Bos Mafia Playboy

Ancaman Untuk Martin



Ancaman Untuk Martin

0Brian dan juga Adi Prayoga langsung memandang tajam ke arah Martin. Mereka berdua sangat penasaran dengan alasan Martin meminjam ponsel milik Imelda. Bukankah ada ponsel milik Brian dan Adi Prayoga. Lalu ... mengapa Martin justru meminjam ponsel milik satu-satunya wanita di ruangan itu?     
0

"Bukankah kamu bisa meminjam ponselku? Kenapa harus milik istriku?" Tanpa berpikir panjang, Brian langsung melontarkan dua pertanyaan sekaligus pada seorang pria yang berstatus pasien itu. Sebuah tatapan kesal dan juga penuh kecurigaan terlukis sangat jelas dalam wajah Brian.     

"Dasar, Suami cemburuan!" ledek Martin pada pria di sebelah Imelda. Ia pun melirik Brian dengan wajah kesal karena kecurigaannya yang sangat berlebihan. "Apa di ponselmu ada nomor Marco? Tentu saja tidak ada, alasan itu juga yang membuatku langsung meminjam ponsel Imelda. Jangan memikirkan yang tidak-tidak tentangku!" protes Martin pada anak dari sang bos mafia.     

Imelda lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sebuah tas kecil yang tadi di bawanya. Kemudian ia memberikan ponsel itu pada Martin. Bahkan tanpa berpikir panjang, ia langsung memberikannya tanpa beban sedikit pun.     

"Pakai saja dulu ponselku, sepertinya aku harus mengisi perutku sebelum anakku melakukan aksi protes." Imelda tersenyum penuh arti pada pria itu lalu menarik Brian untuk keluar dari ruang perawatan Martin.     

Begitu Brian dan Imelda pergi, Adi Prayoga mendekatkan dirinya pada orang kepercayaannya itu. "Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Davin Mahendra? Mengapa pria bodoh itu seolah sedang menghindari anak-anaknya?" tanya Adi Prayoga dalam wajah sangat penasaran.     

"Aku akan menghubungi Marco dulu, Bos. Semoga adikku itu mengetahui alasan Davin Mahendra tiba-tiba ingin menghilang dari mereka semua." Martin mencoba mencari kontak Marco dari ponsel Imelda. Setelah ketemu, ia langsung mencoba untuk menghubungi anak buah Davin Mahendra itu. Sayangnya sudah beberapa kali melakukan panggilan itu sama sekali tak ada jawaban. Martin tentunya menjadi kesal karena hal itu, ia pun memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan pada adiknya itu.     

"Marco tidak menjawab panggilannya. Aku memintanya untuk menghubungiku ke nomor ini," ucap Martin penuh kekecewaan. Dia sangat kesal karena tak bisa melakukan apapun untuk membantu Adi Prayoga kali ini. Seandainya ia bisa berjalan, mungkin segalanya akan sangat berbeda. "Maaf, Bos," sesalnya.     

Adi Prayoga tersenyum penuh arti pada pria di depannya itu. Dia merasa jika Martin sedikit berlebihan dalam hal itu. Terlebih kondisinya yang tidak baik-baik saja, ia masih memikirkan bos-nya.     

"Mengapa jadi minta maaf? Kamu sama sekali tak bersalah, aku justru mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya karena kamu sudah menjaga Brian dan juga Imelda," balas Adi Prayoga pada seorang pria yang masih sangat menyesal karena tak bisa melakukan apapun dalam kondisi yang dialaminya.     

Tak selang berapa lama, ada sebuah bunyi dari ponsel Imelda. Sebuah pesan baru saja masuk di sana. Secepat kilat, Martin mengambil ponsel itu lalu membukanya. Ia menajamkan matanya saat membaca sebuah pesan balasan yang baru saja dikirimkan oleh adiknya itu.     

"Marco sedang bertugas di luar. Ia berkata jika Davin Mahendra tiba-tiba ingin tinggal di rumah dinas yang disiapkan oleh kantor. Ia sendiri tak mengetahui alasan dari atasannya itu untuk pindah ke sana," terang Martin pada Adi Prayoga. Ia semakin tak mengerti dengan yang sedang terjadi di antara mereka semua. Segalanya terasa sulit ditebak.     

