Bara

Finding the destiny's



Finding the destiny's

0"Ada apa lu pagi-pagi udah kesini?" Tanya Kimmy begitu Damar sudah muncul di depan pintu apartemennya.     
0

"Lu ngga mau nyuruh gue masuk dulu?" Damar balik bertanya pada Kimmy.     

Kimmy kemudian menggeser tubuhnya dan mempersilahkan Damar masuk ke dalam apartemennya. Damar segera melangkah masuk dan duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu apartemen Kimmy.     

"Lu mau minum apa?" Kimmy kembali bertanya pada Damar.     

"Kopi tanpa gula," jawab Damar.     

Damar kemudian merebahkan kepalanya pada sandaran sofa yang empuk dan menghela napasnya. Sementara itu, Kimmy sibuk di pantry membuatkan kopi untuk Damar. Damar memejamkan matanya sejenak. Sejak semalam dirinya tidak bisa tidur setelah mendengarkan percakapan Bara dengan seseorang yang dia panggil dengan sebutan Abang.     

"Nih kopinya!" Kimmy meletakkan kopi untuk Damar di meja dan kemudian duduk di sebelah Damar.     

Damar memajukan tubuhnya untuk mengambil kopi yang ada dihadapannya dan mulai menyeruput kopi miliknya. Kopi pahit memang cocok untuknya pagi ini. Damar membutuhkan asupan kafein tanpa campuran apapun untuk menjernihkan pikirannya.     

"Jadi balik lagi ke pertanyaan awal gue tadi, ada apa lu pagi-pagi udah kesini?" Kimmy kembali menanyakan niat Damar yang sudah datang ke apartemennya.     

Damar menatap Kimmy dalam-dalam, mempertimbangkan pilihannya untuk memberi tahu Kimmy tentang percakapan Bara yang terekam olehnya.     

"Menurut lu, kecelakaan Om dan Tante sepuluh tahun lalu itu murni kecelakaan atau kecelakaan yang di sengaja?"     

"kok lu tiba-tiba bahas kecelakaan Om sama Tante?"     

"Gue mau tau pendapat lu. Gimana kalau sebenarnya kecelakaan itu disengaja?"     

"Maksud lu, sebenarnya mereka dibunuh, gitu?"     

"Ya kurang lebih begitu."     

"Pelakunya harus ditangkap lah."     

"Gimana kalau pelakunya itu orang tua kita?"     

"Lu sebenarnya mau ngasih tau apa ke sini, ngga usah berbelit-belit," sergah Kimmy penasaran.     

"Gue mau kasih tahu lu sesuatu, tapi lu harus janji jangan sampai ada yang tahu, ini diantara kita berdua aja."     

"Iya gue janji, lu mau ngasih tahu apa sebenarnya?"     

Damar kemudian mengeluarkan ponselnya dan mencari file rekaman percakapan Bara yang sudah ia pindahkan ke dalam ponselnya.     

"Gue mau lu dengar ini." Damar memutar kembali isi percakapan yang terjadi antara Bara dengan seseorang di dalam rekaman tersebut. Di dalam percakapan tersebut Bara bercerita tentang surat yang ditinggalkan mendiang orang tuanya.     

Kimmy awalnya tidak terlalu memperhatikan, namun ketika Bara menyebut kemungkinan kedua orang tuanya sengaja disingkirkan untuk menutupi skandal yang terjadi di MG Group, wajah Kimmy berubah serius. Damar memperhatikan ekspresi wajah Kimmy yang berubah setelah mendengar isi percakapan tersebut.     

"Pertama, gue mau tanya gimana caranya lu bisa dapat rekaman ini?" Tanya kimmy ketika selesai mendengar rekaman percakapan Bara.     

"Well, gue sebenarnya pasang penyadap di handphone Bara."     

Kimmy tercengang mendengar jawaban Damar.     

"Kedua, ada kemungkinan Eyang sama Papa terlibat?"     

Damar mengangguk ragu.     

"Ini yang gue pikirin dari semalem, makanya Gue ke sini karena ini menyangkut orang tua kita juga," terang Damar.     

"Eyang sama Papa tahu kalau handphone Bara lu sadap?"     

"Ngga, dari awal gue belum kasih tahu mereka."     

"Good, jangan sampai mereka tahu."     

