Bara

Seasons Changing



Seasons Changing

0Pagi itu seperti biasanya, begitu tiba di kantor, Raya segera menyalakan komputer kerjanya. Setelah komputernya menyala, hal pertama yang Raya lakukan adalah membuka kotak masuk email pekerjaan miliknya. Ini sudah menjadi kebiasaannya, karena dengan membuka emailnya terlebih dahulu, Raya tahu mana pekerjaan yang harus menjadi prioritasnya hari ini. Setelah membuka emailnya satu per satu, biasanya Raya akan memakan sarapannya sambil membaca beberapa artikel ringan.     
0

"Ini kopinya, Mbak." Bara tiba-tiba muncul di sebelah Raya dan menyodorkan segelas kopi panas.     

"Eh, gue ngga pesan kopi." Raya terkejut dengan Bara yang sudah berdiri disebelahnya dengan berseragam office boy.     

"Gratis buat Mbak Raya," ucap ba8ra sambil tersenyum pada Raya.     

Pipi Raya memerah melihat Bara yang tersenyum padanya.     

Bara menyelipkan selembar kertas di bawah kopi yang ia berikan pada Raya.     

"Saya permisi dulu, Mbak." Bara memberikan isyarat pada Raya untuk melihat kertas yang dia selipkan.     

"Oh, ya. Makasih, Ran." Raya menanggapi dengan sedikit gugup. Raya merasa jantungnya berhenti berdetak ketika Bara kembali tersenyum padanya. Setelah Bara pergi meninggalkan meja kerjanya, Raya kembali tersadar dan segera mengambil kertas yang diselipkan Bara di bawah kopi yang ia berikan. Raya mengamati sekelilingnya terlebih dahulu sebelum membaca pesan pada kertas tersebut.     

***     

Malam hari sepulang kerja, Raya segera pergi ke pusat perbelanjaan yang dituliskan Bara pada pesannya. Raya tiba di pusat perbelanjaan yang berada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia dan segera menuju ke area tempat makan yang berada di jembatan yang menghubungkan bagian barat dan timur pusat perbelanjaan tersebut. Setelah menunggu sebentar, Raya melihat Bara yang muncul dari arah timur pusat perbelanjaan tersebut. Raya segera melambaikan tangannya agar Bara dapat melihatnya. Bara balas melambaikan tangan begitu melihat Raya melambai ke arahnya dan mempercepat langkahnya. Raya memperhatikan Bara yang berjalan ke arahnya dengan menggunakan pakaian casual sederhana. Bara hanya mengenakan setelan kaus putih yang dibalut dengan varsity jaket berwarna hitam dan mengenakan celana jeans. Untuk sepatunya, Bara hanya mengenakan sepatu Converse berwarna merah bata. Mungkin dengan melihat penampilan sederhana Bara, tidak ada yang menyangka kalau dia adalah cucu salah satu orang terkaya di Indonesia. Raya kemudian menoleh ke dinding kaca yang ada di sebelahnya, dirinya masih mengenakan setelan kerja lengkap. Ada sedikit rasa sesal mengapa dia tidak ke toilet terlebih dahulu untuk merapikan penampilannya.     

"Udah lama nunggu, Ray?" Tanya Bara sembari mengambil posisi duduk di hadapan Raya.     

"Ngga kok, gue juga baru sampe," jawab raya.     

"Lu mau makan apa?"     

"Apa ya?" Raya berpikir sejenak seraya memperhatikan sekelilingnya. Pandangannya menyapu ke beberapa stand makanan yang ada di sekitarnya.     

"Bakso segar kayanya," ucap Raya.     

"Lu mau bakso?"     

"Iya, gue makan bakso aja."     

"Ya udah, gue pesenin dulu ya."     

Bara kemudian bangkit berdiri dan menuju stand bakso yang diinginkan raya. Raya kembali memperhatikan Bara dari kejauhan. Tanpa sadar pipinya memerah dan jantungnya berdegup kencang. Tidak berapa lama, Bara berjalan kembali ke arah Raya sambil membawa nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua botol minuman dingin.     

"Gue ngga tahu lu suka yang mana. Jadi, gue pesan dua. Lu ambil aja yang lu suka, nanti yang lainnya buat gue," ucap Bara sambil meletakkan nampan berisi bakso di hadapan mereka berdua.     

Raya memperhatikan dua mangkuk bakso yang ada di hadapannya. Yang satu berisi berisi satu porsi bakso lengkap dengan tahu bakso kesukaannya dan satunya lagi tanpa tahu bakso. Raya kemudian mengambil mangkuk berisi seporsi bakso yang dilengkapi dengan tahu bakso.     

