Bara

Then and Now (2)



Then and Now (2)

0Selesai rapat, Pak Angga segera berjalan cepat menuju ruangannya. Dirinya sudah tidak sanggup untuk berpura-pura ramah pada orang-orang yang ditemuinya di luar ruang rapat. Pak Angga masuk ke ruangannya dan menutup pintunya dengan sangat kasar. Bahkan dia tidak menyadari Pak Bima yang mau ikut masuk ke dalam ruangannya. Pak Bima yang mengikuti Pak Angga sejak dari ruang rapat, hendak ikut masuk ke dalam ruangan Pak Angga, namun tiba-tiba saja pintu dihadapannya sudah menutup. Pak Bima akhirnya kembali membuka pintu tersebut pelan-pelan dan menyusul masuk ke dalam ruangan Pak Angga.     
0

Pak Angga menoleh pada Pak Bima yang ikut masuk ke dalam ruangannya, "Kamu bilang, kamu sudah memastikan Damar untuk selalu ada di pihak kita, tapi, apa itu tadi? Secara terang-terangan dia melawan kita," ucapnya penuh penekanan.     

"Saya juga tidak menyangka Damar akan berbuat seperti itu," ujar Pak Bima sambil tertunduk.     

"Sejak kapan dia berani melawan kita?" tanya Pak Angga.     

Pak Bima terdiam. Dirinya juga tidak habis pikir mengapa Damar berani melawan Pak Angga. Belakangan ini, tidak ada yang tampak berbeda dari Damar. Pak Bima mulai mengingat kembali percakapan-percakapannya dengan Damar belakangan ini. Pak Bima kemudian menatap Pak Angga dengan tatapan resah. Dia mengingat sesuatu, beberapa waktu lalu dia menemukan sebuah foto yang terkait dengan masa lalu di ruang kerja Damar.     

"Ada apa? Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" tanya Pak Angga.     

"Sepertinya Damar menemukan sesuatu tentang peristiwa itu."     

"Peristiwa apa yang kamu maksud?" Pak Angga semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Pak Bima.     

Mereka berdua tidak menyadari Damar sudah bergabung bersama mereka berdua.     

"Peristiwa kecelakaan yang menimpa orang tua Bara," Damar menjawab pertanyaan yang diajukan Pak Angga pada Pak Bima dengan tenang.     

Keduanya menoleh kaget ke arah Damar yang sudah berada di dalam ruang kerja Pak Angga.     

"Saya memiliki dugaan bahwa Eyang dan Papa adalah dalang dibalik kecelakaan orang tua Bara," Damar melanjutkan perkataannya.     

Mendengar perkataan Damar, membuat Pak Angga kembali naik pitam. Pak Angga segera berjalan menghampiri Damar.     

Tanpa ragu-ragu Pak Angga langsung menampar pipi Damar, "Jaga bicara kamu," ujarnya dengan penuh amarah.     

Damar tersenyum sinis sambil memegangi pipinya yang kemerahan akibat tamparan Pak Angga.     

"Jadi, dugaan saya benar?" tanya Damar tenang.     

"Anak tidak tahu diri, berani-beraninya kamu menuduh orang tua kamu sendiri," nada bicara Pak Angga semakin meninggi.     

Pak Bima yang menyaksikan itu hanya bisa terdiam.     

"Jadi dugaan saya benar, kalau kalian berdua lah dalang dibalik kecelakaan itu," Damar memperhatikan ekspresi wajah Pak Angga dan Pak Bima. "JAWAB!" Damar yang semula mencoba bersikap tenang pada akhirnya ikut meninggikan suaranya.     

"Kamu sudah berani membentak saya?" Pak Angga mencengkeram kerah baju Damar.     

Damar menatap Pak Angga dengan tatapan penuh amarah dan kecewa. Hatinya mencelos melihat sikap Pak Angga yang berubah seratus delapan puluh derajat terhadapnya.     

"Jadi ini, sifat asli Eyang yang sebenarnya," tantang Damar.     