"By the way, Kim. Bara ngga cerita apa-apa sama lu soal surat itu?"     

"Ngga, kan lu lihat sendiri pas di Bali kemarin dia lebih banyak diam, lagian kalo dia cerita, lu juga udah pasti tahu kan," sindir kimmy sambil melirik sinis ke damar.     

"Ngga usah ngelirik gue kaya gitu juga kali."     

"Terus sekarang apa yang mau lu lakuin?"     

"Gue mau cari tahu tentang kejadian itu, tapi gue juga takut kalau ternyata Eyang sama Papa dalang dari semuanya, biar bagaimana pun mereka orang tua kita." Damar terdiam setelah mengucapkan kata-katanya.     

Kimmy ikut terdiam setelah mendengarkan ucapan Damar.     

"Kita harus cari tahu tentang kecelakaan itu," ucap kimmy tegas.     

"Walaupun ada kemungkinan keluarga kita akan hancur?" Tanya Damar lesu.     

"Itu sesuatu yang ngga bisa kita hindari kalau memang orang tua kita terlibat, anggap aja ini hukuman yang harus kita tanggung karena perbuatan orang tua kita." Kimmy meyakinkan Damar sambil menggenggam tangannya. Damar memandangi tangan Kimmy yang menggenggam tangannya. Damar melepaskan genggaman tangan Kimmy dan beralih memeluk Kimmy.     

"Thanks, Kim. Lu memang Adik yang bisa diandalkan," bisik Damar.     

Damar memeluk Kimmy erat. Mungkin memang sudah tugas mereka berdua untuk membereskan kekacauan yang disebabkan oleh keserakahan orang tua mereka.     

"Apaan sih, lu." Kimmy mencoba mendorong tubuh Damar.     

"Biarin sih, yang gue peluk kan Adik gue sendiri." Damar kembali memeluk Kimmy.     

"Lepas ah! Lu cari pacar aja sana, yang bisa lu peluk-peluk." Kimmy terus berusaha melepaskan pelukan Damar.     

"Udah diem dulu kenapa sih, gue kangen meluk lu kaya gini." Damar semakin erat memeluk Kimmy.     

Merasa usahanya sia-sia untuk melepaskan diri dari pelukan Damar, Kimmy akhirnya menyerah. Di dalam hatinya, Kimmy juga merindukan kedekatan seperti saat ini dengan Damar. Mungkin pelukan inilah yang dibutuhkan keduanya untuk sama-sama saling menguatkan.     

***     

Pak Ardan terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar rawatnya. Keadaannya sudah lama membaik. Namun Pak Ardan merasa dirinya sengaja dikurung di rumah sakit tempat dirinya dirawat saat ini. Pak Ardan mulai berencana untuk melarikan diri dari rumah sakit ini. Bagaimana pun juga, dia ingin pergi menemui Bara. Melihat reaksi Pak Haryo tempo hari ketika mendengar dirinya bercerita, Pak Ardan sangsi bahwa Pak Haryo akan memberikan kesempatan padanya untuk menemui Bara. Pak Ardan mengintip keluar ruang rawatnya dari jendela kecil yang terpasang di pintu. Biasanya ada penjaga yang berjaga di depan kamar rawatnya. Namun kali ini tidak ada penjaga yang berjaga. Pak Ardan membuka pintu dan menengok ke kanan dan ke kiri. Memastikan tidak ada penjaga yang tiba-tiba muncul. Setelah beberapa saat Pak Ardan menunggu, tidak ada satu pun penjaga yang muncul untuk berjaga di depan ruangannya. Pak Ardan langsung memutuskan untuk segera keluar dari dalam ruangannya. Pak Ardan mengendap-endap berjalan menuju lobi rumah sakit agar tidak terlalu menarik perhatian. Begitu sampai di lobi rumah sakit, Pak Ardan segera menaiki taksi yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang di lobi rumah sakit. Dengan tergesa-gesa Pak Ardan meminta Supir taksi tersebut untuk segera menjalankan kendaraannya dan pergi menjauh dari rumah sakit itu. Tujuannya kali ini adalah warung kopi milik Bang Jali. Meskipun pertemuan terakhirnya dengan Bang Jali berakhir dengan tidak baik, untuk saat ini hanya Bang Jali satu-satunya harapan yang dapat menolongnya.     