"Padahal gue berharap lu ambil yang ngga ada tahunya," goda Bara.     

"Lu mau yang ada tahunya? Ya udah nih lu ambil aja." Raya menyodorkan mangkuk berisi tahu bakso ke hadapan Bara.     

"Ngga, ngga, gue bercanda," Ujar Bara sambil kembali menyodorkan mangkuk tersebut kepada Raya.     

"Ngga apa-apa, gue sih yang mana aja."     

"Ngga, gue bercanda doang."     

"Yakin nih? Klo yakin gue makan nih."     

"Iya."     

Raya kemudian sekali lagi melirik ke arah Bara untuk meyakinkan dirinya. Setelah yakin, Raya menyuapkan sepotong tahu bakso ke mulutnya.     

"Ini enak banget loh," ucap raya sambil memotong-motong bakso di mangkuknya.     

Bara mengangguk-anggukkan kepala sambil menikmati bakso miliknya.     

"Nih, cobain." Raya menyorongkan sendok berisi tahu bakso ke hadapan Bara.     

Bara menatap Raya kebingungan.     

Raya memberikan isyarat pada Bara untuk membuka mulutnya. Meskipun ragu-ragu, bara akhirnya membuka mulutnya dan Raya menyuapkan tahu bakso tersebut ke mulut Bara.     

"Enak, kan?" Tanya Raya.     

Bara hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya sambil mengunyah tahu bakso di mulutnya. Dalam hatinya, Bara menahan rasa berdebar-debar yang tiba-tiba dia rasakan. Mereka kemudian melanjutkan makan tanpa banyak bicara. Keduanya sama-sama menahan gugup yang mereka rasakan.     

"Oh ya, ngomong-ngomong ada apa lu ngajak ketemu disini?" Raya melemparkan pertanyaan untuk memecah kesunyian di antara mereka berdua.     

"Gue mau minta tolong."     

"Tolong apa?"     

"Lu bisa ngga, bantuin gue buat ngumpulin data keuangan perusahaan sepuluh tahun terakhir?"     

Raya melongo mendengar permintaan bara.     

"Gimana ya? Gue aja kerja di situ belum sampai lima tahun. kenapa lu ngga minta langsung aja ke Mbak Kimmy atau Pak Damar? harusnya kan itu lebih gampang ketimbang gue yang ngumpulin."     

"Kalau ngga, lu kumpulin aja data dari mulai pertama kali lu masuk ke perusahaan, lu bisa?"     

"Kalau itu sih bisa gue coba, emang buat apa sih?" Raya penasaran dengan tujuan Bara yang memintanya untuk mengumpulkan data keuangan perusahaan.     

"Gue mau pelajarin data keuangan di perusahaan. "     

Raya bergumam mendengar ucapan Bara. Ucapan Bara, kembali membuat Raya tersadar bahwa pria yang ada di hadapannya saat ini adalah salah satu penerus MG Group tempatnya bekerja saat ini.     

"Tapi jangan sampai ada yang tahu kalau gue minta tolong sama lu, ya."     

"Ini kita jadi kaya lagi main detektif-detektifan."     

"Ya, anggap aja begitu, makanya lu jangan sampai ketahuan."     

"Nani piro?" Tanya raya dengan nada bercanda.     

Bara menatap Raya yang mencandainya.     

"Ini udah gue traktir bakso."     

"Yaah murah banget dong bayaran gue, tahu gitu gue minta makanan yang mahal."     

"Lu mau minta apa?"     

"Ngga kok, gue bercanda."     

"Gue serius. Lu mau apa? pasti gue kasih." Bara memasang ekspresi serius pada wajahnya.     

"Ngga, gue cuma bercanda doang." Raya menjadi sedikit tidak enak dengan Bara akibat candaannya sendiri. Raya tidak ingin Bara berpikir bahwa dirinya adalah wanita yang materialistis.     

Sementara itu Bara memperhatikan ra6ya yang menjadi sedikit salah tingkah.     

"Gue tahu kok," ucap Bara santai.     

Raya menatap Bara. Ternyata Bara menggunakan kata-kata milik raya untuk balik menjahilinya. Bara tersenyum jahil sambil meminum minumannya. Merasa puas sudah berhasil menjahili Raya. Raya memukul lengan Bara. Kesal, karena Bara kembali berhasil menjahilinya.     

