Bos Mafia Playboy

Jangan Seperti Anak Perawan



Jangan Seperti Anak Perawan

0Martin mengerti arah pembicaraan Vincent kepadanya. Dia ingin dirinya masuk dalam sistem keamanan jaringan intelijen itu. Pria itu tak mungkin mau melakukan sesuatu tanpa alasan apapun. "Kamu pikir ... data yang masuk ke dalam komputer itu lebih valid?" Martin melemparkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. "Terkadang ... data manual itu justru yang sebenarnya. Komputer lebih mudah direkayasa untuk menutupi tindakan yang tidak biasa," jelasnya pada ketiga orang dalam ruangan itu.     
0

"Kenapa tidak meminta bantuan Alex saja? Bukankah dia orang kepercayaan Papa?" sahut Imelda sambil bangkit dari tempat duduknya. Dia terlalu bersemangat untuk mengungkapkan dalang dari semua inside yang sudah menimpa keluarganya.     

Vincent langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Kemudian ia langsung menghubungi pria yang sudah cukup lama bekerja dengan ayahnya itu. "Alex, apa kamu sedang berada di markas?" tanyanya sambil memegangi ponsel di dekat telinganya. "Bisakah kamu membantuku memeriksa daftar orang yang sudah memakai mobil dinas yang biasa digunakan oleh papaku?" tanya Vincent pada seseorang yang berbicara dengannya di dalam ponsel. "Apa! Papa juga meminta daftarnya juga? Kirimkan segera sekarang juga!" pintanya pada sosok pria yang biasanya bekerja bersama adik dari Martin itu. "Baiklah. Terima kasih, Alex." Begitu panggilan berakhir, ia langsung meletakkan ponselnya di atas meja ya berada di sebelahnya.     

"Bagaimana?" tanya Imelda dengan wajah tidak sabaran.     

Sebelum Vincent memberikan jawaban, Brian pun sudah memahami maksud dari pembicaraan Alex dan kakak iparnya itu. "Sepertinya, Papa Davin lebih dulu meminta salinan daftar orang yang menggunakan mobil dinas itu," sahutnya dengan cukup menyakinkan.     

"Benar yang dikatakan oleh Brian, Papa sudah meminta salinannya pada Alex," balas Vincent dengan tatapan kosong yang terlihat sedikit bingung. Dia masih tak memahami segala sesuatu yang dilakukan oleh ayahnya itu. Vincent sangat yakin jika Davin Mahendra pasti akan kembali menutupi insiden yang menimpa keluarganya.     

Dengan langkah tak yakin, Martin kembali duduk di sebuah kursi yang tadi sudah dipakainya. Dia sedang mencoba untuk memikirkan sesuatu yang mungkin saja bisa membantu menemukan titik terang. "Untuk sementara, kita hanya bisa menunggu kabar dari Alex. Semoga dia bisa melakukan secepatnya," kata Martin sambil menatap layar ponsel milik Vincent yang berada di atas meja.     

Untuk beberapa saat, mereka semua terdiam tanpa mengatakan apapun. Suasana menjadi sedikit menegangkan karena tak ada obrolan di antara mereka. Sesekali mereka memandang layar ponsel Vincent untuk memastikan ada tidaknya pesan yang masuk. Waktu terasa begitu lambat bagi orang-orang di ruangan itu.     

Dengan sengaja, Brian menyentuh lembut jemari istrinya. Menggenggam nya dengan erat di bawah meja di depannya. Dia hanya berusaha untuk mencairkan ketegangan Imelda yang terlihat cukup jelas. Tak rela jika wanita yang dicintainya itu harus merasa tertekan karena kejadian yang terjadi dalam waktu belakangan. "Rileks, Sayang. Jangan seperti anak perawan yang mau menjalani malam pengantin," goda Brian sambil berbisik di telinga sang istri.     

"Jangan menggodaku, Brian. Kedua pria itu bisa menghabisi kita berdua jika terlihat bermesraan di hadapan mereka," balas Imelda dengan suara lirih. Sebenarnya, hatinya cukup berdebar mendapatkan perlakuan lembut dari sang suami. Imelda jadi memikirkan yang tidak-tidak tentang dirinya dan Brian. Tanpa sadar, wajah cantik wanita itu langsung merona. Imelda sedang membayangkan sesuatu yang indah bersama pria yang sejak tadi terus-terusan membelai jemari tangannya.     

