Bos Mafia Playboy

Hilangnya Barang Bukti



Hilangnya Barang Bukti

0Alex menatap Marco dengan wajahnya yang sama sekali tak bersemangat. Dia merasa sudah melakukan dua kesalahan sekaligus. Mengkhianati atasannya dan juga tak bisa membantu Vincent untuk mendapatkan salinan daftar itu. Ada rasa menyesal sekaligus merasa tidak berguna akan dirinya sendiri. "Pak Davin baru saja memergokiku, saat mencoba mengirimkan daftar orang yang membawa mobil dinas," ucapnya dengan wajah bingung.     
0

"Apa hal buruk sedang terjadi?" Marco menjadi sangat penasaran pada cerita yang diungkapkan oleh Alex. "Siapa yang memintamu mengirimkan daftar itu?" tanyanya lagi.     

"Vincent dan juga Pak Davin Mahendra meminta salinan daftar itu dalam waktu yang bersamaan. Sayangnya, aku sama sekali tak mengetahui, mengapa mereka berdua meminta salinan yang sama?" jelas Alex pada rekan kerjanya. "Cepatlah ganti bajumu! Pak Davin sudah menunggumu," tambahnya sambil bangkit dari tempat duduknya.     

Marco langsung mengambil pakaiannya di dalam almari dan memakainya seketika itu juga. Di waktu yang bersamaan, Kevin juga baru saja masuk ke ruangan itu. "Kenapa kamu berganti pakaian, Marco?" tanya Kevin pada pasiennya.     

"Terima kasih atas perhatian Anda selama ini, Dokter Kevin. Pak Davin Mahendra meminta saya untuk segera menemuinya," jawab Marco sambil merapikan rambutnya.     

"Sepertinya kamu akan mempersulit aku. Jika Dokter Imelda mendengar hal ini, pasti dia akan sangat marah," balas Kevin dengan wajah cemas. Dia merasa kalau Marco sudah dititipkan padanya. Kevin tak pernah bisa membayangkan kekesalan Imelda jika mendengar hal itu.     

Mendengarkan pembicaraan dua pria di depannya, Alex langsung berdiri di antara mereka. Dia bermaksud menjelaskan instruksi dari atasannya itu. "Dokter Kevin tak perlu khawatir, Pak Davin sendiri yang akan menghubungi anak perempuan kesayangannya." Alex mencoba menjelaskan hal itu agar Kevin tidak terlalu mencemaskan wanita itu.     

"Jika memang begitu, aku tak bisa menghalanginya lagi," sahut Kevin dengan cukup sopan dan ramah.     

Setelah membereskan beberapa administrasi, Alex dan Marco langsung meninggalkan klinik itu. Saat di tengah perjalanan, Davin Mahendra baru saja mengirimkan sebuah pesan jika ia sudah menunggu di rumahnya. Tanpa banyak berpikir Alex langsung membawa rekannya itu menuju kediaman keluarga Mahendra. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh agar sang atasan tidak terlalu lama menunggu kedatangannya.     

Begitu sampai di depan rumah mewah itu, Marco langsung turun dari mobil. Sedangkan Alex memilih untuk menunggu di luar. Sebenarnya Alex masih sedikit takut jika Davin Mahendra masih sangat marah terhadap kelakuan buruknya itu. Meskipun atasannya itu tak memberikan sanksi padanya, tetap saja ia merasa sangat bersalah.     

"Selamat siang, Pak Davin. Maaf sudah membuat Anda menunggu," sapa Marco pada sosok pria yang sedang duduk di ruang tamu. Terlihat jika atasannya itu sengaja menunggu kedatangannya.     

"Duduklah, Marco," sahut Davin Mahendra dalam wajah dingin tanpa senyuman sedikit pun.     

Davin Mahendra langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil sebuah berkas yang sudah disiapkannya di sebuah meja yang tak jauh dari sana. "Ini adalah daftar orang-orang yang memakai mobil dinas dalam seminggu belakangan ini." Dia pun memberikan sobekan kertas yang diambilnya saat mengetahui kelakuan Alex yang cukup berbahaya bagi organisasi. "Aku ingin kamu menghilangkan daftar nama itu dari database kita," perintah Davin Mahendra dengan sangat menyakinkan.     

Terlukis sangat jelas, wajah terkejut yang ditunjukkan oleh Marco pada atasannya. Dia merasa jika ada sebuah rahasia yang ingin ditutupi oleh atasannya. "Lalu ... apa hubungannya semua ini dengan Vincent?" Marco hanya bisa bertanya di dalam hatinya. Keterkejutan yang tiba-tiba itu, seolah melemahkan akal sehatnya. "Apakah kita perlu melakukan hal seperti itu, Pak?" tanyanya dengan sangat ragu.     

