Kevin sambil menikmati segelas teh hangat di tangannya.     

"Apa kamu seorang perawat? Apa salahnya aku memanggilmu dengan sebutan itu?" Brian menahan senyuman di wajahnya karena terlalu kesal dengan Kevin yang mulai mempermasalahkan hal-hal kecil di matanya. "Apa kamu mau makan siang bersama kami? Kebetulan, sebentar lagi sudah waktunya makan siang," tawar Brian pada sahabatnya. Dia sebenarnya ingin sedikit mengulur waktu agar bisa melanjutkan pembicaraannya tadi dengan Kevin.     

Kevin terlihat sedang berpikir sebentar sebelum memutuskan jawaban apa yang akan diberikannya kepada sahabat dekatnya itu. "Baiklah. Aku akan tetap tinggal, jika Dokter Imelda mengijinkannya." Kevin terlihat mengulum senyuman di wajahnya. Dia sangat senang bisa bertatapan langsung dengan istri dari sahabatnya itu.     

Wanita itu justru terkekeh mendengar jawaban dari Kevin. Imelda tak menyangka jika sahabat suaminya itu bisa mengatakan candaan yang cukup konyol baginya. "Jangan bercanda, Dokter Kevin. Tentu saja aku mengijinkan kamu tetap tinggal. Sepertinya, suamiku juga menjadi lebih bersemangat saat Dokter Kevin berada di sini," balasnya dengan senyuman ramah.     

Kedua pria itu langsung melemparkan tatapan satu sama lain. Mereka tak menyangka jika dokter hebat seperti Imelda bisa tak menyadari sesuatu yang menyebabkan Brian terlihat tak berdaya. Namun dalam hati Brian, dia sangat lega karena istri kesayangannya itu tak mengetahui rasa sakit yang tadi sudah ditahannya. Imelda pasti akan merasa sangat bersalah jika mengetahui hal itu.     

"Silahkan mengobrol saja dulu, aku akan menyiapkan makan siang untuk kita." Imelda langsung keluar dari kamar itu untuk menyiapkan makan siang bersama beberapa pelayan yang bekerja di rumah itu.     

Brian mencoba bangkit dari tempat tidur, dia berusaha untuk berdiri. "Sebaiknya kita mengobrol saja di ruang kerja. Aku tak ingin jika Imelda mendengarnya dan menjadikannya berpikir yang berlebihan," ajaknya pada seorang pria yang menjadi sahabat dan juga dokter pribadinya selama bertahun-tahun belakangan.     

Saat mereka berdua berjalan menuju ke sebuah ruangan yang berada di paling pojok, tanpa mereka duga Imelda melihat semuanya. Dia pun menjadi penasaran, untuk apa kedua pria itu harus berpindah tempat. Mengesampingkan rasa penasarannya, Imelda kembali ke dapur untuk memeriksa beberapa makanan yang sudah disiapkan oleh para pelayan.     

Di dalam ruang kerjanya, Brian terlihat sedang mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. Namun sepertinya, panggilan telepon itu tak mendapatkan jawaban. "Sepertinya Martin tak membawa ponselnya, berkali-kali aku mencoba tetap tak ada jawaban," cetus Brian sambil terus berusaha menghubungi seseorang dari ponselnya.     

"Jangan cemas. Keadaan pria itu cukup stabil dan peluru itu juga hanya mengenai organ luarnya saja, tidak sampai menembus ke organ dalam," jelas Kevin cukup menyakinkan. Dia hanya bisa mencoba untuk menenangkan hati dari sahabatnya itu. "Kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi," keluhnya sambil menatap tajam wajah pria yang masih terlihat sibuk dengan ponselnya.     

"Pertanyaan apa? Apa yang kamu tanyakan padaku?" Brian benar-benar melupakan pertanyaan Kevin karena terlalu mencemaskan dan juga sangat penasaran dengan sosok pria yang dibawa Martin ke klinik milik sahabatnya itu.     

Kevin justru mengerutkan keningnya, ia sengaja menunjukkan kekesalan di dalam hati. "Apa-apaan kamu! Jangan mendadak amnesia! Bisa-bisa kamu beneran amnesia," ledeknya sambil senyum-senyum penuh arti. "Siapa itu Vincent?" tanyanya lagi pada sahabat dekatnya itu.     

"Kamu mengatakan sangat mengidolakan istriku. Namun kamu tak mengenal sosok Vincent Mahendra, bukankah itu cukup menggelikan?" balas Brian sambil menertawakan Kevin yang terlihat bingung dengan jawaban darinya. Pria itu tersenyum penuh kemenangan karena bisa membalas ledekan Kevin sebelumnya.     

Sebuah tatapan keraguan terlukis di wajah Kevin, dia masih belum mempercayai perkataan dari pria di depannya tadi. "Aku sudah mendengar tentangnya. Namun aku terlalu fokus pada Dokter Imelda hingga melupakan saudara laki-laki satu-satunya itu. Jika Vincent adalah kakak iparmu, lalu apa hubungannya dengan Martin? Bukankah keluarga Mahendra memiliki kebencian yang mendalam pada keluarga besarmu?" Kembali lagi Kevin menanyakan sebuah pertanyaan sulit untuknya.     

"Mereka berdua adalah sepasang sahabat lama. Lagi pula, pria yang dibawa Martin dengan luka tembak belum tentu Kak Vincent," jawab Brian dengan tidak yakin pada ucapannya sendiri. Di dalam hati, dia berharap jika seseorang yang bersama Martin adalah orang lain. Bukan seseorang yang cukup dekat dengannya.     

Seketika itu juga, pintu terbuka. Terlihat Imelda berdiri di depan pintu dengan wajah penuh tanya. "Apa yang kalian bicarakan tentang Kak Vincent? Siapa sebenarnya yang sudah terluka?" Wanita itu melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus pada dua pria yang terlihat cukup terkejut akan kehadirannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.