Taksi yang ditumpangi Pak Ardan berhenti tepat di depan warung kopi milik Bang Jali. Pak Ardan segera keluar dari taksinya dan berlari masuk kedalam warung tersebut.     

"Jal, gue pinjem duit lu dulu, Jal!" Tanpa basa-basi Pak Ardan langsung meminta pinjaman uang pada Bang Jali.     

Bang Jali dan beberapa pengunjung warungnya terkejut melihat Pak Ardan yang muncul di warung tersebut dengan mengenakan pakaian rumah sakit. Ditambah lagi Pak Ardan tiba-tiba muncul untuk meminta uang padanya.     

"Buruan Jal, Supir taksinya nungguin."     

"Lu nongol-nongol malah minjem duit," semprot Bang Jali.     

"Udah buruan pinjemin gue duit, nanti gue ganti," pinta Pak Ardan.     

"Berapa emangnya?"     

"Dua ratus."     

Dengan wajah kesal Bang Jali membuka laci penyimpanan uang yang ada di bawah mejanya dan mengambil empat lembar uang lima puluh ribuan lalu menyerahkannya pada Pak Ardan.     

"Makasih, Jal." Pak Ardan bergegas keluar dan membayar taksi yang tadi ia tumpangi. Setelahnya, Pak Ardan kembali masuk ke warung Bang Jali dan duduk di salah satu kursi panjang yang ada di situ. Pak Ardan menghela napas lega karena akhirnya bisa kabur dari rumah sakit.     

"Ngomong-ngomong ngapain lu make seragam rumah sakit begitu?" Tanya Bang Jali.     

"Panjang ceritanya, Jal."     

Llu ke belakang dulu gih, ganti baju, ada baju gue di situ, habis itu lu bantuin gue disini."     

Pak Ardan menuruti perintah Bang Jali dan berjalan ke belakang warung miliki Bang Jali. Pada bagian belakang warung milik Bang Jali terdapat sebuah bilik kecil yang biasa digunakan Bang Jali untuk sholat dan beristirahat sebentar jika warung sedang tidak terlalu ramai. Di bilik itu juga Bang Jali menyimpan beberapa helai pakaian yang akan dia gunakan jika pakaian yang ia kenakan mulai kotor. Pak Ardan duduk bersandar pada dinding bilik tersebut dan meluruskan kakinya.     

"Buruan, warung lagi rame nih," teriak Bang Jali dari balik bilik.     

Meskipun sedikit kesal karena Bang Jali meneriakinya untuk segera berganti pakaian, Pak Ardan harus menjaga sikapnya karena Bang Jali sudah bersedia menolongnya. Pak Ardan segera bangkit berdiri dan berganti pakaian dengan pakaian milik Bang Jali. Setelah berganti pakaian Pak Ardan segera membantu Bang Jali melayani pengunjung warungnya.     

----     

Malam hari ketika warung Bang Jali sudah tutup. Bang Jali dan Pak Ardan duduk berhadapan.     

"Jadi, mau apa lu kesini?" Tanya Bang Jali tanpa basa-basi.     

"Gue ngga tahu harus kemana lagi, cuma tempat ini yang terlintas dipikiran gue."     

"Baru kemarin malam Bara kemari," terang Bang Jali.     

"Bara sering kesini?"     

"Ngga sering, kebetulan aja kemarin dia mampir."     

"Lu inget kan ucapan gue tempo hari, jauhin Bara, kalau lu ngga mau ketiban sial."     

"Justru lu yang bikin sial, datang-datang minjem duit," ucap bang jali ketus.     

Pak Ardan tertunduk mendengar ucapan Bang Jali.     

"Bara lagi nyariin lu tuh," ujar Bang Jali.     

"Gue juga lagi mau ketemu sama dia, ada yang harus gue ceritain ke dia, lu bisa hubungin Bara?"     

"gue bisa-bisa aja hubungin Bara sekarang, mau gue telponin Bara sekarang?"     

Pak Ardan mengangguk cepat. Bang Jali segera mengeluarkan ponselnya dan hendak menghubungi Bara.     

"Jangan, Jal!" Mendadak Pak Ardan mencegah Bang Jali untuk menghubungi Bara.     

"Kenapa?"     

"Kalau gue ketemu Bara disini, gue takut nanti lu bakal diincar juga sama mereka."     

