Bos Mafia Playboy

Hubungan Marco dan Martin



Hubungan Marco dan Martin

0Imelda menyadari jika Alex dengan sengaja ingin mengejar orang kepercayaan Adi Prayoga itu. Dia juga sangat tahu jika anak buahnya selalu kehilangan jejak Martin. "Berhentilah, Alex," teriak Imelda pada pria yang berusaha mengejar seseorang yang baru saja keluar dari ruangan. "Jangan membuat kekacauan di klinik Dokter Kevin," lanjutnya sambil berjalan ke arah Alex yang sudah menghentikan langkahnya.     
0

Dengan sangat terpaksa, Alex menghentikan langkahnya untuk mengejar seorang pria yang diduganya adalah Martin. Perintah Imelda seperti harga mati baginya. Melawan wanita itu sama saja dengan mendatangi kehancurannya sendiri. "Padahal jika aku bisa menangkap Martin, Bos pasti akan sangat senang," balasnya dengan tatapan aneh kepada Imelda.     

"Aku yang tidak senang," sahut Imelda sambil masuk ke dalam sebuah ruangan yang baru saja ditinggalkan oleh Martin. Baru masuk ke dalam ruang perawatan itu, tanpa sengaja dia berpapasan dengan seorang wanita yang cukup dikenalnya. "Dokter Laura! Bagaimana kamu juga bisa berada di sini?" Terlukis ekspresi terkejut di wajah Imelda. Dia tak menyangka akan kembali berjumpa rekan seprofesinya di klinik itu lagi.     

Wanita itu menunjukkan keterkejutan yang sama seperti Imelda. Sebuah senyuman hangat merekah dengan indah di wajahnya. "Apa kabar Dokter Imelda? Sudah cukup lama kita tak bertemu," sapa Laura pada seseorang yang dulu pernah bekerja di rumah sakit yang sama tempatnya bekerja. "Kebetulan Dokter Kevin tadi menghubungi aku dan memintaku untuk menangani pasien yang berada di dalam itu," jelasnya sambil memandang seseorang di atas ranjang.     

Semakin penasaran dengan pria itu, Imelda langsung menerobos masuk dan menyaksikan sendiri siapa yang bersama dengan Martin tadi. "Marco!" Hampir semua orang yang berada di sana sangat terkejut mengetahui Marco yang terluka karena sebuah tembakan di lengannya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Alex sambil mempercepat langkahnya ke arah Marco yang duduk sambil bersandar.     

Marco cukup terkejut dengan kedatangan mereka semua. Meskipun rasa nyeri masih sangat terasa di lengannya, dia masih mencoba untuk tersenyum menyambut kedatangan beberapa orang di sana. "Tenanglah, Alex. Hanya lecet sedikit saja," ucap Marco sambil senyum-senyum memandang wajah rekan setimnya.     

"Lecet kamu bilang. Kamu bisa saja kehilangan tanganmu!" kesal Alex karena teman yang selalu bersamanya itu terlalu meremehkan luka tembak di lengannya. "Oh iya ... bukankah yang baru keluar tadi adalah Martin?" tanyanya dengan sangat penasaran.     

Vincent yang mendengarkan percakapan mereka menjadi penasaran alasan Alex begitu ingin bertemu Martin. Dia pun berjalan mendekati dua pria itu dan berdiri tepat di samping Alex. "Apa kamu begitu ingin bertemu Martin?" tanyanya sambil menatap Alex yang juga berdiri di sebelah ranjang.     

"Martin itu sangat sulit ditangkap, ia juga selalu melakukan penyamaran dalam berbagai bentuk wajah. Selama ini kami semua kesulitan menangkapnya," jelas Alex dengan cukup bersemangat. "Dan satu lagi, Pak Davin Mahendra pasti akan senang jika kita bisa menangkapnya," tambah Alex dengan cukup menyakinkan.     

Ingin rasanya Marco mengelus dadanya sendiri. Dia tak menyangka jika rekan setimnya itu begitu terobsesi pada Martin. Padahal segala bentuk kejahatan yang dilakukan oleh Martin tidak secara langsung ataupun terang-terangan. Dia selalu melakukan apapun menggunakan tangan orang lain. Marco sebenarnya cukup mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang kepercayaan dari Adi Prayoga itu. "Jika menangkap Martin memang menjadi sebuah prestasi, cepatlah tangkap dia. Apa aku perlu memberitahumu lokasi keberadaannya sekarang?" ledeknya sambil tersenyum sini pada Alex.     