***     

Setelah mengantarkan Raya pulang ke rumahnya, Bara memutuskan untuk pergi menemui Bang Jali di warung kopi miliknya. Meskipun hari sudah semakin malam, Bara tetap memacu mobilnya menuju warung kopi milik Bang Jali. Kali ini Bara meminta Supir pribadinya untuk tidak mengantarnya. Bara juga meminta Supirnya untuk menyembunyikan hal ini dari Pak Haryo. Saat ini dirinya membutuhkan teman bicara yang bisa dipercaya. Bang Jali menjadi pilihannya karena Bara sudah menganggap Bang Jali sudah ia anggap seperti Ayah sekaligus Kakak baginya. Bara tiba di warung kopi milik Bang Jali tepat ketika Bang Jali akan menutup warungnya. Bara segera turun dari mobil dan menghampirinya.     

"Bang!" Bara berteriak memanggil Bang Jali.     

Bang Jali menoleh dan melihat Bara yang berjalan cepat ke arahnya.     

"Eh elu, Bar. Gue baru mau nutup warung."     

"Gue bantuin sini, Bang." Tanpa berbasa-basi Bara segera membantu Bang Jali menata kayu-kayu yang digunakan untuk menutup warungnya.     

"Ada apa lu malam-malam kesini?"     

"Suntuk, Bang."     

"Lu lagi ada masalah?"     

Bara diam tidak menjawab.     

"Kalau diam berarti benar lu lagi ada masalah."     

"Ngomong-ngomong, Bang. Ada kabar dari Bapak ngga, Bang?"     

"Oh iya, gue ketemu sama Bapak lu di kuburan."     

"Kapan Bang?"     

"Kira-kira hampir sebulan yang lalu."     

"Abang sempat ngobrol sama Bapak?"     

Bang Jali terdiam dan mengingat kejadian pada saat dirinya bertemu dengan Pak Ardan tempo hari. Bang Jali tidak dapat melupakan kata-kata yang diucapkan Pak Ardan saat mereka berdua bertengkar kala itu.     

"Gue rasa, Bapak lu dari awal udah tahu siapa lu sebenarnya," ucap Bang Jali.     

Bara tertegun mendengar perkataan Bang Jali.     

"Masuk sini, biar enak ceritanya." Bang Jali meminta Bara untuk masuk ke dalam warungnya.     

Bara kemudian masuk ke dalam warung Bang Jali dan duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sana.     

"Gue ngga tahu harus mulai dari mana, tapi intinya Bapak lu tahu siapa lu sebenarnya. Waktu gue bilang lu udah sama keluarga asli lu, dia langsung ketakutan. Ada kata-kata dia yang masih gue ingat jelas." Bang jali memulai pembicaraan.     

"Bapak bilang apa, Bang?"     

Bang Jali terdiam sejenak.     

"Gue ngga enak mau ngomong ini, jujur aja semenjak dia bilang begitu, gue jadi kepikiran maksud kata-kata dia."     

"Emangnya Bapak bilang apa, Bang?"     

"Dia bilang lu harusnya udah mati dari dulu." Bang Jali tertunduk setelah menyelesaikan kata-katanya.     

Hati Bara mencelos mendengar perkataan Bang Jali.     

"kayanya banyak yang ngga suka kalau gue masih hidup, Bang." ucap Bara sambil tersenyum getir.     

"Jush, jangan ngomong gitu lu."     

"Gue boleh minta rokok bang?"     

Bang Jali kemudian mengambilkan sebatang rokok dan memberikannya pada Bara. Bang Jali tahu, Bara merokok hanya pada saat dirinya sedang butuh pelarian untuk sedikit melupakan beban pikirannya. Bara segera menerima rokok yang diberikan Bang Jali dan mulai menyalakannya. Bara menghisap rokoknya dalam-dalam dan perlahan menghembuskan kembali asapnya.     

"Kayanya kecelakaan orang tua gue itu juga disengaja, Bang." ujar Bara setelah selesai menghembuskan asap rokoknya. Bara kemudian kembali menghisap rokoknya.     

"Maksud lu?"     

"Ada yang sengaja mau nyingkirin mereka."     

Kali ini Bang Jali yang tertegun mendengar ucapan Bara. Bara kemudian mulai bercerita tentang surat peninggalan orang tuanya pada Bang Jali sambil sesekali menghisap rokoknya.     

"Gila!" Komentar Bang Jali ketika Bara menyelesaikan ceritanya.     

"Lucu ya, Bang. Waktu gue ngga punya apa-apa, gue dikejar penagih hutang. Sekarang gue punya segalanya, gue dikejar orang yang ngga suka kalau gue masih hidup." Bara tersenyum menertawai hidupnya sendiri. Bang Jali menepuk bahu Bara perlahan.     

"Namanya juga hidup, Bar. Pasti ada aja masalahnya. Terus, sekarang lu mau ngapain?"     

