Bos Mafia Playboy

Merasa Sedang Dimanfaatkan



Merasa Sedang Dimanfaatkan

0"Apa! Jadi Adi Prayoga dan juga Davin Mahendra mencintai orang yang sama?" Selama ini, Eliza sama sekali tak mengetahui hal itu. Ia cukup terkejut bahkan sangat terkejut mendengar hal itu. Saking terkejutnya, ia sampai meninggikan volome suaranya.     
0

Martin pun bergegas memberikan isyarat agar Eliza menurunkan volume suaranya. Wanita itu langsung paham dan kembali berbicara pelan pada sosok pria yang sudah sangat dicintainya.     

"Apa kamu yakin, Martin? Apakah alasan ini juga yang membuat Tante Natasya memilih untuk menjalin hubungan dengan papaku?" tanya Eliza lirih dalam wajah yang sangat penasaran.     

"Ceritanya sangat rumit," bisik Martin di telinga Eliza. Tanpa diduga oleh wanita itu, Martin justru mengecup singkat pipinya.     

Eliza tampak malu dengan wajah yang merah merona. Ia merasa sangat bahagia saat Martin memperlakukannya seperti itu. Bahkan ia merasakan sebuah debaran yang seolah mampu meledakkan jantungnya.     

Mereka berdua saling memandang satu sama lain, melemparkan sebuah perasaan yang begitu sulit untuk diucapkan. Sebuah ungkapan cinta terasa begitu berat untuk diucapkan daripada sebuah tindakan yang cukup berarti.     

Di saat Martin mulai mendekatkan bibirnya ke wajah Eliza, wanita itu terlihat sangat pasrah dalam perasaan berbunga-bunga yang bermekaran sangat indah.     

Tanpa sadar, Eliza memejamkan mata. Jarak di antara mereka begitu dekat, hingga akhirnya ... Martin mengikis jarak diantara mereka tanpa menyisakan satu inci pun.     

"Apakah yang tadi tidak cukup?" Brian yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu menjadi kesal karena ulah pasangan baru itu. "Setidaknya lakukan itu di hotel, bukan di rumah sakit," kesalnya pada Martin dan juga Eliza yang hanya saling memandang sembari melemparkan senyuman hangat.     

"Siapkan aku sebuah kamar hotel, Brian! Rasanya aku sudah tak sabar untuk melepaskan semuanya," goda Martin tanpa melepaskan tangan dari wajah Eliza. Wanita itu seolah telah terhipnotis, ia sama sekali tak menolak ataupun menghindari sentuhan dari kekasih barunya.     

Lagi-lagi Brian kembali bergumam tidak jelas karena terlalu kesal dengan kemesraan yang ditunjukkan oleh Martin dan juga Eliza. Seolah ia sangat muak dengan pemandangan di depannya.     

"Jangan bilang kamu sedang menunjukkan kecemburuan, Brian," ledek Martin diiringi senyuman geli pada sosok pria yang duduk tak jauh dari Imelda.     

"Dasar!" Hanya kata itu yang dilontarkan oleh Brian pada pasangan kekasih yang sedang dilanda asmara. Ia pun langsung meneguk air mineral dingin yang tadi sempat di belinya. Setidaknya, air dingin itu sedikit mendingan dirinya.     

Tak ingin suasana semakin menegang, Martin pun mencoba membicarakan hal serius pada anak dari bos-nya itu. Sejujurnya, ia merasa bersalah karena tak bisa melakukan apapun di saat keadaan cukup sulit untuk mereka.     

"Bagaimana dengan keberadaan bahan peledak yang berhasil dicuri itu? Apa kalian menemukannya?" Kali ini, Martin mencoba untuk berbicara serius pada Brian. Tentunya ia juga ingin mengetahui kondisi terbaru dari bos-nya.     

"Kami hanya fokus menemukan anak dari pelayan di rumah Papa saja. Lagi pula ... Rizal Hartanto mendatangi rumah itu saat kami belum melakukan pemeriksaan," jelas Brian pada kaki tangan ayahnya.     

Mendengar nama ayahnya telah disebutkan, Eliza langsung menajamkan telinganya. Ia pun ingin mendengar semua informasi yang telah didapatkan oleh Brian.     

"Mengapa kamu tak pernah mengatakan jika papamu memiliki hubungan dengan Mama Natasya, Eliza?" tanya Brian dalam tatapan dingin yang cukup berarti.     

