Bos Mafia Playboy

Aku Tak Bergairah Dengan Milikmu Itu



Aku Tak Bergairah Dengan Milikmu Itu

0Vincent memalingkan wajahnya setelah menyaksikan Brian dan Imelda meninggalkan Rooftop Secret Hotel. Dia pun beralih menatap sahabat lamanya yang sudah sekian lama tak bertemu. "Apa kamu mengetahui hubungan gelap mamaku dan Adi Prayoga?" Sebuah pertanyaan yang membuat pria di depannya itu langsung membulatkan matanya.     
0

Dengan keterkejutan yang seolah mampu meledakkan jantung, Martin membalas tatapan itu tak kalah tajamnya. Setajam pedagang yang mampu menembus jantung dan melemparkannya keluar dari dada. "Apa maksudmu? Aku tak pernah berpikir sampai ke sana. Yang kutahu, mereka berempat cukup dekat. Bahkan Adi Prayoga memiliki sebuah foto besar kedekatan mereka berempat. Gambar besar itu ada di ruang baca milik keluarga Prayoga," jelas Martin dengan sangat menyakinkan.     

"Kalau cuma itu, aku juga tahu. Persahabatan mereka dulu sangat dekat. Sayangnya, aku tak ingat sejak kapan papaku begitu membenci Adi Prayoga. Padahal aku bisa melihat jika mereka masih saling menyayangi saat itu." Vincent mencoba mengingat kenangan masa kecilnya. Namun dia tak mampu menemukan potongan-potongan kenangan yang mungkin saja bisa membuka rahasia besar di antara keluarga itu. Dia pun kembali memandang Martin dengan penuh arti. "Sebenarnya ... aku melihat Mama dan Adi Prayoga keluar dari hotel yang sama di pagi hari sebelum Mama tewas dalam kecelakaan itu," ungkapnya dengan tidak yakin.     

Martin langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia sangat terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu. "Bos tak mungkin berselingkuh dengan Irene Mahendra. Bukankah mereka bersahabat?" sahutnya dengan ekspresi tak percaya dengan yang baru saja di dengarnya.     

"Papa juga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Beliau berkata jika malam itu, Papa sengaja menyuruh Mama menginap di hotel karena dekat dengan tempat acara pelantikan." Vincent sengaja memberikan jeda pada perkataannya, ia ingin pria di depannya itu memahami kondisi dirinya pada saat itu. "Namun, aku bukanlah pria bodoh. Coba kamu pikir saja! Untuk apa pria dan wanita keluar dari hotel yang sama, kalau bukan untuk melakukan hubungan intim?" tegasnya dengan perkataan yang cukup vulgar dan sedikit emosi.     

"Bisa saja kamu sedang salah paham dengan pertemuan mereka," sahut Martin. Dia berusaha untuk memadamkan amarah dari Vincent. Sebagai seorang sahabat, Martin hanya bisa menenangkan hatinya tanpa bisa melakukan apapun tanpa seijinnya.     

Dengan wajah kecewa, Vincent tersenyum tipis memandang lawan bicaranya. Ada penyesalan yang begitu besar tersirat dari sorot matanya. "Aku sangat menyesal tak menyelidiki hal itu setelah kepergian Mama. Kebodohanku ... justru membuatku meninggalkan keluargaku saat itu, tanpa mengungkapkan kebenarannya," sesal Vincent dengan wajah yang merah padam. Hatinya terlalu sakit setiap kali mengingat kejadian pada hari itu. Sebuah penyesalan, kekecewaan dan juga rasa bersalah telah menawan hatinya.     

"Apa kamu ingin aku membantumu membongkar rahasia dari masa lalu itu?" tanya Martin dengan wajah serius. Dia berpikir hanya itu yang bisa dilakukannya untuk membantu sahabat lamanya.     

Vincent terlihat bingung untuk memberikan jawaban pada pria di depannya. Semua yang terjadi di dalam hidupnya terlalu rumit. Hal itu terkadang sangat menyesakkan dadanya. "Bagaimana dengan konspirasi yang kamu ceritakan kemarin? Kamu sama sekali belum menjelaskan apapun tentang hal itu," balasnya dengan tatapan penuh harap. Pria itu benar-benar tak tahu dengan siapa harus bersandar. Adik perempuan kesayangannya, terjebak dengan musuh keluarganya sendiri. Sedangkan sang ayah, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Vincent seolah ada di sebuah kapal dalam tengah-tengah lautan yang terombang-ambing tanpa tahu kemana arahnya.     