Pak Angga semakin kencang memegangi kerah kemeja Damar. Pak Bima yang tidak tahan melihat sikap keduanya, akhirnya memutuskan untuk menengahi.     

Pak Bima memegang lengan Pak Angga yang sedang mencengkeram kerah kemeja Damar, "Sudah, Pa. Ucapan Damar tidak perlu dianggap serius," ujarnya.     

Pak Angga menatap Damar dengan penuh amarah. Damar balas menatapnya. Pada akhirnya Pak Angga membuang mukanya dan perlahan melepaskan kerah kemeja Damar.     

"Tidak ada gunanya saya menanggapi ucapan anak bau kencur seperti kamu," ujarnya.     

"Kenapa dilepas? Eyang tidak mau tangan Eyang kotor karena membunuh cucunya sendiri?" Damar terus memprovokasi Pak Angga.     

"Hentikan ucapan kamu, Damar." Pak Bima mencoba menengahi.     

Damar tersenyum mengejek Pak Bima, " Ini pertama kalinya saya diperlakukan seperti ini oleh kalian berdua, hanya karena saya mendukung Bara dalam rapat tadi, luar biasa." Damar bertepuk tangan untuk Pak Angga dan Pak Bima. "Akhirnya saya tahu kenapa Kimmy lebih memihak Eyang Haryo daripada Eyangnya sendiri."     

"Apa maksud kamu?" kali ini Pak Bima yang mulai kehabisan kesabaran akibat kata-kata yang dilontarkan Damar.     

"Kalian berdua ternyata semengerikan ini, saya jadi menyesal selama ini sudah mengikuti kalian," timpal Damar.     

"Plak!" Pak Bima melayangkan tamparannya di pipi Damar.     

"Kamu sudah terlalu banyak bicara, tugas kamu itu cuma mengikuti apa yang sudah kami rencanakan, kamu mau jabatan itu nantinya akan dipegang oleh Bara?" ucap Pak Bima tegas.     

Damar kembali memegangi pipinya akibat tamparan Pak Bima. Hatinya semakin sakit ketika Pak Bima yang menamparnya. Damar mencoba menahan emosinya. Kepercayaannya kepada Eyang dan Papanya sudah runtuh.     

"Saya rela jabatan itu jadi milik Bara," ucap Damar lirih.     

Damar terdiam sejenak sambil menatap dalam-dalam kedalam mata Pak Bima. Berusaha mencari sosok Papa yang selama ini ia kenal, bukan sosok papa yang saat ini ada di hadapannya. Matanya memerah menahan kekecewaan dan amarah yang berkecamuk di hatinya.     

Damar kemudian kembali melanjutkan ucapannya, "Saya sudah muak jadi boneka kalian berdua selama bertahun-tahun."     

Dengan sedikit bergetar, Damar kembali meneruskan kata-katanya, "Yang kalian lakukan itu bukan demi saya atau demi keluarga kita, tapi demi nafsu kalian sendiri."     

"Jadi ini, timbal balik kamu untuk orang yang sudah membuat kamu ada di posisi seperti sekarang?" Pak Angga membalas ucapan Damar.     

"Saya ngga pernah minta ini semua, apa pernah Eyang atau Papa bertanya apa yang saya inginkan?" Damar menatap Pak Angga dan Pak Bima bergantian.     

Damar kembali melanjutkan, "Ngga, Eyang sama Papa ngga pernah satu kali pun bertanya apa yang saya mau, yang ada dipikiran kalian cuma bagaimana cara menguasai perusahaan untuk keluarga kita."     

"Tugas kamu itu cuma satu, melanjutkan apa yang sudah kami berikan untuk kamu," ucap Pak Angga penuh penekanan.     

"Maaf, untuk kali ini saya tidak akan mengikuti kemauan Eyang dan Papa."     

"Hentikan omong kosong kamu, Damar!" bentak Pak Bima.     

Damar menatap Pak Bima dengan tatapan penuh kecewa, "Baik, saya tidak akan melanjutkan omong kosong saya lagi, dan untuk Papa dan Eyang, silahkan kalian cari orang lain yang mau menjadi boneka kalian, saya permisi."     

