Bos Mafia Playboy

Wanita Penggoda



Wanita Penggoda

0Secara bersamaan, Alex dan Martin memandang ke arah yang sama. Mereka berdua sedikit terkejut dengan pertanyaan yang diajukan oleh Marco. Tak ada seorang pun dari mereka yang berniat memberikan jawaban itu. Hanya saling memandang tanpa mengatakan apapun pada seorang pria yang sedang menunggu jawaban itu.     
0

"Apa kalian berdua tak bisa menjawab pertanyaanku?" tanya Marco yang sudah sangat tidak sabar menanti jawaban dari dua pria yang sejak tadi hanya saling memandang. "Kak!" panggilnya.     

Martin hanya terdiam lalu menatap Alex sekilas. "Tanyakan saja pada rekan kerjamu itu, apa yang sudah dia katakan padaku?" balasnya dengan wajah datar dan tanpa rasa bersalah sedikit pun.     

"Alex! Apa yang sebenarnya kamu katakan pada kakakku?" tanya Marco dengan wajah yang semakin tidak sabar.     

Alex tak langsung memberikan jawaban pada pria yang sudah cukup lama bekerja dengannya itu. Dia merasa sedikit ragu untuk memberitahukan ucapannya pada semua orang yang berada di ruangan itu. Mendadak suasana berubah mencekam, semua mata tertuju pada Alex. Mereka semua juga sudah sangat tidak sabar untuk mendengar jawaban Alex.     

"Aku mengatakan jika ... Martin hanyalah kacung Adi Prayoga," ungkap Alex sambil menundukkan kepalanya.     

Meskipun sangat lirih, Marco bisa mendengarnya dengan jelas. Seketika itu juga, ia langsung naik pitam. Dengan sekali gerakan saja, Marco sudah memberikan pukulan keras hingga Alex tersungkur ke lantai. "Brengsek! Jangan anggap remeh kakakku! Secuil pun, kamu tak sebanding dengannya," seru Marco sambil menatap tajam rekan setimnya.     

Martin langsung memegangi tubuh adiknya, dia tak ingin jika Marco sampai mengotori tangannya sendiri. "Hentikanlah! Bukannya dia juga sudah meminta maaf. Tak seharusnya kamu memukulinya lagi," tegas Martin tanpa melepaskan pria di tangannya.     

Vincent yang melihat hal itu, langsung memberikan pertolongan pada Alex. Dia membantunya untuk bangun dan kembali duduk di kursi. Vincent tak menyangka jika semuanya menjadi semakin rumit. Yang lebih mengejutkan lagi baginya, ucapan Alex itu sungguh sangat keterlaluan. Dia berpikir, Martin terlalu baik hati jika hanya memberikan sebuah pukulan saja.     

"Kakak tak seharusnya hanya memukul Alex saja, dia memang pantas untuk dihabisi. Aku tak peduli meskipun kami teman dekat. Perkataannya telah membuat penghinaan yang cukup besar untuk kakakku. Rasanya aku sangat tidak rela," seru Marco dengan wajah geram dan sangat kesal karena tak bisa terus memberikan pelajaran pada Alex.     

Brian hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat drama di antara tiga pria itu. Dia cukup menjadi saksi atas perdebatan sengit di antara mereka. Bukan karena ia tak peduli, Brian merasa mereka sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah yang terlalu kecil itu. "Martin ... lebih baik antarkan Marco pulang. Dia masih harus banyak istirahat," cetus Brian untuk membuat keadaan semakin tenang.     

"Aku mengerti. Maaf telah banyak merepotkan kalian," sesal Martin dengan suara yang cukup lembut dan nyaman di telinga.     

"Tak masalah. Pergilah ke klinik Kevin, biarkan dia merawat lukamu," bujuk Brian pada orang kepercayaan dari ayahnya itu. Dia cukup mengkhawatirkan Martin, meskipun bukan luka serius. Tetap saja dia tak ingin Martin terluka.     

Tanpa memberikan bantahan apapun, Martin langsung membawa adiknya pulang. Dia tak ingin Marco menjadi kelelahan karena keributan yang sejak tadi terjadi di antara mereka. Selain itu, adik laki-laki satu-satunya itu masih harus beristirahat untuk memulihkan kondisinya.     