"Ada apa dengan pria bodoh itu? Aku harus segera menemui Mahendra secepatnya. Jangan sampai mereka semua harus terus memikirkan hal ini dan menyebabkan stress berkepanjangan." Adi Prayoga menjadi semakin kesal pada sahabat lamanya itu, ia tak tahan dengan sikap Davin Mahendra yang terlalu kekanak-kanakan. Apalagi sampai harus bersembunyi dari mereka semua.     

Martin bisa melihat jika Adi Prayoga sangat kesal dan sedikit marah pada keputusan Davin Mahendra. Ia pun hanya bisa menenangkan hatinya tanpa mampu melakukan apapun. Rasanya sangat frustrasi akan dirinya sendiri. Perasaan itu sungguh menyiksa hatinya.     

"Bos! Berikan aku dokter terbaik untuk menyembuhkan kakiku ini. Aku sudah tidak tahan untuk tetap diam tanpa melakukan apapun di sini. Aku tak bisa hanya melihat bos menangani semuanya sendirian." Martin mengatakan itu dengan penuh keyakinan. Ia seolah tak peduli dengan kondisi yang dialaminya. Tak seharusnya ia tak berdaya di saat kondisi semakin buruk.     

"Beristirahatlah untuk sementara waktu! Selama ini kamu sudah bekerja keras untuk melindungi keluarga Prayoga. Mungkin ini saatnya kamu istirahat sejenak untuk menghilangkan kepenatan menangani berbagai masalah yang timbul." Adi Prayoga mencoba untuk membujuk Martin agar mau mengistirahatkan tubuhnya hingga pria itu benar-benar sembuh. Dia tak ingin kondisi Martin semakin memburuk dan juga bisa membahayakan nyawanya.     

"Jika kamu tak mau mendengarkanku, kamu boleh meninggalkanku sekarang juga!" Adi Prayoga sengaja mengucapkan ancaman itu agar Martin mau menuruti ucapannya. Bukan bermaksud apa-apa, ia hanya ingin Martin menjadi lebih cepat membaik saja.     

Seolah tak ada pilihan lainnya, Martin pun hanya bisa pasrah menerima sebuah keputusan yang baru saja diucapkan oleh bosnya sendiri. Ia sama sekali tak memikirkan hal lain selain untuk keselamatan Imelda dan juga keluarga Prayoga.     

"Bos sengaja mengancam aku? Padahal Bos tahu sendiri jika aku tak mungkin meninggalkan keluarga Anda. Sepanjang hidupku akan aku dedikasikan untuk keluarga Prayoga," tegas Martin penuh keyakinan. Ia tak peduli jika harus kehilangan nyawanya saat menjalankan tugasnya itu.     

Adi Prayoga langsung terkekeh mendengar jawaban dari Martin. Ia sudah menduga jika pria itu pasti akan memberikan jawaban seperti itu. Karena sudah beberapa kali Martin memberikan jawaban yang sama pada ancaman yang seperti itu. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya ia sengaja mengancam Martin untuk menakut-nakuti pria di depannya itu.     

"Sudahlah. Jawabanku tetap sama. Kamu harus beristirahat hingga benar-benar sembuh," ujar seorang pria yang masih berdiri di dekat Martin.     

Tiba-tiba saja, Adi Prayoga merasa sedikit haus. Ia berniat untuk keluar sebentar mencari air minum. "Martin. Aku keluar sebentar untuk membeli minuman dingin. Aku benar-benar kehausan berada di sini," pamit Adi Prayoga pada orang kepercayaannya itu.     

Pria beranjak ke arah pintu lalu memutar handle pintu dan menariknya pelan. Baru saja terbuka sedikit, Adi Prayoga melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. Ia langsung kembali menutup rapat pintu itu dengan wajah pucat yang sangat cemas.     

"Di luar ada Natasya." ucap Adi Prayoga lirih namun cukup terdengar oleh Martin. Seketika itu juga, ia lumayan panik. Dia tak ingin jika Natasya mengetahui keberadaan Martin.     

"Haruskah kita bersembunyi saja?" tanya Martin dalam suasana hati yang sangat berdebar-debar. Ia sedikit takut jika mantan istri dari bos-nya itu justru semakin mengacaukan keadaan.     

Adi Prayoga tak memberikan jawaban apapun. Ia terlalu waspada hingga tak mengerti dengan ucapan Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.