Damar segera melangkah pergi meninggalkan ruang kerja Pak Angga. Damar tidak menyangka hanya karena mendukung Bara pada rapat Direksi, dirinya dapat diperlakukan seperti ini. Selama ini Damar sudah berusaha untuk menjadi anak sekaligus cucu yang baik bagi Eyang dan Papanya. Sampai-sampai ia harus mengorbankan hubungan dengan Adiknya. Mereka bahkan tidak tahu betapa tersiksanya Damar selama ini untuk menyenangkan hati keduanya. Tamparan yang diberikan Pak Angga dan Pak Bima padanya membuat Damar tersadar bahwa ia sudah melakukan hal yang benar untuk membantu Bara menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Damar sudah menentukan pilihan dan dia tidak akan menyesal dengan pilihannya.     

****     

Menjelang jam tiga sore, waktu dimana kebanyakan karyawan merasakan kantuk yang amat sangat. Seorang rekan kerja Raya berulang kali menguap dan mengucek-ngucek matanya yang mulai terasa perih karena efek menahan kantuk dan efek terlalu lama memandangi layar monitor. Sesekali dia mengintip ke arah meja kerja Raya. Dilihatnya Raya masih serius mengerjakan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, dia kembali mengintip dan melihat Raya mulai menguap. Melihat Raya yang sudah mulai menguap, rekan kerjanya merasa, inilah waktu yang pas untuk mengajak Raya turun ke lantai bawah untuk menikmati kopi. Rekan kerjanya kemudian berjalan menghampiri meja kerja Raya.     

"Ray, turun bentar yuk," rekan kerja Raya mencoba mengajaknya untuk turun ke lantai bawah.     

"Turun? mau ngapain?" tanya Raya.     

"Ngopi, ngantuk banget gue," terang rekan kerja Raya.     

Raya melihat jam pada layar monitornya, sudah hampir jam tiga sore, pantas dirinya mulai merasa sangat mengantuk dan lelah.     

"Oke, gue juga agak ngantuk," Raya mematikan layar monitor kerjanya, setelah itu dia mengambil dompet dari tasnya dan kemudian pergi meninggalkan meja kerjanya bersama dengan rekan kerjanya.     

Mereka berjalan menuju lift sambil mengobrol.     

"Gue udah dapat bocoran soal rapat tadi," bisik rekan kerjanya.     

"Serius?"     

Rekan kerja Raya mengangguk bangga. Seolah dia baru saja mendapatkan informasi negara yang sangar rahasia. Mereka tiba di depan lift dan segera menekan tombol untuk turun. Tidak berapa lama, lift dihadapan mereka terbuka dan mereka melangkah masuk ke dalam lift. Mereka segera memencet tombol untuk menutup pintu lift. Ketika pintu lift hampir menutup, rekan kerja Raya mendengar suara orang berteriak yang meminta untuk menahan pintu lift. Rekan kerja Raya segera menekan tombol buka agar pintu lift tidak menutup.     

"Makasih, ya," ujar Damar begitu tiba di depan pintu lift dan segera ikut masuk ke dalam lift.     

Rekan kerja Raya melongo melihat Damar yang ikut masuk ke dalam lift bersama mereka.     

"Iya, Pak," ujar rekan kerja Raya sambil tersenyum malu-malu.     

Bara hendak ikut masuk ke dalam lift, langkah Bara terhenti begitu melihat Raya ada di dalam lift yang hendak dinaikinya. Raya pun terkejut ketika melihat Bara berdiri dihadapannya. Tatapan mereka beradu sesaat.     

"Cepat masuk," Damar menyuruh Bara untuk cepat masuk ke dalam lift.     

"Sorry, sorry," Bara segera melangkah masuk ke dalam lift.     

Damar kemudian menekan tombol untuk menutup pintu lift ketika Bara sudah masuk ke dalam lift.     

"Rejeki nomplok, Ray," bisik rekan kerja Raya sambil melirik ke arah Bara dan Damar.     

