Bos Mafia Playboy

Meretas Nomor Ponsel



Meretas Nomor Ponsel

0Brian dan juga Imelda kembali ke kediaman Mahendra untuk mengambil beberapa barang yang masih tertinggal di sana. Apalagi beberapa pakaian Imelda yang berada di villa Prayoga mulai terasa sesak dan tak muat lagi. Mereka pun mencari, bahkan mengeluarkan seluruh isi lemari di kamar Imelda.     
0

"Sayang. Jika tak ada pakaian yang pas di tubuhmu, kenapa kita tak membeli yang baru saja?" tawar Brian Prayoga pada wanita hamil yang tak lain adalah istrinya sendiri.     

"Apa kamu bosan menemaniku di sini?" Imelda mulai kesal pada suaminya. Ia terlihat sedang mengerucutkan bibirnya dalam wajah yang tak bersemangat.     

Pria itu kemudian ikut duduk di sebelah Imelda yang memilih untuk duduk di atas lantai kamarnya. Bukan karena bosan atau bagaimana, Brian hanya tak ingin jika istrinya itu sampai kelelahan.     

"Bukan bosan, Sayang. Seharian kita sudah melakukan banyak hal, aku takut kamu akan kelelahan." Brian mencoba untuk menjelaskan maksud dari ucapannya. Ia hanya bisa berharap jika istrinya itu tak lagi salah paham kepadanya.     

Setelah terdiam sejenak, Imelda pun bangkit dari duduknya. Ia mulai beralih ke atas ranjang yang berada di kamarnya. Awalnya, ia merasa sangat kesal karena suaminya itu seolah tak pernah sejalan dengannya. Namun akhirnya, ia mengerti jika Brian hanya memikirkan bayi dan juga dirinya.     

"Kamu benar, Brian. Sepertinya aku tak akan muat memakai pakaian-pakaian itu. Akan lebih baik kita membeli dengan ukuran yang lebih besar." Imelda mulai mengeluhkan kondisi tubuhnya yang mulai berubah. Bahkan segala pakaian yang dipakainya harus lebih besar dari sebelumnya.     

Brian tersenyum senang karena wanita itu akhirnya mengerti dengan maksud hatinya. Ia pun memeluk Imelda di antara ratusan pakaian yang sudah berhamburan di dalam kamar itu.     

"Lebih baik kita pulang dan beristirahat sebentar. Setelah itu kita bisa mencari sebuah toko yang sesuai dengan keinginanmu," bujuk Brian pada sosok wanita yang masih berada di pelukannya.     

Mereka berdua lalu keluar dan meminta beberapa pelayan di rumah itu untuk membereskan segala kekacauan di dalam kamar Imelda. Setelah wanita yang menyuruh dua orang pelayan yang kebetulan sedang membersihkan setiap sudut rumah itu.     

"Mbak!" panggil Imelda pada seorang pelayan yang kebetulan sedang membersihkan lemari besar di depan kamarnya. "Tolong bereskan kamarku. Ajak juga Bibi untuk membantumu," tambah Imelda dalam senyuman lembut yang terukir di wajahnya.     

"Baik, Nona," sahut pelayan yang masih cukup muda yang bekerja di kediaman Davin Mahendra.     

Wanita itu pun memegang erat lengan suaminya, ia mengajak Brian untuk segera kembali ke sebuah tempat yang dianggapnya sebagai rumah yang paling nyaman bagi mereka.     

Saat akan melewati pintu utama, di saat itu pula pasangan itu bertemu dengan Marco yang kebetulan baru saja datang ke rumah itu. Pria itu mengembangkan senyuman hangat pada Brian dan juga Imelda.     

"Apa kalian akan pergi sekarang?" sapa Marco saat melihat pasangan itu seolah sudah bersiap untuk meninggalkan rumah mewah yang cukup besar itu.     

"Kami baru saja akan kembali. Apa ada sesuatu yang penting hingga Papa memanggilmu?" Imelda tentunya sangat penasaran dengan kedatangan Marco di rumah itu. Apalagi kedatangannya tanpa Alex, yang biasanya begitu kompak bersama mereka.     

Marco memandang sekeliling, ia memastikan jika yang akan dikatakan itu tak terdengar oleh orang lain. Ia juga cukup takut, jika Davin Mahendra berada di sana.     