"Apa yang sedang kamu khawatirkan?" Lagi-lagi Martin kembali bertanya karena mencemaskan Vincent yang terlihat kehilangan harapannya.     

"Aku belum siap melihat kebenaran yang selama ini sedang mereka kubur semakin dalam. Soal konspirasi, aku pernah berpikir seperti itu. Pada hari itu, Papa batal mendapatkan promosi karena tak hadir dalam upacara pelantikan itu. Namun, bisa saja itu hanya sebuah kebetulan semata." Vincent terlihat semakin bingung pada ucapannya sendiri. Banyak hal yang terjadi terlihat sangat tidak masuk akal baginya.     

Sebuah seringai ditunjukkan Martin pada sahabatnya itu. "Kamu terlalu bodoh! Jaringan mafia yang terlibat dalam insiden kecelakaan itu, tak satupun yang berhasil ditangkap. Coba kamu pikir dengan baik, bagaimana hal itu bisa sampai terjadi?" ucap Martin dengan kekesalan yang mulai tersirat di setiap sorot matanya. Dia sengaja tak melanjutkan ucapannya, agar Vincent dapat menelaah setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Karena ada seseorang yang berkuasa di belakang mereka," lanjutnya lagi dengan sangat yakin.     

"Apa kamu menuduh atasan papaku yang merencanakan konspirasi di hari itu?" Lagi-lagi Vincent kembali memperlihatkan kebodohannya. Setiap kali mengahadapi sesuatu hal yang menyangkut kematian ibunya, ia seolah langsung kehilangan akal sehatnya. Bukan tanpa alasan, karena semua yang terjadi di masa lalunya terlihat sangat tidak masuk akal baginya.     

Dengan cukup kuat, Martin menarik rambutnya sendiri. Merasa sangat kesal ketika harus menghadapi kebodohan dari sahabatnya sendiri. "Aku tidak menuduh atasan dari Davin Mahendra. Bisa saja semua itu dilakukan oleh teman dekatnya sendiri. Mungkin saja orang itu berpikir jika seorang Davin Mahendra adalah ancaman besar baginya," jawab Martin tanpa keraguan sedikit pun.     

Vincent justru terkekeh mendengar penjelasan dari pria yang selalu mendukungnya itu. "Jangan berkata omong kosong! Kamu pikir kehidupan keluargaku seperti dalam film-film yang box office itu. Itu hanya imajinasi kamu saja yang berlebihan, Martin. Sepertinya aku telah salah menceritakan semua ini kepadamu." Vincent langsung bangkit dari tempat duduknya, seolah akan berniat meninggalkan tempat itu.     

"Mau ke mana kamu, Vincent?" tanya Martin sambil ikut bangkit dari kursinya.     

"Haruskah kita menghabiskan malam di sini?" Sebuah pertanyaan yang juga menjadi sebuah sindiran bagi Martin. "Ataukah kita perlu membooking sebuah kamar hotel?" goda Vincent pada pria yang mulai tidak tahan melihat kelakuannya.     

Seketika itu juga, Martin langsung terkekeh geli dan juga merasa jika ucapan Vincent sangat konyol. Dia tak menyangka jika pria itu mampu mengucapkan kata-kata yang terdengar menjijikan untuknya. "Sepertinya ... kamu bukannya menjadi pasukan khusus di daerah konflik, melainkan menjadi pria murahan yang selalu menggoda pria dan wanita tanpa pandang bulu," sindirnya telak cukup tajam dan sangat mengesalkan.     

"Apa kamu sedang menunjukkan kecemburuanmu? Ayolah .... " Vincent sengaja menyentuh lembut pundak Martin seolah dengan sengaja menggoda sahabatnya itu. Bahkan dengan bergaya sedikit feminim, ia mendekatkan tubuhnya pada Martin.     

Dengan cepat dan cukup kuat, Martin mendorong pria yang mulai menyentuh dirinya. "Dasar gila! Kamu sangat menjijikkan, Vincent!" teriaknya dengan amarah yang meledak hebat karena merasa sikap Vincent sudah melewati batas.     

Sontak saja, Vincent langsung tertawa lepas melihat ekspresi Martin yang menggelikan. Seolah pria itu percaya jika ia menyukai seorang pria juga. "Aku bukan pria murahan. Lagipula aku tak bergairah dengan milikmu itu. Aku masih pria normal!" balasnya.     

"Terserah kamu saja! Aku mau mencari pasangan yang baru saja bertengkar itu." Martin pun melangkahkan kakinya meninggalkan Vincent yang masih saja menertawakan dirinya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.