"Apa kamu dan Martin bersaudara?" tanya Vincent pada Marco.     

Sebuah pertanyaan yang terdengar begitu vulgar bagi Marco. Dia tak menyangka harus membuka jati dirinya di hadapan mereka semua. Dengan tatapan penuh arti, Marco memandang Vincent yang menatapnya cukup tajam. Dia berharap Vincent bisa mengabaikan pertanyaan itu. Apalagi ada Alex yang terlalu berlebihan tentang Martin. Rasanya, ia benar-benar tak ingin menjawab pertanyaan itu. "Aku dan Martin .... " Lidahnya seolah menjadi kelu dan tak mampu mengatakan kebenaran itu.     

"Aku sudah tahu jawabannya," sahut Vincent dengan tatapan penuh arti. "Apa kamu mengingat percakapan kita saat pulang dari bandara?" Pertanyaan itu merupakan sebuah isyarat bagi dua pria itu. Hanya mereka berdua yang mengetahui hal itu. "Aku sudah menduganya saat itu. Kamu tak perlu menjawabnya," ucap Vincent sambil sedikit tersenyum pada pria yang justru terlihat bingung mendengar ucapan anak dari atasannya itu.     

Alex mengambil ponsel dari saku celananya. Dia berharap bisa menghubungi seseorang untuk memberikan laporan tentang serangan itu. "Aku akan melaporkan insiden ini ke markas." Saat Alex sedang mencari nomor yang bisa dihubungi, Marco langsung bangkit dari ranjang dan merebut ponsel itu.     

"Hentikan, Alex! Aku ingin merahasiakan insiden ini. Tidak ada yang tahu selain aku dan ... Serangan bom di rumah Pak Davin sudah sangat merepotkan. Aku tak mau menambahkan masalah baru lagi," tegas Marco pada pria yang terlihat sangat bingung dengan keputusan sepihak darinya.     

Alex semakin tak mengerti dengan rekan setimnya. Padahal mereka berdua bekerja bersama cukup lama. Namun tetap saja dia tak pernah mengerti dengan pemikiran Marco. Mereka berdua akhirnya berdebat mengenai penembakan itu. Vincent yang juga berada di antara mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil mendengarkan dua pria itu saling beradu argumentasi.     

Di sisi yang lain, Imelda dan Laura duduk bersebelahan. Sedangkan Brian berada di kursi seberang mereka bersama Kevin. Mereka semua hanya menyaksikan perdebatan antara anak buah Davin Mahendra. Dengan ragu-ragu, Laura mendekati istri dari Brian lalu berbisik kepadanya. "Siapa pria tampan yang berdiri di antara mereka itu?" tanyanya dengan suara pelan.     

Seketika itu juga, Imelda terkekeh mendengar pertanyaan dari temannya itu. "Apakah kamu berniat mendekatinya? Bukankah sudah ada Dokter Kevin di sisimu?" ledeknya sambil tersenyum melirik Vincent yang terlihat tampan dan cukup menarik hati.     

"Kalau dia masih lajang, aku tak keberatan menjadi kekasihnya. Lagi pula, aku hanya bersahabat saja dengan Dokter Kevin," ungkap Laura sambil tersenyum lalu kembali memandangi Vincent yang terlalu mempesona baginya.     

Brian dan Kevin hanya tersenyum saja mendengar ucapan Laura yang cukup menyakinkan. Seolah wanita itu sudah sangat berharap bisa bersanding dengan Vincent. "Sepertinya Laura akan menjadi istri dari kakak iparmu," ucap Kevin pelan sambil menatap Brian yang hanya bisa menjadi pendengar yang baik.     

"Sepertinya Kak Vincent bukan seseorang yang mudah ditaklukkan. Beritahu sahabatmu agar berjuang keras untuk mendapatkan kakak iparku," sahut Brian sambil diam-diam melirik kakak iparnya yang masih berdiri di samping Alex. Dia juga menyadari jika kakak iparnya itu cukup tampan. Bahkan dilihat secara sekilas mereka berdua cukup mirip.     

Imelda yang melihat suaminya sedang memperhatikan kakak kesayangannya, tiba-tiba saja memiliki ide untuk mengerjai mereka. "Kak Vincent! Suamiku ingin mengobrol denganmu," seru Imelda sambil menahan tawanya membayangkan reaksi mereka berdua.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.