"Kalian berdua tak pernah menanyakan hal itu padaku. Jangankan bertanya, bertemu denganku saja seolah kamu tak ingin." Eliza melemparkan tatapan penuh arti pada kedua pria yang sama-sama tampan dan yang jelas sama-sama pernah menggetarkan hati.     

Brian merasa jika wanita itu akan sangat membantu penyelidikannya. Terlebih, sebagai seorang jaksa ... Eliza bisa melakukan apapun berdasarkan profesi yang telah dijalaninya.     

"Apakah kamu juga mengenal Fenita Lin?" Saking sangat penasarannya, Brian juga menanyakan hal itu pada seorang wanita yang dulu pernah tergila-gila padanya.     

"Bukankah dia adalah kerabat jauh dari ibuku? Ada apa dengan Tante Fenita?" Eliza melemparkan pertanyaan balasan pada percakapan antara mereka.     

Dari ekspresi yang ditunjukkan oleh Eliza, ia seolah tak mengetahui apapun yang berhubungan dengan Natasya.     

"Rumah yang sekarang ditinggali oleh Natasya adalah milik dari papamu, Rizal Hartanto. Tapi anehnya, sertifikat rumah itu atas nama Fenita Lin," terang Martin pada wanita yang duduk     

Tak ada gambaran kemarahan yang diperlihatkan oleh Eliza pada mereka. Ia sempat menduga jika hal itu bisa saja terjadi. Apalagi setelah melihat momen kedekatan ayahnya dan juga Natasya setiap mereka bersama.     

"Benarkah? Sejujurnya aku tak pernah mengetahui hal itu. Hanya saja, akhir-akhir ini aku melihat papa seolah sangat sibuk mengurus beberapa berkas yang terlihat sangat penting." Eliza mengatakan hal itu dengan cukup jujur.     

"Mungkinkah itu adalah berkas-berkas rumah sakit ini?" sahut Martin pada wanita yang duduk cukup dekat dengannya.     

Eliza semakin bingung dengan segalanya. Semuanya begitu abu-abu baginya. Ia pun ingin mengetahui segalanya dengan lebih gamblang.     

"Apa maksudnya itu? Jangan bermain teka-teki, Martin!" Wanita itu semakin tak sabar untuk mengetahui     

"Mama Natasya berusaha merebut kepemilikan rumah sakit ini dari keluarga Mahendra. Padahal jelas-jelas, Mama Irene yang bekerja keras untuk membangun semua itu," jelas Brian pada wanita yang berstatus sebagai seorang jaksa itu.     

Wanita itu langsung terdiam tanpa suara. Ia tak menduga jika ibu dari Brian bisa melakukan sesuatu yang begitu memalukan. Padahal selama ini, Natasya selalu bersikap baik pada semua orang yang ditemuinya. Eliza sangat yakin jika masih banyak hal buruk yang dilakukan oleh teman dekat dari ayahnya.     

"Aku yakin jika kamu pasti bisa membantu kami, Eliza." Martin terdengar mengatakan hal itu dalam nada memohon atas permintaannya.     

Dengan segala kemampuan dan juga segala otoritas yang dimiliki oleh Eliza, segalanya bisa lebih mudah di tangan anak perempuan dari Rizal Hartanto itu. Apalagi selama berkarir, wanita itu memiliki prestasi yang tidak main-main. Martin berpikir jika kekasih barunya itu adalah orang yang tepat untuk membantu memecahkan semuanya.     

Tanpa langsung menjawab hal itu, Eliza masih saja terdiam dalam sebuah tatapan aneh yang menyimpan banyak pertanyaan. Ia takut jika mereka berdua akan mempermainkan hatinya. Apalagi, semua yang telah terjadi serba kebetulan dengan kedekatannya dan Martin.     

"Apa kalian berdua sedang memanfaatkan diriku?" Sebuah pertanyaan yang terdengar seperti tuduhan bagi kedua pria itu. Bukannya ingin menyinggung mereka berdua.     

Martin langsung menajamkan tatapannya pada Eliza. Rasanya tak salah jika wanita itu sampai berpikir begitu. Terlebih kedekatan mereka baru beberapa menit yang lalu.     

"Jika kamu masih meragukan ketulusan hatiku padamu, kamu boleh pergi dari sini, Eliza. Aku tak akan memohon belas kasihan darimu," tegas Martin pada wanita yang sangat terkejut setelah mendengar ucapannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.