Diam-diam, Vincent sedang memperhatikan pasangan suami istri di hadapannya. Dia merasa ada yang aneh dengan rona wajah Imelda yang bersemu merah sambil senyum-senyum memandangi suaminya. "Apa kalian berdua sedang melakukan hal mesum?" tuduhnya pada adik perempuan dan juga suaminya.     

Seketika itu juga, Brian dan Imelda memandang pria di depannya itu secara bersamaan. Mereka berdua tak merasa melakukan perbuatan yang tidak benar. "Tuduhan macam apa itu, Kak?" bukannya menjawab, Imelda justru kembali melemparkan sebuah pertanyaan pada kakak laki-lakinya.     

"Lihatlah wajah kalian! Seperti pasangan mesum yang sedang melakukan perbuatan tidak senonoh," terang Vincent sambil tersenyum sinis pada mereka berdua.     

Brian hanya bisa tersenyum kecil mendengar semua ucapan kakak iparnya itu. Seolah Vincent sedang memperlihatkan kecemburuannya pada hubungan mereka. "Sepertinya tak masalah jika berbuat mesum pada pasangan sendiri. Apalagi di rumah kami sendiri," balas Brian dengan telak, membuat Vincent kehilangan kata-katanya.     

Imelda langsung menatap Brian cukup dalam. Dia senang saat suaminya itu bisa membalas ucapan kakaknya yang sedikit berlebihan. Rasanya, Imelda semakin jatuh hati pada sosok pria yang sedang duduk di sebelahnya itu. Setiap apapun yang dilakukan oleh Brian, selalu berhasil membuatnya terkagum-kagum dan juga selalu berhasil menggetarkan hatinya. Bahkan rasanya jantung Imelda seolah hampir meledak karena berdekatan dengan suaminya. "Brian, bisakah kamu mengambilkan aku jus buah di dalam lemari pendingin?" pintanya pada sang suami.     

"Baiklah, Sayang." Brian langsung bangkit dari tempat duduknya lalu beranjak ke dapur untuk mengambil minuman yang diminta oleh istrinya.     

"Kamu sengaja mengusir Brian agar kamu bisa menyembunyikan perasaanmu," sindir Martin tanpa melihat ke lawan bicaranya. Dia bisa menebak dengan tepat, perasaan gelisah Imelda saat berdekatan dengan suaminya itu.     

Imelda cukup terkejut mendengar ucapan Martin terhadapnya. Dia tak menyangka jika pria itu bisa membaca pikirannya. "Apakah selain menjadi hacker kamu juga seorang peramal, Martin? Bagaimana kamu bisa membaca pikiranku?" Lagi-lagi Imelda menunjukan sisi keterkejutan di dalam wajahnya. Dia masih tak dapat mempercayai dengan yang dikatakan Martin kepadanya.     

"Tak perlu menjadi peramal untuk melihat pikiranmu. Bukankah di kepalamu itu hanya berisi pria playboy itu?" sahut Vincent dengan suara sinis. Terlihat sangat jelas jika pria itu sangat tak menyukai adik iparnya sendiri. "Dasar pasangan mesum!" sindirnya sambil melirik Brian yang sudah berjalan ke arah mereka.     

Tak berapa lama, Brian sudah berada di antara mereka. Dia membawa 4 gelas jus buah yang sengaja disiapkan untuk mereka semua. Setelah meletakkan gelas di atas meja, ia kembali duduk di sebelah sang istri. "Silahkan di minum, Kak Vincent. Kamu juga Martin," ucapnya dengan ramah. Brian mengambil satu dan memberikan pada Imelda. "Minumlah, Sayang." Pria itu membantu istrinya untuk memegang gelas jus buah itu dengan penuh kasih sayang.     

"Terima kasih, Brian," ungkap Imelda dengan perasaan tulus dan tentu saja menyiratkan sebuah cinta yang cukup besar. Pria itu hanya tersenyum hangat tanpa mengatakan apapun pada istrinya.     

Tiba-tiba saja, ponsel milik Vincent berdering cukup kencang memecahkan keheningan di antara mereka. Sang empunya pun langsung mengambilnya dan menerima panggilan itu secepatnya mungkin. "Bagaimana, Alex? Kami sudah menunggu kabar darimu," jawab Vincent dengan sangat tidak sabar. "Apa! Untuk apa Papa melarangmu mengirimkan itu?" Vincent berteriak cukup keras hingga mereka bertiga sedikit terkejut.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.