"Lakukan saja perintahku!" tegas Davin Mahendra pada anak buahnya itu. Pria itu bangkit dari tempat duduknya lalu memandang Marco dengan tatapan dingin. "Lakukanlah di sini, sekarang juga! Kamu bisa memakai komputer di ruanganku," lanjutnya sambil melangkahkan kaki menuju ke sebuah ruangan di mana dirinya melakukan pekerjaannya di rumah.     

Meskipun tak mengerti dengan maksud dari atasannya itu, Marco juga tak mungkin menolak perintah Davin Mahendra. Perintah dari Davin Mahendra, sudah seperti harga mati baginya. Dengan langkah yang berat dan juga sedikit bingung, ia pun menyusul sang empunya rumah yang lebih dulu masuk ke ruang kerjanya. Terlihat, sebuah komputer sudah bersiap untuk menyambut dirinya. "Apa Anda yakin ingin melakukan ini?" Marco mencoba untuk menyakinkan ayah dari Vincent Mahendra itu.     

"Lakukan sekarang! Jangan sampai kamu melakukan hal bodoh seperti yang dilakukan Alex tadi pagi," tegas Davin Mahendra sambil berdiri di samping seorang hacker profesional yang sudah cukup lama bekerja dengannya. Dia sengaja ingin mengawasi Marco agar tidak melakukan tindakan ceroboh dan juga berbahaya bagi organisasi.     

Dengan sangat lincah, Marco memainkan jari-jarinya di atas keyboard komputer. Pria itu sangat ahli melakukan pekerjaan itu. Tak butuh waktu lama, Marco sudah berhasil melakukan tugas yang diberikan oleh Davin Mahendra. Dia pun langsung bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di sebelah kursi. "Semua sudah beres. Silahkan Anda periksa," ucapannya sambil melirik sobekan kertas di sebelah keyboard.     

"Ini yang selalu aku suka darimu, Marco. Kamu selalu melakukan pekerjaanmu dengan sangat cepat. Aku yakin kamu bisa mengalahkan tangan kanan Prayoga itu," puji Davin Mahendra pada sosok pria di sebelahnya.     

"Aku tak sehebat kakakku, Pak Davin Mahendra," jawab Marco di dalam hatinya. Dia tak mungkin berani mengakui kebenaran yang mungkin saja akan sangat mengejutkan bagi Davin Mahendra. Marco memilih menutupi hal itu dari atasannya sendiri.     

Tanpa berpikir lagi, Davin Mahendra mengambil selembar kertas yang sejak tadi terus dilirik Marco. Dia pun melemparkannya ke tempat sampai lalu membakar daftar nama itu di depan Marco. "Aku bisa melihat jika kamu menginginkan daftar nama itu. Jangan berpikir untuk membantu Vincent untuk mendapatkan daftar nama itu." Sebuah ucapan yang terdengar lirih namun sarat ancaman. Davin Mahendra sengaja memberikan tekanan dalam setiap kata yang telah diucapkannya.     

Seketika itu juga, wajah Marco menjadi lebih pucat. Dia tak menyangka jika atasannya itu menyadari gerak-geriknya. Sebagai seorang anak buah, Marco menjadi sangat tidak nyaman berada dalam posisi seperti itu. Sepertinya sebuah benda yang mulai menghimpitnya, Marco merasa seperti akan kehabisan udara.     

"Kamu boleh melanjutkan tugasmu dengan Imelda dalam beberapa hari belakangan. Sepertinya anak masih membutuhkan bantuanmu," ucap Davin Mahendra pada anak buahnya.     

Marco pun tersenyum memandang atasannya itu. Dia tak menyangka jika dirinya masih bisa beristirahat dalam beberapa hari. "Kalau begitu saya permisi, Pak," pamitnya pada sang atasan lalu beranjak meninggalkan ruangan itu.     

"Tunggu!" seru Davin Mahendra sambil memegang kuat lengan Marco untuk menghentikannya.     

"Aduh!" Secara refleks Marco berteriak karena Davin Mahendra mengenai bekas luka di lengannya.     

Pria tua itu langsung membulatkan matanya dengan tatapan tajam pada Marco yang sedang menahan rasa sakit. "Ada apa dengan lenganmu?" tanya Davin Mahendra.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.