"Mereka siapa?"     

"Orang-orang yang mau nyingkirin Bara."     

Bang Jali kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Kali ini Bang Jali semakin serius menatap Pak Ardan.     

"Jadi bener, ada orang yang mau bunuh Bara?" Tanya Bang Jali serius.     

Pak Ardan mengangguk.     

"Dulu gue juga disuruh buat menghabisi Bara." aku Pak Ardan setengah berbisik.     

Bang Jali langsung mencengkeram kerah baju Pak Ardan begitu mendengar ucapan Pak Ardan.     

"Tapi gue ngga ngelakuin itu, Bara hidup, dan sekarang mereka justru mau menghabisi gue." Ucapan Pak Ardan terdengar bergetar. Bang Jali melepaskan cengkramannya.     

"Apa lu juga ada hubungannya sama kecelakaan orang tua kandung Bara?" Tanya Bang Jali.     

"Gue ngga tahu apa-apa soal itu. Sumpah, Jal. Waktu itu gue sama Bini gue cuma nemuin Bara luka parah di pinggir sungai," terang Pak Ardan.     

"Lu harus ceritain semua yang lu tahu ke Bara. Bara berencana mau pergi ke kampung lu dulu."     

"Mau ngapain dia ke sana?"     

"Dia mau coba mengingat tentang kecelakaan orang tuanya dulu, kalau dia ditemukan di dekat kampung lu, kemungkinan kejadiannya ngga jauh dari kampung itu."     

Pak Ardan berpikir sejenak.     

"lu kasih tahu Bara, gue sendiri yang bakal nemenin dia kesana," ucap Pak Ardan mantap.     

"Lu yakin?"     

"Kali gue yakin, kalau semua ini dimulai dari Bara, maka Bara juga yang bisa mengakhiri semuanya."     

Bang Jali segera mengeluarkan ponselnya lagi dan langsung mengetikkan pesan untuk Bara.     

"Udah gue kasih tahu," ucap Bang Jali ketika selesai mengirimkan pesan untuk Bara.     

***     

Bara sedang mempelajari data-data keuangan MG Group ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Bara mengalihkan perhatian pada ponselnya dan melihat nama yang mengirim pesan padanya. Ketika melihat nama Bang Jali yang tertera, Bara segera membuka pesan tersebut. Pada pesannya Bang Jali mengatakan bahwa Bapaknya sedang berada di warung miliknya saat ini. Bang Jali juga mengatakan, saat ini Bara tidak perlu langsung datang ke warungnya. Bang Jali memberitahukan bahwa Pak Ardan bersedia untuk mengantar Bara kembali ke kampung halamannya dulu. Bara segera membalas pesan tersebut. Pada pesannya, Bara mengatakan akan datang ke warungnya pada jumat malam setelah pulang kerja dan menjemput Pak Ardan. Bara juga meminta Pak Ardan untuk bersiap, karena mereka akan langsung berangkat pada jumat malam itu. Sebuah senyum tipis tersungging diwajahnya setelah selesai mengirim pesan balasan kepada Bang Jali. Kesediaan Pak Ardan untuk menemaninya membuat pencariannya akan sedikit lebih mudah.     

Bang Jali memberitahukan pesan balasan yang dikirimkan oleh Bara untuk Pak Ardan.     

"Lu jangan sekali-sekali berencana buat kabur lagi," ujar Bang Jali tegas.     

"Ngga, kali ini gue ngga bakal kabur lagi, gue juga udah capek kabur terus-terusan," timpal Pak Ardan.     

Meskipun di dalam hatinya Pak Ardan menyimpan ketakutan akan sosok yang telah menganiaya dirinya, namun dirinya sudah memantapkan pilihannya untuk membantu Bara memulai pencariannya. Sudah tidak ada lagi jalan untuk mundur baginya. Satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkannya adalah dengan membantu Bara.     

"Lu juga harus hati-hati, Jal." Pak Ardan memperingatkan Bang Jali.     

"Itu sih lu tenang aja, gini-gini kan gue ikutan pencak silat," seru Bang Jali sambil memperagakan gerakan memukul.     

Meskipun Bang Jali mencoba untuk bersikap tenang, namun dirinya juga merasa was-was dengan apa yang mungkin dihadapinya nanti.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.