Di dalam private room, suasana masih cukup hening. Tak ada satu perkataan pun yang keluar dari mulut mereka. Alex merasa tak enak hati dan memutuskan untuk segera pergi dari sana. "Sepertinya aku juga harus pergi dari sini. Maaf sudah mengacaukan semuanya." Alex mencoba dengan tulus mengatakan hal itu pada mereka semua. Dia juga merasa sangat bersalah telah melakukan sebuah kebodohan yang cukup fatal. Untung saja, Martin mau memaafkan kesalahannya.     

"Tolong antar aku pulang dulu, tadi aku datang bersama Martin. Dia sepertinya sudah melupakan diriku," sahut Vincent sambil menyusul Alex yang sudah hampir keluar dari ruangan itu.     

Satu persatu, mereka semua sudah pergi meninggalkan restoran. Tinggallah Brian dan Imelda hanya berdua saja. Pria itu lalu memandang istrinya dengan penuh cinta. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Sayang? Haruskah kita jalan-jalan sebentar?" tanya Brian pada sosok wanita yang selalu di hatinya.     

"Apakah tidak terlalu berbahaya untuk kita keluar tanpa bodyguard?" tanya Imelda pada suaminya. Bukan tanpa alasan, serangan bom di rumahnya beberapa waktu lalu cukup membuat Imelda harus memikirkan keselamatannya. Apalagi, ada sebuah nyawa yang harus selalu dijaga dan dilindungi.     

Brian sangat mengerti kekhawatiran Imelda. Dia tak ingin menambahkan beban di dalam hatinya. "Kalau begitu, lebih baik kita langsung pulang saja," ajaknya sambil bangkit dari kursi. Pasangan itu langsung turun ke restoran bawah. "Sayang. Duduklah di sini sebentar, aku akan melakukan pembayaran dulu," ucap pria itu sambil memberikan belaian di kepalanya.     

Imelda hanya mengembangkan senyuman di wajahnya lalu duduk di sebuah kursi yang berada tak jauh dari kasir restoran itu. Sejak dia duduk, Imelda selalu saja memandang ke arah suaminya. Ada aura aneh yang membuatnya selalu tertarik untuk memandangi wajah tampan Brian.     

Brian berdiri di depan kasir sambil sesekali memandangi istrinya. Begitu selesai melakukan pembayaran, tanpa diduga ada seorang wanita yang datang dan memeluknya begitu saja.     

"Brian! Aku sudah sangat merindukanmu. Setelah aku menurunkan kamu di jalanan, rasanya aku begitu sulit menghubungimu." Tanpa basa-basi, wanita itu langsung memeluk erat Brian . Tak peduli mereka sedang berada di tempat umum.     

"Lepaskan, Cindy! Apa-apaan kamu!" protes Brian sambil mundur beberapa langkah untuk memberikan jarak pada wanita yang datang dengan pakaian yang cukup terbuka dan juga terlalu ketat. Pria itu jelas sangat risih dengan tingkah wanita itu.     

Cindy terlihat kecewa dengan penolakan Brian. Namun wanita itu tak menyerah begitu saja. Dia justru semakin mendekati Brian sambil memberikan sentuhan menggoda di dada Brian. "Ayolah, Brian ... jangan munafik! Kamu pasti juga sangat menginginkan aku," bisik wanita itu dengan suara yang cukup menggoda.     

"Jauhi aku!" tegas Brian dengan suara yang jelas dan sedikit keras sampai Imelda yang sejak tadi memperhatikan mereka juga ikut mendengarnya. Brian semakin tidak tahan dengan kegilaan Cindy terhadapnya. Dia pun memilih meninggalkan wanita itu begitu saja. "Sayang. Ayo kita pergi sekarang, aku tak tahan berada di sini," ajaknya sambil menggenggam tangan Imelda cukup erat.     

Cindy yang melihat Brian menggandeng seorang wanita langsung mengerutkan keningnya. Dia merasa sangat cemburu melihat Brian begitu dekat dengan wanita lain. "Bukankah wanita itu adalah sepupunya? Bagaimana mereka bisa sangat mesra?" gumamnya sambil terus memandangi Brian yang masuk ke dalam mobil lalu menghilang dari pandangannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.