Raya tertunduk sambil tersipu. Hanya bertatapan sebentar dengan Bara sudah mampu membuat jantungnya hampir meledak.     

"Kalian mau ke lantai berapa?" tanya Damar ramah.     

"Lantai satu, Pak," jawab rekan kerja Raya.     

"Tujuan kita sama kalau begitu," Damar kemudian menekan angka satu pada papan tombol lift.     

"Pasti mau ngopi ya?" Damar kembali beramah-tamah.     

"Iya, Pak," jawab rekan kerja Raya sambil tersenyum ramah.     

Rekan kerja Raya menyikut-nyikut lengan Raya karena salah tingkah. Dirinya tidak menyangka, keputusannya untuk turun membeli kopi justru memberikannya kesempatan untuk bertemu Damar dan Bara sekaligus. Sudah jadi rahasia umum di MG group bahwa Damar memiliki wajah dan postur tubuh yang rupawan. Meskipun ini bukan kali pertamanya satu lift dengan Damar, tetapi tetap saja membuatnya salah tingkah. Ditambah kali ini Damar sedang bersama Bara yang belakangan ini juga menjadi bahan pembicaraan karena rupanya yang tidak kalah rupawan dari Damar. Bahkan para wanita di kantor mulai membanding-bandingkan ketampanan Damar dan Bara. Dirinya merasa beruntung bisa satu lift bersama Bara dan bisa memperhatikannya dari dekat. Ternyata setelah diperhatikan, jika Damar berdiri di sebelah Bara, maka akan terlihat tinggi Bara lebih menjulang dibandingkan Damar.     

Selama menuju lantai satu, beberapa kali lift berhenti, lift yang tadinya kosong ketika mereka naiki dari lantai atas, perlahan menjadi semakin penuh sesak. Bara dan Damar jadi terdorong mundur ke belakang. Tanpa sengaja, posisi Bara kini bersebelahan dengan Raya. Sementara Damar, berdiri di depan Bara. Menyadari jarak mereka yang semakin dekat, membuat jantung raya semakin berdegup tidak karuan. Tiba-tiba Raya merasa lengan mereka saling bersentuhan. Bara juga menyadari lengannya tidak sengaja bersentuhan dengan Raya. Jantungnya berdebar-debar. Dengan lembut, Bara meraih lengan Raya dan menggenggamnya. Raya terkejut melihat Bara sudah menggenggam tangannya.     

Bara berpura-pura menoleh ke samping dan berbisik pada Raya, "Begini, sebentar aja, Ray."     

Mendengar bisikan Bara, membuat Raya semakin yakin, bahwa saat ini Bara sedang sangat membutuhkan dukungan. Raya menjawabnya dengan balas menggenggam erat lengan Bara.     

Bara kembali berbisik pada Raya, "Thanks, Ray."     

Raya tersenyum mendengar kata yang dibisikkan Bara padanya. Pandangannya tetap mengarah ke orang-orang yang ada di depannya, namun lengannya tetap menggenggam lengan Bara. Bahkan Bara semakin erat menggenggam lengan Raya. Mereka berpegangan tangan sampai lift tiba di lantai satu. Ketika lift membuka dan satu per satu orang yang ada didalamnya keluar, Bara dan Raya segera melepaskan genggaman tangan mereka. Bara pergi bersama Damar dan Raya pergi bersama rekan kerjanya. Keduanya keluar dari lift dengan wajah tersipu-sipu.     

****     

Raya dan rekan kerjanya menuju kedai kopi berlambang putri duyung berwarna hijau yang ada di gedung tersebut. Dengan ramah pegawai kedai kopi itu menyambut mereka. Raya segera memesan satu gelas caffe latte dingin dengan ekstra kopi dan sirup vanilla, sementara rekan kerja Raya memilih untuk memesan cappuccino dingin dengan ekstra whip cream. Sebelum membayar pesanannya, mereka melihat jejeran kue yang sangat menggoda dan memutuskan untuk memesan satu cake coklat dan satu cake red velvet untuk mereka nikmati sembari minum kopi. Mereka kemudian memilih tempat duduk di dekat jendela sambil menunggu pesanan kopi mereka selesai dibuat.     