"Gue mau ngumpulin bukti-bukti baru, Bang. Bukti yang sepuluh tahun lalu didapat orang tua gue bisa jadi bukan apa-apa buat mereka sekarang. Jadi gue harus ngumpulin lebih banyak bukti lagi."     

"Terus soal kecelakaan orang tua lu gimana?"     

"Gue satu-satunya saksi mata sekaligus korban kecelakaan itu yang masih hidup, tapi gue sama sekali ngga ingat kejadian itu." Ada sedikit sesal dalam nada bicara bara ketika mengatakan dirinya tidak dapat mengingat kejadian tersebut.     

"Gue harus gimana Bang supaya ingat lagi kejadian itu?" Bara bertanya dengan nada putus asa pada Bang Jali.     

"Jangan terlalu dipaksain, Bar. Mungkin kejadian itu bikin lu trauma, makanya lu ngga ingat."     

"Tinggal bapak satu-satunya harapan gue, Bang. Tapi gue bahkan ngga tahu dia ada dimana sekarang."     

"Kalau gitu lu fokus cari Bapak lu dulu sekarang."     

"Gue harus mulai dari mana, Bang?"     

"Coba aja lu pulang ke kampung tempat tinggal lu dulu, kali aja Bapak lu ngumpet disana."     

Bara berpikir sejenak dan mengingat-ingat kampung tempat tinggalnya dahulu. Pertama-tama, Bara mengingat kampung tempat tinggal mereka di pulau Sumatra. Namun sepertinya kecil kemungkinan Pak Ardan kembali kesana karena terlalu jauh dan biaya untuk pergi kesana juga lumayan mahal. Pilihan terakhirnya adalah kampung tempat tinggal mereka sebelum mereka tiba-tiba pindah ke pulau Sumatra. Namun Bara tidak terlalu mengetahui tentang kampung tersebut. Bara tiba-tiba bangkit berdiri.     

"Mau kemana lu?" Tanya Bang Jali ketika melihat Bara yang tiba-tiba bangkit berdiri.     

"Gue ke kontrakan dulu, Bang." Bara segera melangkah keluar dari warung Bang Jali.     

"Tunggu-tunggu." Bang Jali segera menyusul Bara yang keluar dari warungnya.     

Bara menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bang Jali.     

"Kenapa, Bang?"     

"Tunggu bentar, gue ikut, gue nutup warung dulu." Bang Jali segera kembali ke dalam warungnya dan mematikan seluruh lampunya. Setelahnya Bang Jali segera menggembok pintu warung miliknya.     

"Ayo, gue anterin." Bang Jali menyalakan mesin motornya dan memberi isyarat pada Bara untuk segera naik ke motornya.     

"Naik mobil gue aja, Bang."     

"Mobil lu mana bisa masuk ke gang sempit kaya gitu. Udah tinggal aja mobilnya, disitu juga ada security yang jaga."     

Setelah berpikir sejenak, Bara akhirnya naik ke motor Bang Jali dan keduanya segera pergi menuju kontrakan lama Bara.     

Setelah mereka tiba, Bara segera masuk ke dalam kontrakannya dan mulai mencari-cari dokumen milik Ibu dan Bapak yang tersisa. Bara segera membuka lemari pakaian milik Ibu dan mencari dokumen apa pun yang bisa menjadi petunjuk tempat tinggal Ibu dan Bapak terdahulu. Beruntung Bara menemukan sebuah buku nikah di bawah tumpukan baju milik Ibu angkatnya. Bara membuka buku nikah tersebut untuk menemukan alamat tempat tinggal Ibu dan Bapak sebelum mereka pindah ke pulau Sumatra.     

"Gue tahu gue harus mulai nyari dimana, Bang."     

"Lu yakin alamat yang ada di situ alamat tempat tingga mereka dulu?"     

"Yakin bang, kalau mereka nikah di alamat yang ditulis di sini itu berarti mereka pernah tinggal disitu kan, Bang." ucap bara menggebu-gebu.     

"Bisa jadi, ya udah kalau lu yakin, semoga benar Bapak lu ada disitu."     

Bara perlahan merasakan ada secercah titik terang untuk memulai pencariannya. Alamat yang akan ditujunya kali ini merupakan sebuah langkah awal untuk menyibak peristiwa yang terjadi padanya sepuluh tahun yang lalu. Bara bukan hanya berharap dapat menemukan Bapak di alamat tersebut, namun dia juga berharap dapat perlahan mengingat peristiwa yang dialaminya. Bara sudah bertekad untuk melengkapi potongan puzzle hidupnya yang hilang.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.