"Aku juga tak yakin dengan alasan Bos memintaku datang sekarang. Sepertinya hal buruk sedang terjadi." Marco menghentikan ucapannya lalu lebih mendekatkan dirinya. "Aku curiga jika Bos baru saja memukuli atasannya. Kulihat wajah Pak Jeffrey babak belur bersamaan luka di tangan Bos Davin," terang Marco sedikit berbisik-bisik pada mereka berdua.     

Setelah mengatakan hal itu, Marco langsung bergerak masuk ke dalam rumah itu lalu masuk ke ruangan kerja Davin Mahendra. Terlihat pria tua itu sudah menunggunya dengan wajah yang sangat tidak sabar.     

"Apa yang dikatakan Jeffrey?" Dengan tergesa-gesa, Davin Mahendra langsung melemparkan pertanyaan itu begitu Marco masuk ke dalam ruang kerjanya.     

"Beliau tak mengatakan apapun. Namun beliau terlihat tidak baik-baik saja. Wajahnya babak belur seperti habis dihajar oleh seseorang dengan cukup kejam," ungkap Marco kepada atasannya itu. Ia sama sekali tak mengetahui alasan Davin Mahendra memanggilnya secara pribadi.     

Pria tua itu mengambil secarik kertas lalu menuliskan beberapa angka di atasnya. Setelah beberapa saat, Davin Mahendra memberikan sebuah catatan kecil itu pada Marco.     

"Aku ingin kamu meretas nomor itu. Kira-kira siapa saja yang berhubungan secara langsung dengannya. Kalau bisa, lakukanlah secepat mungkin. Ini sangat penting bagiku." Davin Mahendra terlihat sangat tidak sabar untuk mengetahui nama-nama yang berhubungan secara langsung dengan pemilik nomor ponsel itu.     

Marco akhirnya memahami alasan dirinya dipanggil secara pribadi. Bukan pertama kalinya ia harus datang dan melakukan sebuah misi yang diberikannya secara pribadi.     

"Besok pagi aku akan menemui Anda, Bos." Marco pun pamit pergi setelah mendapatkan sebuah misi khusus yang diberikan oleh Davin Mahendra kepadanya. Ia pun keluar dari ruangan itu dan berniat untuk langsung pergi dari sana.     

Belum juga sampai di depan rumah, Brian dan juga Imelda seolah telah menantikan kedatangannya.     

"Apa yang diperintahkan oleh Papa padamu, Marco?" Imelda sangat yakin jika ayahnya telah memberikan sebuah tugas penting untuk adik laki-laki dari orang kepercayaan Adi Prayoga.     

"Bos memintaku untuk meretas sebuah nomor ponsel. Dia ingin aku memeriksa siapa saja yang berhubungan langsung     

dengan sang pemilik ponsel," jawab Marco. Pria itu tentunya tak berani untuk membohongi Imelda. Ia tak ingin berurusan dengan wanita yang akan berubah sangat kejam saat sedang kalap.     

Imelda dan Brian saling melemparkan tatapan penuh arti. Mereka juga penasaran dengan sosok yang sedang diselidiki oleh Marco.     

"Bisakah aku melihat nomor ponsel yang diberikan Papa?" Brian tak ingin membiarkan Imelda maupun dirinya tersiksa dalam rasa penasaran. Mereka harus melihat sebuah nomor yang diberikan oleh Davin Mahendra kepadanya.     

Dengan sedikit terpaksa, Marco memberikan sebuah kertas kecil yang berisikan sebuah nomor ponsel. Begitu melihat catatan kecil itu, Brian tanpa sadar membulatkan mata dalam wajah sedikit terkejut. Meskipun ia sudah menduganya, melihat catatan itu masih saja mengejutkan dirinya.     

"Seperti dugaanku, ini adalah nomor ponsel Mama Natasya. Apa yang ingin Papa ketahui tentang Mama?" Brian menjadi semakin penasaran dengan sesuatu yang ingin diketahui oleh ayah mertuanya.     

"Kupikir hal buruk telah terjadi. Selama ini Papa tak pernah peduli dengan segala perbuatan Mama Natasya. Namun kenapa tiba-tiba Papa menyelidikinya. Mungkinkah ini berhubungan dengan Om Jeffrey?" Imelda juga tak begitu yakin dengan segalanya. Semua terlihat abu-abu, terlalu sulit untuk dipahaminya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.