"Lu tadi perhatiin ngga? Pipinya Pak Damar merah kaya orang habis ditampar," rekan kerja Raya memulai obrolan dengan membicarakan pipi Damar yang kemerahan.     

"Gue ngga terlalu merhatiin," jawab Raya.     

Raya tidak sempat memperhatikan Damar karena sudah terlalu fokus memperhatikan Bara. Bahkan Raya masih terbayang-bayang saat mereka berdua bergandengan tangan selama di dalam lift tadi.     

"Pasti itu gara-gara meeting tadi."     

"Emang ada apa sih di meeting tadi? Katanya lu udah dapat informasinya," Raya mulai penasaran dengan hasil rapat Direksi yang baru saja diadakan.     

"Kata Sekretaris Pak Bima, tadi itu hampir ribut di dalam."     

"Hah?" Raya membelalakan matanya.     

"Pesanan atas nama Hanna," teriak pegawai kedai kopi tempat Raya dan rekan kerjanya minum kopi.     

"Pesenan kita tuh, gue ambil dulu," rekan kerja Raya berjalan menuju konter pengambilan minuman.     

Raya semakin tidak sabar dengan peristiwa yang terjadi pada rapat Direksi tadi. Raya juga tidak sabar untuk mengetahui hasil dari rapat tersebut. Baru kali ini dirinya merasa sangat penasaran dengan hasil rapat Direksi.     

Hanna kembali ke tempat duduk mereka dengan membawa baki berisi caffe latte dan cappuccino dingin, serta kue yang tadi mereka pesan. Raya sudah mencondongkan tubuhnya ke arah Hanna untuk mendengar kelanjutan cerita yang mau ia sampaikan.     

"Jadi, ada apa di rapat tadi?" tanya Raya penasaran.     

Sebelum melanjutkan ceritanya, Hanna menyeruput cappuccino dingin miliknya, "Ah, segarnya."     

Hanna kemudian menatap Raya dan mulai melanjutkan ceritanya, "Cucunya Pak Haryo, si Bara itu, dia datang ke rapat tadi sambil bawa surat kuasa dari Pak Haryo, ngga ada yang nyangka kalau ternyata Pak Haryo udah nyiapin surat kuasa buat cucunya."     

"Benar kan apa kata gue, dia datang buat wakilin Pak Haryo."     

"Bukan cuma buat wakilin Ray, di surat kuasa itu, Pak Haryo memberi kuasa penuh buat dia untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan perusahaan," Hanna berhenti sejenak dan kembali menyeruput cappuccino dingin miliknya.     

"Lu bisa bayangin kan, Bara yang baru mau masuk ke perusahaan buat jadi pegawai magang, tiba-tiba dikasih tanggung jawab segitu besarnya, apa ngga kelimpungan itu Direksi sama Komisaris," ujar Hanna berapi-api.     

"Mereka kelimpungan tapi ngga bisa apa-apa, karena Pak Haryo masih pemegang saham terbesar, kan?" timpal Raya.     

Hanna mengangguk yakin.     

"Yang lebih seru lagi Ray, si Bara itu langsung minta untuk menunda pemilihan CEO baru, dia juga minta untuk diadakan audit ulang sebelum pemilihan CEO baru."     

"Audit ulang?" tanya Raya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah dengar.     

"Yep, audit ulang," Hanna mengucapkan kata audit ulang dengan penuh penekanan.     

Raya berpikir sejenak ketika rekannya mengatakan Bara meminta diadakan audit ulang.     

"Dan lu tahu Ray, dia juga bawa bukti kejanggalan di laporan keuangan perusahaan Ray, gue ngga nyangka, selain ganteng dia juga pintar banget, meskipun newbie, dia udah tahu seluk beluk perusahaan," Hanna mengucapkan kata-katanya dengan wajah berbinar, terlihat jelas kali ini Hanna mulai memuji Bara.     

Raya mendenggarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Pikirannya melayang pada data-data keuangan yang sempat ia berikan kepada Bara beberapa waktu lalu. Hanna dengan menggebu-gebu bercerita tentang betapa kerennya Bara pada saat rapat Direksi berdasarkan apa yang dia dengar dari Sekretaris Pak Bima. Raya sudah tidak memperhatikan apa yang diucapkan Hanna dan sibuk dengan pikirannya sendiri.     

"Apa mungkin dia pakai data itu untuk meminta audit ulang?" batin Raya.     

Hanna menyadari Raya sudah tidak memperhatikan ceritanya, dan memilih untuk diam sejenak untuk memperhatikan Raya yang seperti sedang memikirkan sesuatu.     

"Halo, Raya," Hanna memanggil-manggil nama Raya sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Raya.     

Raya tergagap, "Ah, iya, kenapa?"     

Raya tersadar dari lamunannya.     

"Lu dengerin cerita gue ngga sih?"     

"Iya, gue denger kok, lu kan lagi nyeritain soal rapat direksi tadi."     

Hanna sedikit cemberut, "Gue kan lagi ngomongin cucunya Pak Haryo."     

Raya hanya menimpalinya dengan ucapan 'oh'.     

"Gue curiga, si Bara itu punya orang dalam, makanya dia bisa dapat laporan keuangan secara detail," ujar Hanna.     

Raya yang sedang meminum minumannya tersedak ketika Hanna mengatakan dirinya curiga Bara mempunyai orang dalam untuk membantunya mendapatkan laporan keuangan secara detail.     

"Buat apa dia pakai orang dalam kalau dia itu cucunya yang punya perusahaan, dia tinggal bilang minta data ini, data itu, pasti langsung dikasih sama Pak Damar atau Mbak Kimmy," timpal Raya.     

"Ya kali aja gitu, dia juga punya orang dalam selain Pak Damar atau Mbak Kimmy."     

"Lu kebanyakan berspekulasi."     

"Gue bukan berspekulasi, gue cuma berandai-andai."     

"Sama aja, dodol," cibir Raya.     

"Gue heran deh Ray, sama keluarga Pradana."     

"Heran kenapa?"     

"Kok bisa ya Ray, di keluarga mereka ngga ada yang jelek."     

"Omongan lu makin aneh-aneh aja."     

"Serius, gue heran, kok bisa, mereka semua keturunannya bagus-bagus semua gitu."     

"Ya, karena mereka ngga bakal sembarangan pilih pasangan, pasti mereka milih berdasarkan bibit, bebet sama bobotnya."     

"Iya, juga sih."     

Raya kemudian terdiam. Raya seperti ditampar oleh ucapannya sendiri. Raya menoleh ke jendela kaca disebelahnya. Raya mengamati pantulan dirinya di kaca tersebut. Raya juga seolah seperti melihat kilas balik saat dirinya bersama dengan Bara.     

"Masa iya, Bara bisa suka sama gue? Gue kan dari keluarga yang biasa-biasa aja, tampang juga biasa-biasa aja, pendidikan juga ngga ada yang istimewa," Raya mengalihkan pandangannya dan menyeruput caffe latte dingin miliknya. Raya menghela napas dan menyadari bahwa tidak mungkin Bara menyukai dirinya. Hubungannya dengan Bara tidak lebih seperti partner kerja. Dan kejadian di lift tadi bukanlah apa-apa. Raya menganggap kejadian di lift murni karena Bara sedang membutuhkan dukungan dan kebetulan selama ini Raya sudah membantu Bara untuk memeriksa laporan keuangan MG group secara sembunyi-sembunyi, bukan karena hal lain. Bara dan keluarganya pasti mempunyai kriteria yang tinggi dalam menentukan pasangan.     

"Apalah gue ini, cuma remah-remah rengginang di kaleng Khong Guan," batin Raya sambil kembali menyeruput caffe latte dingin miliknya. Raya kemudian menyuapkan potongan besar kue coklat ke dalam mulutnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.